Saya bukanlah seseorang dengan kemampuan menghafal yang baik termasuk menghafal nama seseorang. Seringkali saya berpapasan dengan seseorang yang memanggil nama saya di jalan lalu saya akan membalas menyapanya “Hi!” saja sambil tersenyum. Saya tak menyebut namanya karena sebetulnya saya lupa (Ingat! Ini rahasia!). Hanya saja, sebetulnya saya mengenali wajahnya “Sepertinya saya pernah bertemu dengannya entah dimana.” Rasanya menghafal nama seseorang seperti harus menghafal rumus saja: sulit.
Ngomong-ngomong (ga nyambung)
tentang sebuah hubungan dan pertemanan, saya adalah orang yang cukup
berhati-hati dalam memilah hubungan. Bukan untuk membeda-bedakan, tidak. Hanya
untuk membantu diri saya jujur terhadap diri sendiri. Saya biasanya
mengklasifikasikannya sebagai keluarga, teman dekat, teman (di dalamnya ada
teman lumayan dekat dan teman saja), dan kenalan. Namun, tentu ada perkecualian
yaitu anggota Sukoharjo Mengajar. Walaupun saya tak hafal dan bahkan belum
bertemu mereka, saya akan menganggapnya keluarga besar Sukoharjo Mengajar.
Hahaha.
Oke, balik lagi ke teman dekat.
Teman dekat di sini adalah teman yang saya tidak akan sungkan untuk meminta
bantuannya, mengirim pesan tanpa ada sebab, atau mengajaknya pergi entah
kemana. Sedangkan teman yang lain adalah teman kasual: orang-orang yang dulu
pernah bekerja bersama dalam satu organisasi; orang-orang yang pernah menjadi
teman sekelas; orang-orang yang sering bersosialisasi di lingkungan tempat
tinggal, dsb. Sedangkan, kenalan biasanya adalah orang yang saya kenal di suatu
tempat tanpa sering berinteraksi. Biasanya, kami hanya memiliki kontak satu
sama lain (nomor whatsapp, instagram, atau sosial media lainnya).
Thanks to social media yang bisa menampung ‘teman’ yang mungkin
sebetulnya hanya kenalan. Kita dengan mudah memberikan komentar, memberikan like, atau hanya menjadi story viewer. Berinteraksi terasa lebih
mudah bukan? Ya, betul. Tapi dengan jumlah followers-following
atau friends yang overload tersebut justru terkadang akan
menjadi masalah. Terlalu banyak koneksi berarti terlalu banyak informasi.
Terlalu banyak informasi tidak terlalu bagus untuk hidup kita. Bahkan
rasa-rasanya, kita merasa lebih terkucilkan atau stress ketika kita melihat
postingan-postingan mereka.
Saya menemukan fakta menarik tentang ‘hubungan’ tahun lalu ketika membaca buku berjudul ‘Busy’ karangan Tony Crabbe. Dalam buku tersebut dijelaskan bahwa seseorang pada umumnya memiliki kemampuan untuk menjalin hubungan yang stabil dengan 150 orang saja. Di luar itu, akan sangat sulit untuk mempertahankannya. Secara lebih jelasnya, akan saya gambarkan dan jelaskan di bawah:
- Lingkaran inti yang berisi 5 orang; biasanya diisi oleh orang-orang yang paling dekat dengan kita dan biasanya merupakan keluarga.
- Lingkaran dekat yang berisi 15 orang; saya mengisinya dengan teman dekat.
- Lingkaran clan yang berisi 50 orang; untuk saya sendiri, lingkungan ini saya isi dengan teman kasual yang lumayan dekat. Dan tentunya bisa bervariasi, bisa dari teman kuliah, teman organisasi, kolega kerja mungkin, dan sebagainya.
- Lingkaran tribe yang berisi 150 orang; biasanya diisi dengan teman kasual. Kalau menurut saya sendiri, teman ini berisi teman kasual yang ‘teman saja’.
Di luar itu? Saya akan memasukannya ke dalam kategori ‘kenalan’. Di buku tersebut dijelaskan bahwa sebaiknya kita paling fokus untuk menjalin hubungan pada hubungan kedua, yaitu dalam lingkaran 15 orang. Tidak terlalu sedikit, juga tidak terlalu banyak. Sangat pas. Mungkin sering berkembangnya waktu, 15 orang itu akan berubah. Mungkin akan ada satu dua orang yang masuk atau keluar namun itu semua tak mengapa. Fokus saja menjalin hubungan yang baik dan sehat bersama mereka.
Dunbar's Diagram |
Kemudian, pertanyaannya adalah:
apa hubungannya dengan prioritas? Ketika saya membaca buku Tony Crabbe tersebut
saya disadarkan pada sebuah kenyataan bahwa ketika kita sibuk, atau ketika kita
disibukkan oleh berbagai urusan, orang-orang terdekatlah yang akan terkena
dampaknya. Keluarga kita akan ‘rugi’ karena akan kehilangan waktu bersama kita
ketika harus lembur, rugi karena kualitas kebersamaan kita menjadi menurun
karena badan sudah capek ketika pulang kerja, rugi karena komunikasi menjadi
lebih buruk, dan sebagainya. Padahal kalau direnungkan, lebih penting yang
mana? Hubungan dengan orang-orang terdekat kita atau kesibukan kita?
Tidak perlu kita berkilah ‘Aku
bekerja juga demi masa depan dan kebahagian mereka!’. Ya, tentu saja saya
setuju bahwa uang itu sangat penting tapi bukankah kebersamaan, jalinan ikatan
hubungan, juga komunikasi tidak kalah pentingnya? Saya tidak menyalahkan
orang-orang yang bekerja, saya hanya ingin kita sadar bahwa kita harus belajar untuk
memprioritaskan sesuatu. Syukur-syukur kita bisa menyeimbangkan hidup untuk
hidup yang lebih baik, bukan? Kalau kata Tony Crabbe, relationships are not ‘nice to have’: they are central of our lives
and well-being.
![]() |
Busy by Tony Crabbe |
Fokus pad 15 orang terdekat Anda.
Kenapa 15? Kenapa dibatasi? Bukankah
lebih banyak lebih baik? Tidak juga. Terlalu banyak memberikan effort lebih pada hubungan juga tidak
terlalu bagus. Daripada memberikan usaha lebih ke banyak orang secara sporadik,
lebih baik memfokuskan hubungan dengan 15 orang terdekat. Merekalah yang selalu
ada ketika kita sedang kesulitan, merekalah juga tentu yang seharusnya jadi
prioritas kita ketika sedang senang. Terkadang manusia hanya menghubungi orang
terdekat ketika susah namun ketika hidup sudah kembali normal, mereka lupa dan
lebih memilih menghabiskan waktu bersama orang lain yang mungkin tak terlalu
berpengaruh terhadap hidupnya. Tentu ini tidak salah. Sekali dua kali tak
mengapa namun akan lebih baik jika kita mengutamakan orang terdekat kita
terlebih dahulu.
Last, sebuah pengingat untuk diri saya pribadi di masa depan: saya ingin, suatu saat nanti kalau saya sudah bekerja atau kuliah lagi (mungkin), saya ingin diri saya mengingat hal ini: kuliah dan pekerjaan saya mungkin penting, tapi saya ingin saya tidak akan mengorbankan hubungan saya dengan orang-orang terdekat saya terutama lingkaran lima belas saya. Semoga tulisan ini dapat mengingatkan diri saya sendiri lima atau sepuluh tahun kemudian. Untuk menutup artikel refleksi diri ini, saya ingin menutupnya seperti Tony Crabbe menutupnya pada chapter Reconnect dalam bukunya, Busy: So who are your 15?