Beberapa waktu yang lalu, saya jalan-jalan melintasi bukit di dekat rumah. Kebetulan, saya berpapasan dengan anggota sebuah komunitas silat yang kebanyakan anggotanya merupakan laki-laki. Ketika berpapasan, saya mendengar seorang laki-laki bersiul yang sudah pasti tujuannya bersiul untuk menggoda atau mengganggu (atau terserah saja bahasa kalian apa) saya. Tentunya saya merasa sangat tidak nyaman dengan kejadian tersebut. Ketika beberapa yang lain bersikap pasrah dan hanya menunduk malu, saya memutuskan untuk bersikap sebaliknya ‘sebisa yang bisa saya lakukan’. Menegur masih tidak mungkin bagi saya, saya belum punya keberanian serta ‘kemauan’ untuk memperpanjang masalah. Jadi, saya hanya memutuskan untuk memelototkan mata (serius, saya memelotot seperti anak SD ketika melihat musuh – how childish I was). Hasilnya? Not bad, langsung diam. Padahal saya pakai baju olahraga longgar. Looked sexy? Not at all. Using ‘teassing’-looked make up? Definitely not.
Cat-calling ini tidak hanya terjadi sekali dua kali. Berkali-kali!
Saya pernah menegur dan sedikit misuh ketika
di cat-call anak SMK. Saya pernah
‘memelototkan’ mata pada kesempatan yang lain dan malah semakin digoda ‘Ah,
cuman gitu jangan marah lah, Mba.’ (Dunia ini edan, kawan!). Namun, pada sebagian besar kesempatan, saya hanya
bisa diam karena tahu saya akan ‘kalah’.
I wonder why the world
where I live is so harsh for me as a woman.
I wonder.
And I wander into my memories.
Ingatan saya kembali ke masa lalu.
Pernah suatu saat ketika saya
SMA, saya ingin melintasi koridor teras menuju ruang kelas. Kebetulan, saat itu
teras sedang dipenuhi oleh ‘segerombolan’ (bahasanya apa, ya?) laki-laki yang
sedang duduk-duduk santai. Ketika sudah hampir mendekati ‘gerombolan’ laki-laki
tersebut, teman saya ‘menyeret’ saya untuk mencari jalan lain dan berkata
(intinya) begini “Wulan, jadi cewek tuh harus sopan. Lewat di tengah-tengah
mereka tuh ga sopan. Cewek tuh harus punya malu.” I was shocked. Jalan melewati koridor itu adalah jalan tercepat!
Kenapa harus merasa malu? Kenapa perempuan ‘hendaknya’ tidak melakukan hal
tersebut tapi kalau laki-laki yang melakukan jadi tidak masalah? Apakah hanya
lewat di tengah jalan bisa disimpulkan bahwa kita tidak sopan? Tidak punya
malu? Dianggap mencari perhatian? Wow… sepertinya memang ‘dunia’ ini menganggap
perempuan sebagai objek.
Pernah ketika saya menyapu dan
meminta temanlaki-laki membantu saya (karena mereka hanya duduk-duduk saja dan
melihat), mereka malah bilang "Ya itu (menyapu) kan kodratmu sebagai perempuan,
Wul." Saat itu saya kecewa, marah, namun hanya bisa diam dan melanjutkan
menyapu. Berapa banyak diantara kita yang pernah mengalami kejadian (atau
setidaknya melihat) lelaki tidak mau piket membersihkan ruang kelas karena
merasa itu pekerjaan perempuan? Mengapa hal ini bisa terjadi?
Kakak pertama saya, seorang
perempuan, harus merelakan impiannya untuk melanjutkan sekolah demi membantu
sekolah dan biaya hidup adik-adiknya. Kakak pertama saya bahkan membantu
menguliahkan adik laki-lakinya untuk berkuliah dan juga sekolah saya dan adik
saya. (Anyway, I remembered a book
entitled Kim Ji-Yeong Born in 1982).
Keputusan saya dalam memilih
sekolah, peminatan, serta ‘melakukan sesuatu’ seperti karyawisata harus
disetujui oleh laki-laki di keluarga. Bahkan ibu saya selalu pasrah dan bilang “Tanya
sama Ayah/Mas (kakak laki-laki).”
Ibu saya menginginkan saya untuk bangun pagi-pagi serta melakukan pekerjaan rumah tangga selayaknya wanita pada umumnya. Kalau ini saya akui tujuannya baik, tapi saya seperti ‘dituntut’ untuk menjadi ‘perempuan pada umumnya’.
Perempuan yang kuliah tinggi-tinggi dikatain “Buat apa-apa sekolah tinggi-tinggi?
‘Kan nanti hanya kerja di dapur? Nanti malah laki-laki minder deket-deket sama
kamu, loh.”
Saya suka disindir (sambil
bercanda) sama ibu saya kalau saya kurang bisa memasak dan tidak bisa
berdandan. Katanya, “Cewek kok ga bisa masak.” Atau “Cewek apa bukan kok ga
suka dandan.”
Dan masih banyak lagi pengalaman
yang kurang mengenakkan hanya karena gender saya sebagai perempuan. Perempuan yang
pulang malam dianggap ‘perempuan kurang ajar’ walaupun alasan sebenarnya adalah
mengerjakan project atau yang lain.
Perempuan yang blak-blakkan dan suka ‘jumpalitan’ (aktif) dianggap tidak punya
malu. Laki-laki? Mana ada dikatain
begitu?
Setelah menikah pun masih sama.
Perempuan seperti tidak punya pilihan atau dianggap sebagai yang objek di mata masyarakat yang ‘patriarki’ ini.
Perempuan diharapkan untuk mengerjakan
pekerjaan rumah tangga terlepas dia menjadi ibu rumah tangga atau pun bekerja/berkarir. Ketika
sudah menikah bertahun-tahun dan belum memiliki anak, pertanyaan yang terasa ‘menyudutkan’
akan ditujukan ke istri dibandingkan ke suami. Ketika perempuan melahirkan secara
tidak normal, terkadang ‘dicap’ sebagai bukan perempuan tulen. Ketika perempuan
menjaga anak siang dan malam dikatakan ‘sudah tugasnya’ sedangkan laki-laki yang
hanya menggendong dan menjaga anaknya selama beberapa jam saja akan dikatakan ‘hot
papa’ atau ‘suami idaman’. Dan yang lebih tidak masuk akal, orang-orang akan
bilang ke istrinya “Kamu beruntung memiliki suami seperti dia.” Lah? Bukannya sudah tugasnya?
“What do you want from us? The dumb girls are too dumb, the smart girls are too smart, and the average girls are too unexceptional?”
― Cho Nam-Joo, Kim Jiyoung, Born 1982
Saya bukannya benci pada
laki-laki. Tidak. Saya tidak benci sama sekali. Saya hanya tidak suka pada
sistem ini. Sistem yang kurang menguntungkan bagi perempuan. Seperti kata Mba
Najwa Shihab, “Kenapa perempuan harus memilih?” Menjadi perempuan sangatlah berat. Saya menginginkan perubahan yang lebih baik. Saya menginginkan dunia yang aman bagi perempuan untuk melakukan apapun yang mereka inginkan. (Baca juga: Kehidupan Setelah Menikah: Wanita Karir vs Ibu Rumah Tangga)
Saya tidak bisa melakukan hal besar tapi saya yakin bahwa setiap orang wajib untuk mengupayakan kebaikan sekecil apapun itu. Saya berharap catatan ini dapat berguna sebagai pengingat bagi saya di masa yang akan datang untuk terus mengingat isu ini. Dan saya juga berharap orang-orang yang membaca tulisan ini juga berkomitmen pada diri mereka sendiri untuk ‘kuat’ dan berjuang menciptakan lingkungan yang baik bagi perempuan-perempuan di masa yang akan datang. (Terinspirasi dari novel Kim Ji-Yeong Born in 1982 ketika Ji-Yeaong memutuskan tidak akan mengambil kesempatan terlambat datang atau pulang lebih awal 30 menit dan merasa bahwa sikapnya telah merampas hak-hak karyawan wanita lain yang akan hamil sesudahnya).
Memasak dan membersihkan rumah
adalah basic skill baik untuk
laki-laki maupun perempuan. Mengasuh anak juga merupakan tanggung jawab suami. Perempuan
juga berhak mengenyam pendidikan setinggi-tingginya tanpa harus takut di-judge oleh siapun. Perempuan berhak
berjalan aman di jalanan yang sepi tanpa harus khawatir bahaya mengintai. Anak
perempuan tidak harus mengalah demi saudara laki-lakinya terutama dalam kesempatan
mengenyam pendidikan, mengungkapkan opini dalam keluarga, mainan, atau
pekerjaan rumah.
Saya harap kita semua bisa mengajarkan kesetaraan kepada anak-anak atau orang terdekat kita supaya kelak dunia kita menjadi lebih baik dan aman bagi para perempuan. Semoga steorotype dan persepsi yang negatif tentang perempuan bisa 'memudar'. I hope, someday women won't be afraid of anything to show their true self. I hope, they won't be afraid to be what they want to be. I hope that day will come, and I am sure of it. Sooner or later. It will.