Mengutip tulisan Mba Yuki Anggia, travel blogger favorit saya, "Sebuah destinasi bisa saja menjadi impian dalam hidup seseorang." memang ada benarnya. Saya pribadi mengaminkannya. Setuju tanpa perlu berdebat. Itu jugalah yang saya rasakan terhadap Toraja, sebuah tanah dimana Suku Toraja (juga bisa disebut sebagai Suku Toraya) berasal. Berkunjung ke Toraja merupakan impian masa kecil.
Berawal dari kegemaran membaca artikel-artikel tempat wisata, berujung pada obsesi dan mimpi untuk menjelah dan melihat dunia. Meskipun kalau boleh jujur hasrat ini sulit diwujudkan, namun saya berjanji pada diri sendiri untuk mengusahakannya semampunya. Tana Toraja tentu tak lepas masuk dalam daftar destinasi impian.
***
Menjelang liburan natal tahun lalu, saya berkesempatan untuk melawat ke Toraja. Petualangan dimulai dari Makassar, ibu kota Provinsi Sulawesi Selatan. Ada dua opsi untuk menuju Tana Toraja, yakni melalui jalur darat (travel atau bus), dan jalur udara (pesawat). Saya memilih opsi pertama yang lebih ekonomis hahaha. Bagaikan tak dapat restu dari semesta, perjalanan ini penuh drama. Diawali dengan drama pencarian tiket bus yang harganya meroket hingga langka akibat jelang liburan natal dan tahun baru. Tiket bus yang awalya dibanderol dengan harga +- Rp. 200.000,- melangit menjadi Rp. 350.000,-. Untungnya, harga tiket pulang masih normal. Fyuuuuh.
Tak berhenti sampai di situ, drama lain menyusul. Kota Makassar baru saja diguyur hujan deras. Beberapa titik tergenang banjir dan macet terjadi di sekitaran area Pettarani hingga Penakukang. Akibatnya, sulit sekali mencari taksi yang bersedia mengantarkan ke arah bandara. Hampir satu jam habis untuk mencari taksi online yang tak kunjung datang. Sudah mencoba minta tolong diantarkan dengan sepeda motor oleh warga lokal pun ditolak. Sungguh malang. Akhirnya, supir Taksi Bluebird yang sempat saya cancel karena tak kunjung datang akibat terjebak macet tadi, bersedia untuk mengantarkan saya. Saya tak punya pilihan lain, selain beliau, tak ada yang bersedia mengantarkan.
Begitu taksi datang, supir langsung tancap gas. Beliau, sepertinya sangat paham keresahan saya. Nampaknya kami ada ikatan batin hahaha. Selepas keluar dari jalur macet, beliau menaikkan kecepatan. Boleh saya bilang, bagai berada dalam film-film, mobil menerobos lihai dalam gelapnya malam serta menyalip beberapa truk besar. Laju kencang namun masih smooth dan tak terasa ugal-ugalan. Tanpa diminta, supir taksi bilang "Mba, kalau nanti busnya sudah berangkat, kita kejar saja busnya. Biasanya dia akan berhenti di pemberhentian selanjutnya." Saya pikir, "benar-benar act of service sekali, menyiapkan Plan B tanpa diminta." Diam-diam saya mengecek maps, langsung terbayang argo yang harus saya bayar. Namun, tiada daya dan upaya selain 'ya sudah'. Hanya bisa pasrah dan mengiyakan. Lagi pula, tiket pulang dan hotel sudah saya bayar. Tiket pesawat juga sudah terjadwal 3 hari kemudian. Sebagai seorang kapitalis Saya tak mau lebih rugi!
Berkat rahmat Tuhan yang Maha Kuasa dan kerja keras yang berlandaskan pada strategi Bapak Sopir, kami bisa tiba di agen sekitar sepuluh menit sebelum jam keberangkatan. Lagi, tanpa komando, Pak Sopir langsung gerak cepat mengambil koper di bagasi dan langsung berkoordinasi dengan pihak bus - menanyakan bus mana yang menuju ke Toraja. Salut! Tak keberatan saya kasih tip hampir setara dengan tarif argo yang harus saya bayar!
***
Saya terbangun pagi-pagi sebab merasa mual. Hari masih setengah gelap. Saya cek maps, ternyata jalanan yang kami lalui memang berkelok-kelok. Kini, bus sedang meluncur di antara sawah-sawah Kabupaten Tana Toraja. Naas, saya masih harus menahan mual karena tujuan saya adalah Kabupaten Toraja Utara, masih butuh waktu sekitar satu jam lebih untuk tiba di sana. Berusaha tidur lagi, tak bisa. Menyerah, saya pun hanya bisa memandang ke luar jendela sambil mengutuk diri ini kenapa tak membawa obat anti mabuk! Rumah-rumah tongkonan nampak hilang-timbul selama perjalanan.
Kenapa rasa-rasanya atmosfernya seperti di Samosir? Tentu selain bahwa di sini banyak hamparan sawah.
Akhirnya, bus tiba di tujuan akhir. Saya turun dan langsung disambut oleh warga lokal yang menawarkan jasa ojek dan mobil. Dasar karena tak yakin bahwa Gojek dan Grab ada di sani, dengan berat hati saya mengiyakan tawaran salah satu ojek. Jujur, saya sedikit tak rela karena Pak Ojek tetap kekeuh untuk mematok tarif Rp. 50.000,- untuk jarak yang relatif dekat. Tapi, ya sudahlah. Apa boleh buat? Nasi telah menjadi bubur. Lagipula, pagi itu gerimis. Jiwa
kemayu saya menang, tak mau repot kehujanan.
 |
Panorma yang menyambut saya ketika menjejakkan kaki di Toraja Utara |
Setelah melewati badai drama kehidupan, kali ini saya beruntung karena pemilik penginapan memperbolehkan saya untuk
early check in. Saya menginap
di sini atas rekomendasi seorang teman yang berasal dari sini. Tempat penginapan ini milik keluarga temannya. Katanya, sebaiknya saya menginap di area 'kota' supaya mudah mencari makan, mengingat awalnya saya ingin menginap di daerah Lolai. Akhirnya, saya mengikuti sarannya.
Trust the locals!
Tak mau mengulangi kesalahan yang sama, saya segera mencari tahu moda transportasi yang paling nyaman, aman, dan realible. Saya berencana untuk menyewa motor namun saya perlu moda transportasi pelengkap untuk kebutuhan lain, misal: mengambil motor sewa, mengantarkan saya ke agen bus esoknya, dan sekadar menuju tempat makan. Ternyata, Gojek sudah tersedia di sini namun armadanya masih tergolong minim. Di sini, banyak juga dijumpai bentor. Saya mendapatkan info dari anak pemilik rental motor bahwa Draiv (saya tidak typo, memang aplikasinya namanya Draiv) lebih populer di sini.
Tips!
Unduh dan pasang aplikasi Draiv di playstore untuk membuat perjalananmu makin hemat dan nyaman!
Untuk urusan sepeda motor, saya memilih untuk rental motor berbodi kecil dan ramping (supaya saya tak keberatan menopang motor)
di sini. Biayanya Rp. 180.000,- per 24 jam. Bisa dimaklumi, besaran ini merupakan tarif selama libur nataru. Tak ayal, mayoritas masyarakat Toraja beragama Kristen sehingga banyak sanak famili yang pulang kampung dan permintaan akan barang cenderung naik. Saya menyewa selama kurang lebih 1.5 hari dan membayar sebesar Rp. 260.000,-. Motor di tangan, saatnya beralih ke urusan perut! Sudah lapar dan belum sarapan.
Opsi makanan halal di Toraja relatif tidak terlalu banyak namun tidak juga terlalu sulit ditemukan. Sepertinya akan jadi
PR banget kalau kita hanya jalan kaki karena belum tentu bisa menemukan warung makan halal di sekitar kita tinggal. Beberapa warung yang menjual makanan halal pun tak tercantum di Google Maps. Hidup saya sudah sulit, sehingga saya tidak mau mempersulit diri sendiri 😩😇. Meluncurlah saya ke
Warung Makan Kendedes, tempat makan yang dimiliki oleh keluarga muslim, tak jauh dari tempat rental motor. Dilihat dari nama warungnya, keluarga ini sepertinya berasal dari Jawa Timur. Tebak apa yang terjadi? Dua hari saya di Toraja, saya makan di warung ini terus menerus! Ah, sungguh terlihat sekali betapa malasnya diri ini berpikir!
 |
Makanan yang saya pesan di Warung Kendedes selama dua hari di Toraja (dari kiri ke kanan: telur tempe geprek, gado-gado, ayam geprek) |
Destinasi kedua, Makale. Sejujurnya saya juga bingung kenapa saya kemari. Tadi pagi, melalui bus, saya melihat pemandangan kolam dengan patung di tengahnya serta dikelilingi oleh bangunan-bangunan 'penting'. Jadi, pikir saya tentu tempat ini merupakan pusat kota. Untuk menemani piknik aneh dadakan ini, saya memesan seporsi siomay. Penjualnya, seorang Aa' Bandung asli Dago, masih sangat muda. Usianya belum genap 20 tahun. Kami sempat mengobrol sebentar bersama penjual cilok (jika tidak salah ingat) yang berjualan di samping Aa' Bandung (sebut saja begitu). Sempat diisengin bercanda dengan dimak-comblangkan dengan Aa' Bandung tersebut, segera saya keluarkan jurus pamungkas saya: saya katakan bahwa saya sudah tua. Kata penjual cilok, asal belum menikah saja. Mereka bertanya berapa tepatnya usia saya. Saya jawab 'Tahun ini jalan 28 tahun' yang secara spontan segera disambut dengan "Anj*r!" dari Aa' Bandung. Saya tertawa lepas. Puas! 🤣
 |
Makan batagor |
 |
Patung Lakipadada di tengah kolam |
Kuburan Batu Lemo akan menjadi destinasi terakhir hari ini. Saat saya ke sana, tak banyak pengunjung. Sepi. Saya bergidik ngeri. Sebagai seorang yang lahir dan tumbuh di lingkungan yang percaya akan hal magis, rasanya agak gamang untuk melangkah mendekat. Rasanya tak mau mendekat karena kurang berani. Namun, jiwa 'tak mau rugi' saya menang. Saya sempatkan mendekat dan mengambil beberapa gambar. Sekali-kali, saya mencuri pandang ke petani yang sedang memanen di sawah. Kalau-kalau ada apa-apa, saya akan berteriak memanggil mereka!😔
***
Mengawali pagi hari dengan sedikit menyesal karena dengan kesadaran penuh saya membatalkan rencana saya melihat sunrise di bukit Lolai, negeri di atas awan. Alasannya, saya tak membawa kaos kaki sehingga besar kemungkinan saya kedinginan. Karena sayang kepada diri sendiri malas, saya melanjutkan tidur lagi.
Merasa lapar, saya pun naik ke lantai atas untuk sarapan. Ternyata, saya satu-satunya tamu yang sarapan karena tamu yang lain sudah
check out terlebih dahulu. Menu sarapannya sederhana, sepiring nasi goreng dan secangkir kopi. Dari balkon, saya bisa melihat di seberang sana ada gereja yang cukup besar. Di sekitarnya, rumah-rumah warga berderet hingga berbatasan dengan hamparan bukit hijau di ujung belakang. Kicau burung pagi hari, udara bersih, dan suasana yang damai, kombinasi yang langka ditemui di Jakarta.
 |
Pemdandangan dari balkon |
 |
Pemandangan dari balkon |
 |
Menu sarapan dan buku jurnal |
Setelah berkemas dan menitipkan koper, saya lanjut ke Ke'te' Kesu'. Jalan ke Ke'te' Kesu' ini agak jauh dari jalan raya. Aksesnya agak 'masuk' ke dalam. Meskipun begitu, aspalnya sudah bagus. Berbeda dengan Kuburan Batu Lemo, di sini jauh lebih ramai. Pengunjung maupun penjual souvenirnya lebih banyak. Bahkan, terdapat beberapa tempat makan dan cafe yang siap menghidangkan santapan untuk mengganjal perut.
Ke'te' Kesu' ini sangat ikonik. Saking ikoniknya, tempat ini menjadi ikon Provinsi Sulawesi Selatan yang kerap nongol di aplikasi travel online. Deretan rumah tongkonan berjejer rapi memanjang dan saling berhadap-hadapan. Saya bisa menyaksikan tanduk kerbau, tulang belulang hewan, serta atap yang terbuat dari bambu dengan mata kepala saya sendiri. Apa yang bisa saya perbuat selain syukur?
Saya lanjut ke dalam, mendaki anak tangga menuju ke arah goa. Peti-peti mati tergantung pada dinding goa. Sebagian kerangka kayunya sudah keropos sehingga menyebabkan peti ambruk dan tulangnya berserakan di dasar goa. Saya selalu menunggu orang lewat dan memastikan saya tidak berjalan sendirian. Bahasa Jawanya, nginthil. Untung saja ada rombongan anak kuliah yang juga mau masuk ke goa. Meskipun terasa canggung, saya mengaku ingin jalan bersama mereka dan berterus terang bahwa saya 'takut'. Salah satu gadis manis dalam rombongan bertanya alasannya tapi saya tidak bisa menjawab dan hanya membalasnya dengan senyuman. Ya. Karena rasa takut ini memang tidak berdasar.
 |
Jajaran Rumah Tongkonan di Ke'Te' Kesu' |
 |
Semakin banyak tanduk kerbau berarti semakin banyak kerbau yang dikorbankan dalam upacara adat kematian keluarga |
 |
Tulang belulang hewan korban |
 |
Toko-toko souvenir di Ke'Te' Kesu' |
 |
Area Ke'Te' Kesu' |
 |
Tau-Tau |
 |
Peti Mati di dinding tebing bebatuan - beberapa sudah lapuk |
 |
Tangga naik menuju goa |
 |
Mulut goa |
 |
Tau-Tau |
 |
Difotoin sama mba-mba stranger |
 |
Kompleks Ke'Te' Kesu' dilihat dari jalan |
Destinasi terakhir dari lawatan ini adalah situs Bori Kalimbuang. Benar! Situs ini lagi-lagi adalah kuburan! Bedanya, di sini kita bisa menyaksikan menhir dan pekuburan bayi. Menurut penjelasan di situs ini, menhir ini dapat dipasang apabil pemuka masyarakat meninggal dan melaksanakan upacara adat yang mengharuskan pemotongan hewan kurban minimal 24 ekor kerbau (saya langsung membayangkan berapa duit? Tentu mahal nian!). Tempat ini mulai digunakan sejak tahun 1600an dan saat ini sudah terdapat 102 menhir. Di area belakang area kuburan ini, tumbuh Pohon Tarra (nama lokal: Passiliran) di dekat rumah warga yang digunakan untuk mengubur jenazah bayi yang belum memiliki gigi. Pohon Tarra diibaratkan sebagai rahim ibu sehingga diharapkan dengan dikembalikannya bayi ke dalam rahim ibu dapat menyelematkan bayi-bayi yang akan lahir kemudian. Selain itu, pohon ini memiliki getah yang dianggap sebagai pengganti air susu ibu.
 |
Menhir |
 |
Gagal foto sebab tak pandai pakai fitur timer |
 |
Bersama anjing manis di Bori Kalimbuang |
Lelah berkeliling, saya mengistirahatkan kaki dengan duduk sejenak. Saya mengeluarkan sisa roti dan langsung mencomotnya. Anjing yang (sepertinya) tak memiliki tuan datang, kita berbagi makanan. Agenda selanjutnya: mengembalikan motor.
Selepas mengembalikan motor, saya duduk sejenak di Lapangan Bakti yang berada tepat di seberang tempat sewa motor. Saya mengambil tempat di sebuah kursi pedagang kaki lima kemudian memesan pisang goreng dan secangkir kopi. Sepiring pisang goreng lengkap dengan sambalnya datang. Tak
afdhal kalau makan pisang tanpa sambal di Tanah Celebes ini. Secangkir kopi hitam dihidangkan, masih mengepul. Udara sore ini terasa sejuk namun bagi saya agak dingin. Padahal, pancaran sinar matahari masih silau terang benderang. Saya terbalut dalam jaket hitam bagaikan orang yang sedang meriang. Tak mengapa, asal saya bisa menikmati jam-jam terakhir di tanah ini. Saya habiskan sisa waktu dengan diam dan merenungi apa saja yang sudah dilewati.
 |
Cerah namun tetap memakai jaket |
 |
Secangkir kopi dan sepiring pisang goreng sambal |
Tiba di agen bus, bersiap bertolak kembali ke Makassar. Sembari menunggu bus datang, saya habiskan waktu dengan santai bersama petugas tiket agen bus (yang ternyata asli dari Jawa Tengah) dan suster yang akan merayakan natal di Pulau Kalimantan. Saya sempat dikasih antimo oleh suster setelah ia mengetahui bahwa saya lupa tak membawa obat anti mabuk.
Perjalanan ini ditutup dengan rasa was-was karena ada berita bahwa terjadi banjir di jalan menuju Makassar sehingga terjadi kemacetan yang panjang karena kendaraan tak bisa melintas. Saya berdoa semoga banjir surut supaya saya tidak perlu reschedule jadwal tiket pesawat. Saya terlelap hingga tiba di Bandara Sultan Hasanuddin. Mengetahui bahwa bus sudah sampai di bandara, saya buru-buru turun secara serampangan. Drama terjadi lagi. Saya baru sadar bahwa ponsel genggam saya tertinggal di bus ketika saya ingin menunjukkan tiket keberangkatan ke petugas bandara melalui telepon. Seorang pemuda menawarkan taksi dengan bayaran jasa sesuai aplikasi Grab/Gojek. Saya setuju.
Kami berhasil bertemu dengan bus yang kami tumpangi meskipun saya lupa detail warna bus dan plat nomor polisinya. Untungnya, saya mengenali wajah supirnya. Bus sedang berhenti di sebuah pom bensin untuk mengisi bahan bakar. Sudah cukup jauh. Saya cek di aplikasi, harga roundtrip berkisar 300 ribuan (tanpa tol). Ternyata saya dikelabuhi. Perjalanan ini ditutup dengan drama saya digetok tagihan sebesar Rp. 600.000,- untuk ongkos round trip. Jauh lebih mahal daripada tarif Bluebird.
Saya berujung menangis.
Kemudian menelepon seorang kawan di Jawa untuk menumpahkan emosi.
Marah karena sopir tidak jujur, kesal karena bisa-bisanya saya dibohongi. "Apakah ego diri ini tersakiti?" batin saya. Sungguh, perjalanan ini penuh drama. Tak tanggung-tanggung, sedari awal hingga akhir drama tak pernah putus, susul-menyusul. Pada akhirnya, saya memaksakan diri untuk mencoba ikhlas dan bersyukur karena saya masih bisa selamat sampai di Jakarta dan melihat tanah kematian impian!
 |
Bandara Sultan Hasanuddin dengan nuansa natal. Off to Jakarta! Bye, Makassar! |
1 komentar
Versi vlog seru nih wulan 🤭. Btw perjalanan seru banget ya. Ada nggak tempat di toraja pengen berkunjung kedua kali kalau ada kesempatan?
ReplyDelete