Tiba-Tiba ke Nepal: Sebuah Perjalanan nan Penuh Drama dan Keajaiban
June 28, 2025, by Wulan IstriSekitar jam 10.00 waktu setempat, pesawat mendarat dengan selamat di Bandara Internasional Tribhuvan di Kathmandu, Nepal. Saya melempar pandang ke luar jendela pesawat dan mendapati pemandangan bangunan bandara yang tak terlalu besar. Tak ada garbarata, rupanya. Kami, para penumpang, turun melalui tangga kemudian naik shuttle menuju pintu kedatangan menuju pintu imigrasi. Nepal memberlakukan visa on arrival (VoA) bagi warga negara Indonesia. Saya yang sudah mengisi formulir online dan membawa printed-version dari Indonesia ikut mengantri di bagian pembayaran sebelum menuju desk imigrasi. Tiba giliran saya dan di sinilah drama dimulai.
![]() |
Pesawat Malaysia Airlines Rute Penerbangan KUL - KTM |
![]() |
Onoard Meals |
![]() |
Tiba di Bandar Udara Internasional Tribhuvan |
Sedikit flasback: menurut informasi yang saya dapatkan di internet dan grup Facebook, mereka menerima pembayaran tunai (beberapa mata uang tertentu - IDR tidak eligible, SGD dan MYR eligible) dan non-tunai. Saya sempat berencana untuk menukar mata uang USD dari Jakarta namun karena padatnya pekerjaan, saya tak sempat melakukannya. Ketika di Kuala Lumpur, saya sempat kepikiran untuk menukar mata uang USD namun saya berpikir "Hmmm, sepertinya nanti bayar VoA pakai kartu debit saja, deh." Saya begitu percaya diri karena saya sempat membaca bahwa kartu BCA 'aman' (dalam artian dapat digunakan/diterima oleh ATM lokal setempat). Lagipula, saya membawa total 3 kartu debit: 2 berlogo visa dan 1 berlogo mastercard.
Saya maju ke loket paling kiri dan bertanya apakah saya dapat membayar dengan kartu debit dan petugasnya menjawab "Cash only." Saya pun mundur kemudian mencoba untuk menarik uang tunai di mesin ATM. Terdapat dua ATM di ruangan imigrasi, satu dari IME Global Bank dan satunya lagi NIMB. Saya mencoba menarik uang tunai dengan kartu debit BCA saya di ATM pertama. Hasilnya: ditolak. Saya mencoba di mesin ATM kedua. Hasilnya? ditolak dengan alasan tak jelas. Saya mulai sedikit gusar namun tetap percaya diri dan mencobanya lagi. Saya coba berkali-kali di mesin ATM yang sama dan hasilnya nihil. Saya coba kartu Jago Visa yang saya punya dan hasilnya sama-sama ditolak oleh dua ATM tersebut. Jika dihitung, mungkin sudah lebihd ari 15 kali saya mencoba untuk menarik tunai namun gagal.
Merasa frustasi, saya mencoba mengantri di loket imigrasi bagian tengah. Saya bertanya apakah saya bisa membayar dengan kartu debit dan petugasnya menjawab 'bisa'. Secercah harapan! pikir saya. Saya mencoba membayar dengan kartu debit BCA saya di mesin EDC. Hasilnya: tertolak. Saya coba lagi dengan kartu debit Jago: ditolak juga. Lalu saya ingata saya masih membawa kartu debit Jenius Visa. Saya coba dan hasilnya: ditolak - kali ini karena saya lupa PIN saya (maklum, karena kartu ini saya pakai khusus untuk transaksi contactless jadi jarang menggunakan PIN). Kemudian petugas bilang bahwa saya dapat membayar dengan mata uang asing lain. Saya tahu bahwa currency yang saya bawa tak cukup namun dengan kesadaran penuh, saya tetap mencoba mengeluarkan mata uang MYR dan SGD yang ada dalam dompet saya. Petugas menghitungnya dan bilang bahwa uang yang saya bawa tidak cukup. Saya frustasi, ingin menangis sambil mengutuk diri saya sendiri kenapa pecahan SGD 50 sengaja saya tinggal di Jakarta. Sempat terbersit pertanyaan "Apakah ini tandanya Allah ga ridho sama perjalanan ini, ya?"
Seorang bapak-bapak (saya taksir usianya sekitar 50-60an tahun) yang antri di belakang saya menanyakan dari mana saya berasal. Ketika beliau tahu saya dari Indonesia, beliau langsung bertanya "How much do you need?" Saya tahu persis ke mana arah pembicaraan ini sehingga dengan keras kepala saya menolak tawaran beliau untuk membantu. Sepertinya memang beliau mengamati kejadian barusan dari belakang. Beliau berkata "If you can't pay, you will stuck here anyway." Saya panik namun saya masih waras. Logika saya masih berjalan. Akhirnya, saya menerima tawaran beliau. Beliau mengeluarkan uang USD 50 dan membayarkannya ke loket. "I'm from Singapore. We both are from SEA so we should help each other." Sejujurnya saya takjub akan kesediaan beliau untuk membantu saya tanpa membicarakan mekanisme bagaimana saya akan mengganti uangnya. Pikiran 'beliau sepertinya memang kaya, uang sebesar itu mungkin 'tak berarti' baginya' sempat terbersit di benak saya. Atau, mungkin saja beliau tak mau menunggu lebih lama jadi daripada harus antri lebih lama, mending beliau keluar uang 'sedikit' lalu masalah beres. Di tengah acuh tak acuhnya dunia ini, saya merasa bersyukur masih ada orang baik yang bersedia membantu saya.
Masalah imigrasi selesai, saya pun meluncur menuju ke pengambilan bagasi. Tempat pengambilan bagasi sangat packed dan suasananya cukup ricuh dan chaos. Saya, yang tertahan lama di ruang imigrasi, sudah tak bisa menemukan koper saya di conveyor belt yang dimaksud. Saya bertanya ke petugas bandara dan diarahkan untuk tetap menunggu. Saya menunggu beberapa waktu hingga signage berubah dari Kuala Lumpur menjadi Dubai. Akhirnya, saya kembali bertanya ke petugas bandara yang lain kemudian saya diarahkan untuk mengikuti beliau. Ternyata, bagasi saya sudah duduk manis di bagian urusan bagasi saking lamanya tak kunjung diambil. Saya pun melenggang keluar, tak sabar ingin mencari mesin ATM lain di luar bandara. Eh, saya dipanggil sama petugas dan ditanya tujuan datang ke Nepal apa. Mendengar jawaban saya, petugas tersebut bertanya apakah ini pertama kalinya saya ke Nepal dan ingin ke mana tujuan saya. Saya pun menjawab bahwa saya ingin ke Pokhara dan ya, ini pertama kalinya. Dia meminta saya untuk menunjukkan bukti hotel (atau contact person - saya lupa). Saat saya mencari file dokumen tersebut, petugas bertanya apakah saya memiliki teman (orang asli Nepal) di sini dan saya menjawab "yeah, I do", secara ajaib petugas tersebut langsung meleps saya. Wow. Ajaib!
Saya pun melanjutkan 'petualangan' mencari ATM. Untuk menjaga motivasi, saya mencari-cari ATM sembari mengingat kalimat petugas imigrasi bahwa "Here, only two ATMs but outside, you can find more than 10 ATMs." Saya menyusuri lorong ke luar bandara. Di manapun ada mesin ATM, saya coba! Hasilnya? Nihil! Saya terisak kecil - diam-diam menangis hingga sampai di luar bandara di mana saya bisa melihat deretan taksi. Saya gusar, tanpa uang tunai, saya tak bisa ke penginapan karena saya perlu uang tunai untuk membayar taksi. Pun, saya tak akan bisa membeli SIM Card dan implikasinya saya akan terisolasi tanpa internet. Terisolasi tanpa internet di luar negeri adalah hal yang menakutkan! (Sengaja saya menulis bagian ini supaya saya ingat bagaimana kalut dan kacaunya saya pada saat itu).
Setelah bertanya pada petugas, saya menemukan ATM center. Di sana terdapat beberapa mesin ATM dan di antaranya ada Standard Chartered ATM! Optimisme saya langsung meningkat, mengingat kartu debit BCA saya sukses melakukan tarik tunai di Singapura dengan ATM tersebut. Saya mencobanya, memasukkan PIN kemudian memejamkan mata sambil memegangi kening yang sudah 'lelah dengan drama ini'. Mesin hening, sepertinya sedang memproses.... dan BERHASIL! Saya berteriak! Lalu menangis! Hahaha sampai-sampai seorang laki-laki di belakang saya terkejut lalu menanyakan ada apa. Hahaha saya meminta maaf dan bilang bahwa saya hanya excited karena akhirnya saya berhasil menarik tunai setelah lebih dari 10x (bahkan 20 kali malahan!) gagal mengambil uang tunai.
Saya benar-benar lega dan masih tak menyangka betapa baiknya pertolongan Tuhan. Saya terduduk kemudian melanjutkan isak tangis. Saya sudah tak peduli jika ada orang lain yang mendengar tangis saya tapi saya ingin merayakan kebahagiaan dan rasa syukur atas nikmat Tuhan ini. Ketakutan akan dideportasi, terlantar menjadi airport (wo)man, dan kekhawatiran tak bisa ke mana-mana di negara ini akhirnya tidak akan pernah terjadi. Saya bersyukur atas bantuan semua orang baik yang membantu saya hari ini. Hari ini, saya selamat atas bantuan orang-orang yang bahkan tak mengenal saya sama sekali. Oh, what things I should be ungrateful for? Mendengar isak tangis saya, seorang petugas bandara menghampiri saya dan bertanya kenapa saya menangis. Saya mengulang jawaban saya bahwa saya menangis karena lega dan bahagia dan menjelaskan alasannya. Beliau bertanya di mana saya akan tinggal dan bagaimana cara saya ke hotel. Beliau juga menanyakan rencana liburannya. He seemed really care and actively listened to me! Tak disangka, beliau berkata "If you face any obstacle and problem while you are in Nepal, please contact me." dan memberikan nomornya.
Saya bangkit, membeli SIM Card, dan memesan taksi untuk menuju ke penginapan. Baru juga hari pertama, perjalanan ini sudah penuh drama dan 'ada-ada saja'. Semoga, esok hari akan lebih baik.
***
Nepal mungkin terdengar asing bagi sebagian besar orang. Mereka hanya tahu bahwa di sinilah puncak tertinggi Himalaya berada namun tak pernah tahu letak persisnya di peta. Sebagian orang yang kenal saya mungkin saja terkejut setelah tahu tiba-tiba saya berkunjung ke Nepal. Hahaha. Saya pun demikian. Saya tak menyangka bahwa saya bisa menjejakkan kaki di Nepal. Saya tahu, selama Tuhan mengizinkan saya berumur panjang, suatu saat nanti saya akan bisa berkunjung ke Nepal. Saya sudah memasukkan Nepal pada wishlist saya. Tapi, berkunjung ke sana di tahun ini? Sama sekali tak pernah terbersit di benak saya!
Ketertarikan saya pada Nepal bermula dari teman online saya, Viki, yang berasal dari Nepal. Sedikit banyak dia bercerita tentang Nepal: kasta, bahasa, budaya, dan juga alamnya. Beberapa kali dia mengirimkan foto barisan Gunung Annapurna yang terlihat dari Pokhara, tempat tinggalnya, dan berhasil membuat saya takjub. Agak berlebihan namun mari kita sebut sebagai sign pertama. Oh ya, dan tentu saja saya ingin bertemu dengan Viki. Sebuah alasan yang patut dipertimbangkan!
![]() |
Bonus: Foto Gugusan Gunung Annapurna dilihat dari Pokhara |
Tahun lalu, seorang kolega bercerita bahwa dia baru saja berlibur ke Nepal. Saat itu, beliau cukup kaget ketika saya tahu beberapa hal seperti Ghandruk, beberapa kasta seperti Gurung dan Magar, dan ABC. Kami pun cukup seru mengobrol tentang Nepal dan berakhir saya mendapatkan hadiah sebuah syal cashmere khas Nepal. Kebetulan? Kebetulan atau bukan namun mari kita sebut hal ini sebagai sign kedua!
Saya memiliki rencana liburan di Mei tahun ini. Saya sudah memegang tiket CGK - SIN dan berencana untuk melanjutkan perjalanan ke Bangkok (Ayutthaya) atau ke Siem Reap (Angkor Wat). Kurang lebih satu bulan sebelum keberangkatan saya ke Singapura, saya mendapati tiket promo Malaysia Airlines dengan rute KUL - KTM PP. Waktu itu, saya memang belum sempat memesan tiket ke Bangkok atau Siem Reap. Apakah ini kebetulan lagi? Atau memang tanda? Sign ketiga.
Tak berpikir lama, selang sejam kemudian, tiket tersebut sudah issued. Saya tercengang mendapati diri saya memesan tiket tersebut. Saya melihat saldo rekening tabungan yang berkurang (sadge HAHAHA), melihat jadwal keberangkatan, kemudian sedikit menyesal dan berpikir 'Sepertinya tadi aku terlalu impulsive, tanggal segitu terlalu dekat dan di Nepal lagi musim moonsoon - banyak hujan.' Karena reschedule tiket tak memungkinkan (biayanya besar), akhirnya saya nekat pergi juga di jadwal tersebut. Di kemudian hari, saya baru tahu bahwa impulsive decision ini akan menjadi salah satu keputusan terbaik dalam hidup saya.
Ngomong-ngomong, semenjak saya berteman dengan Viki, saya jadi penasaran mampus dengan momo. Saya sempat mencari di mana tempat yang menjual momo di Indonesia dan tak menemukan satu pun. Jadi, saya bertekad bahwa suatu saat saya akan makan momo! Saya akan merasakan momo yang kata orang sangat lezat! Saya berjanji! Sebuah alasan pendukung kenapa saya kepingin ke Nepal.
Alasan lain yakni: saya ingin trekking. Semenjak sukses trekking di Taman Hutan Raya Djuanda (Bandung), saya jadi jatuh cinta dengan trekking. Sempat beberapa teman mengajak untuk trekking/hiking ke Gunung Gede atau Bukit Mongkrang atau Lawu namun saya selalu menolak dengan alasan 'Saya tak mau membawa beban berat.' atau 'Ada toiletnya, nggak? Kalau ngak, aku nggak mau." Banyak opsi trekking di Nepal yang memungkinkan kita untuk tak perlu repot-repot membawa tenda. Banyak teahouses di sepanjang jalur trekking yang menyediakan kasur yang nyaman dan kamar mandi yang dilengkapi dengan air hangat. Dan... sepertinya opsi ini menarik!
Beberapa tanda semesta dan alasan-alasan itu sudah cukup untuk membawa kaki saya ke Nepal. Saya tak sabar untuk menyaksikan Pokhara dan menyelami cerita-cerita Viki secara nyata!
Catatan:
Pada akhirnya, saya meminta kontak Bapak Malaikat dari Singapore dan berhasil mengembalikan uangnya beberapa hari kemudian. Thanks to Timothy yang udah mau bantu transfer ke Bapak Malaikat!
0 komentar