Mari berbicara tentang sesuatu hal yang aku suka: Buku. Tanpa bermaksud apapun, sejujurnya aku ingin mengaku bahwa dirku adalah seorang pecinta buku. Aku tak bisa mengatakan bahwa aku adalah seorang kutu buku karena aku tak tahu ukurannya. Yang kutahu, aku sangat mencintai buku. Aku gemar membaca buku. Buku apapun itu asal aku tertarik pasti akan aku usahakan untuk membacanya. Sayang sekali kebiasaan membaca ini sempat terhenti selama beberapa tahun karena hal yang satu dan yang lain, salah satunya karena terbatasnya akses terhadap buku. Aku tak akan akan memungkiri bahwa buku itu mahal.
Orang-orang bisa saja berkomentar bahwa aku bisa meminjamnya di perpustakaan atau membacanya melalui perpustakaan digital namun aku tak akan membahasnya di sini. Lagipula, aku tidak terlalu cocok membaca buku digital. Mataku mudah sekali lelah dan aku kasihan padanya kalau harus membaca dengan menatap layar tanpa henti. Apalagi aku ini cukup ekstrem ketika membaca. Aku bisa saja dalam sehari menghabiskan lebih dari 5 jam untuk membaca. Oleh karenanya, membeli buku, baik buku baru maupun preloved, adalah kunci.
![]() |
Pesanan buku bulan Maret |
Sekali lagi akan kukatakan bahwa buku itu mahal. Bahkan ketika sekarang aku sudah bekerja, aku masih merasa buku itu mahal. Buktinya, aku baru rutin mulai membeli buku di tahun ini padahal aku sudah bekerja sejak tahun lalu. Dulu semasa aku belum bekerja, aku memiliki impian untuk membeli buku secara rutin per bulan namun tak pernah kesampaian. Kalau dipikir-pikir, aku sudah hampir sepenuhnya mandiri ketika aku berkuliah. Saat itu aku menjadi penerima beasiswa Bidikmisi dan XFLF. Seharusnya untuk rutin membeli buku setidaknya satu buku dalam dua bulan atau sebulan sekali aku bisa. Tapi, kenapa aku tak kunjung merealisasikannya?
Pun ketika aku sudah bekerja di Lombok. Gajiku juga tidak sedikit-sedikit amat untuk ukuran fresh-graduate di daerah (dan untuk ukuranku pribadi). Tak akan aku pungkiri, sebulan sekali membeli satu buku berbahasa Indonesia harusnya mampu. Ketika aku pindah dan bekerja di Jakarta, juga sama. Akhir tahun kemarin aku merenung, 'Mengapa?'. Mengapa aku tak membeli satu buku pun? Kemudian aku tersadar. Yang salah bukan pada seberapa banyak penghasilanku melainkan mindset-ku.
Pertama, aku selalu menghitung seberapa banyak yang akan aku keluarkan dalam setahun jika aku membeli buku. Katakanlah dalam setahun aku akan membeli buku dengan harga rata-rata Rp. 100.000,- per buku. Maka, dalam setahun aku akan menghabiskan kurang lebih Rp. 1.200.000,- hanya untuk buku. Sebagai seseorang yang gila traveling, tentu otak ini akan segera meng-convert-nya dalam produk traveling. 1,2 juta udah dapat tiket Jakarta - Kuala Lumpur PP nih. Mindset seperti inilah yang membuat buku yang awalnya mahal semakin terlihat mahal: karena aku mengakumulasikannya dalam setahun. Seharusnya, itu tak perlu. Biarkan buku terhitung dalam satuan harga.
Kedua, aku menganggap buku sebagai barang tersier atau mewah. Bagiku, buku tak perlu dibeli. Buku adalah barang mewah dan bisa dibeli jika aku punya tabungan lebih. Aku harus mencari cara lain yang lebih murah untuk dapat mengakses dan membaca buku, misalnya pergi ke perpustakaan atau berlangganan Gramedia Digital atau meminjam di perpustakaan digital. Nyatanya, itu semua tak efektif. Aku tak bisa meminjam buku di perpustakaan karena aku bukan pemegang KTP Jakarta dan aku tak sempat mengurus persyaratan administratifnya. Buku digital pun sama saja karena aku tak kuasa dengan pedihnya menatap layar serta distraksinya.
Akhirnya, ada satu hal yang menyadarkanku. Membaca buku itu merupakan bagian dari belajar. Ada hal baru di sana. Baik fiksi maupun non-fiksi, sama saja. Belajar ada banyak macamnya, tak harus masuk kelas atau ikut kursus, membaca pun juga belajar. Jika sekarang aku masih bekerja dan belum berkesempatan untuk berkuliah kembali, aku bisa belajar dengan membaca. Membaca itu ringan, hanya perlu bahan bacaan. Selebihnya, tak perlu dirisaukan. Kita bisa membacanya kapanpun ada waktu luang dan dimanapun. Salah seorang kolega juga sempat berbicara padaku 'Kita harus memberi makan tidak hanya padah tubuh kita tapi jiwa dan pikiran kita.' Couldn't agree no more.
Bermula dari renungan itu, aku memulai merubah mindset bahwasanya buku adalah kebutuhan. Belajar adalah kebutuhan dan aku harus memprioritaskan apapun yang berhubungan dengan belajar: kuliah, kursus, buku, atau yang lain. Buku adalah kebutuhan pokok, bukan kebutuhan tersier. Oleh karenanya, aku harus mengalokasikan gajiku untuk membeli buku setiap bulannya. Dulu, aku menganggap membaca sebagai 'hobi' dan bukan 'kebutuhan' sehingga aku tidak terlalu merisaukannya jika aku tak memiliki alokasi uang. Kini, aku akan menempatkan buku sebagai kebutuhan untuk sarana belajar. Tak banyak, untuk kebutuhan, aku mengalokasikan kurang lebih 2,5% dari gajiku (maksimal 5% jika aku 'ingin') untuk membeli buku.
Dengan metode itu, aku bisa membeli buku setiap bulannya. Aku tak perlu khawatir lagi jika aku kecapaian dan tak bisa pergi ke perpustakaan karena aku memiliki bukuku sendiri yang bisa kubaca kapankun kumau. Sekali lagi: ternyata tak ada yang salah dengan gajiku melainkan mindsetku itu sendiri.
Salam dari sudut Kota Jakarta,
Pecinta Buku