![]() |
Kalimat santer dari Pidi Baiq, penulis novel Dilan |
“Bumi Pasundan diciptakan ketika Tuhan sedang tersenyum.” Ujar Fikri menirukan kalimat yang sudah popular di telinga, sambil tersenyum. Sepertinya dia sangat bangga terhadap tanah perantauannya ini. Dia banyak bercakap tentang kota perantauannya ini. Cuaca, makanan, hingga acara pameran senjata yang pernah diadakan di Kota Kembang ini. Saya akui, kota ini cantik. Suasananya tak terlalu ramai seperti Jakarta. Pun bangunan tua sepanjang jalan masih mudah dijumpai. Sayang, macet dan dinginnya air Bandung membuat saya diam mampus.
Kami menelusuri jalanan Asia
Afrika kemudian mampir di alun-alun Kota Bandung. Sore itu masih gerimis, kami
menapaki alun-alun sambil bertelanjang kaki. Selepas sembahyang, kami bersantap
malam kuliner khas Bandung, Cuaki, di depan masjid. Kata Fikri, cuaca
gerimisi-dingin seperti ini memang pas untuk makan Cuaki yang panas untuk
menghangatkan tubuh. Saya setuju. Pula badan saya sudah cukup kedinginan. “Tau
nggak, Wul? Cuaki itu singkatan dari Cari Uang Jalan Kaki?” Fikri bertanya.
Saya hanya menggeleng dan tertawa, cukup terperangah sekaligus terhibur. Kata
Fikri pula, orang Bandung memang suka membikin singkatan. Ada cilor (cilok
telor), cireng (cilok goring), dan sebagainya.
![]() |
Cuaki, makanan khas Bandung |
Selepas bersantap, kami
menelusuri area kota lama Bandung. Di sepanjang jalan, banyak sekali peragaan
patung manusia. Hantu, kiranya tema malam itu. Sebagian besar memperagakan
hantu, baik hantu domestik hingga yang bertaraf internasional. Pocong, Kuntil
Anak, Hantu None Belanda, Anabelle, hingga Valak pun bisa ditemukan di sini. Ketika
Fikri bertanya apakah saya takut, tentu saya jawab tidak karena memang tidak
menakutkan. Namun, nahas. Saya dikejutkan oleh Hantu Tanpa Kepala sehingga saya
refleks meraih lengan Fikri. “Kenapa, Wul? Takut, ya?” Fikri bertanya. Saya
hanya nyengir. Bukan takut melainkan hanya terkejut.
![]() |
Para hantu di Jalan Asia Afrika |
Sebetulnya, hantu-hantu tersebut
memang tidak menakutkan. Mereka hanya mengejutkan sekali-dua kali saja. Tak
hanya saya saja yang terkejut. Faktanya, saat kami berjalan santai, seorang pengemudi
ojek online terlihat iseng memberitahu penumpangnya untuk menengok ke bahu
jalan. Saat menengok ke arah yang dimaksud, penumpang ojol yang merupakan
ibu-ibu, berteriak histeris sambil memukul helm pengemudi ojol di depannya.
Pengemudi ojol tertawa jahil, kami dan beberapa pengunjung yang melihatnya pun
ikut tak kuasa menahan tawa. Nahas, jalanan macet. Pengemudi ojol berusaha
untuk menyelinap membelah kemacetan sambil Si Ibu masih memukul-helmnya.
Puas menyusuri jalanan Asia
Afrika, kami bergegas menuju area Braga. Di sana sama macetnya dengan
Asia-Afrika. Banyak kafe dan bar yang cukup instagenic.
Lokasinya berderet menjelujur di sepanjang kiri-kanan bahu jalan. Di area ini,
kita bisa menemukan lukisan-lukisan yang dijual dipamerkan di sepanjang jalan.
Atas ajakan sekaligus rekomendasi Fikri, saya tak kuasa menolak untuk mencoba
Kopi Djawa, meskipun saya sempat menolak.
![]() |
Lukisan di sepanjang Jalan Braga |
![]() |
Fikri, seorang teman yang menemani berkeliling Bandung, sedang memesan kopi di Toko Kopi Djawa |
![]() |
Dua Kopi Djawa milik saya dan Fikri |
Kami masuk dan memesan Kopi Djawa
Gula Aren. Sambil menunggu, kami menikmati interior kafe yang cukup cozy. Bangunannya tua namun kondisinya
cukup terawat. Beberapa tanaman hijau (tidak sempat melihat detail asli atau
palsu) menghiasi ruangan yang dindingnya bercatkan warna putih bersih. Terlihat
pula buku-buku disediakan di atas rak untuk mengakomodir customer yang ingin membaca.
Selepas merasa puas menyusuri
Braga, kami pun memutuskan untuk mampir dan mengambil foto di depan Gedung
Sate, gedung ikonik di kota ini. Kami tak banya mengambil gambar karena baterai
ponsel saya sudah mampus sejak berada
di Braga. Kami mengobrol santai, melepas rindu setelah setahun lebih tak
bertemu. Kata Fikri, seharusnya saya tinggal di sini lebih lama. Kalau lama,
nanti saya mau diajaknya berkeliling Bandung, ke Kawah Putih Tangkuban Perahu,
Lembang, dan lainnya. Katanya, biar saya jatuh cinta pada Bandung dan tak mau
pulang. Haha, ada-ada saja! Hanya semalam saja saya menghabiskan waktu di
Bandung, rasa-rasanya Bandung sudah mendapatkan tempat di hati saya. Kalau ada
kesempatan, saya bersedia datang kemari lagi untuk bersantai ria.