Menjajaki Bumi Pasundan Pertama Kali

February 28, 2020, by Wulan Istri



Kalimat santer dari Pidi Baiq, penulis novel Dilan

“Bumi Pasundan diciptakan ketika Tuhan sedang tersenyum.” Ujar Fikri menirukan kalimat yang sudah popular di telinga, sambil tersenyum. Sepertinya dia sangat bangga terhadap tanah perantauannya ini. Dia banyak bercakap tentang kota perantauannya ini. Cuaca, makanan, hingga acara pameran senjata yang pernah diadakan di Kota Kembang ini. Saya akui, kota ini cantik. Suasananya tak terlalu ramai seperti Jakarta. Pun bangunan tua sepanjang jalan masih mudah dijumpai. Sayang, macet dan dinginnya air Bandung membuat saya diam mampus.
Kami menelusuri jalanan Asia Afrika kemudian mampir di alun-alun Kota Bandung. Sore itu masih gerimis, kami menapaki alun-alun sambil bertelanjang kaki. Selepas sembahyang, kami bersantap malam kuliner khas Bandung, Cuaki, di depan masjid. Kata Fikri, cuaca gerimisi-dingin seperti ini memang pas untuk makan Cuaki yang panas untuk menghangatkan tubuh. Saya setuju. Pula badan saya sudah cukup kedinginan. “Tau nggak, Wul? Cuaki itu singkatan dari Cari Uang Jalan Kaki?” Fikri bertanya. Saya hanya menggeleng dan tertawa, cukup terperangah sekaligus terhibur. Kata Fikri pula, orang Bandung memang suka membikin singkatan. Ada cilor (cilok telor), cireng (cilok goring), dan sebagainya.


Cuaki, makanan khas Bandung


Selepas bersantap, kami menelusuri area kota lama Bandung. Di sepanjang jalan, banyak sekali peragaan patung manusia. Hantu, kiranya tema malam itu. Sebagian besar memperagakan hantu, baik hantu domestik hingga yang bertaraf internasional. Pocong, Kuntil Anak, Hantu None Belanda, Anabelle, hingga Valak pun bisa ditemukan di sini. Ketika Fikri bertanya apakah saya takut, tentu saya jawab tidak karena memang tidak menakutkan. Namun, nahas. Saya dikejutkan oleh Hantu Tanpa Kepala sehingga saya refleks meraih lengan Fikri. “Kenapa, Wul? Takut, ya?” Fikri bertanya. Saya hanya nyengir. Bukan takut melainkan hanya terkejut.
Para hantu di Jalan Asia Afrika

Sebetulnya, hantu-hantu tersebut memang tidak menakutkan. Mereka hanya mengejutkan sekali-dua kali saja. Tak hanya saya saja yang terkejut. Faktanya, saat kami berjalan santai, seorang pengemudi ojek online terlihat iseng memberitahu penumpangnya untuk menengok ke bahu jalan. Saat menengok ke arah yang dimaksud, penumpang ojol yang merupakan ibu-ibu, berteriak histeris sambil memukul helm pengemudi ojol di depannya. Pengemudi ojol tertawa jahil, kami dan beberapa pengunjung yang melihatnya pun ikut tak kuasa menahan tawa. Nahas, jalanan macet. Pengemudi ojol berusaha untuk menyelinap membelah kemacetan sambil Si Ibu masih memukul-helmnya.

Puas menyusuri jalanan Asia Afrika, kami bergegas menuju area Braga. Di sana sama macetnya dengan Asia-Afrika. Banyak kafe dan bar yang cukup instagenic. Lokasinya berderet menjelujur di sepanjang kiri-kanan bahu jalan. Di area ini, kita bisa menemukan lukisan-lukisan yang dijual dipamerkan di sepanjang jalan. Atas ajakan sekaligus rekomendasi Fikri, saya tak kuasa menolak untuk mencoba Kopi Djawa, meskipun saya sempat menolak.

Lukisan di sepanjang Jalan Braga

Fikri, seorang teman yang menemani berkeliling Bandung, sedang memesan kopi di Toko Kopi Djawa

Dua Kopi Djawa milik saya dan Fikri

Kami masuk dan memesan Kopi Djawa Gula Aren. Sambil menunggu, kami menikmati interior kafe yang cukup cozy. Bangunannya tua namun kondisinya cukup terawat. Beberapa tanaman hijau (tidak sempat melihat detail asli atau palsu) menghiasi ruangan yang dindingnya bercatkan warna putih bersih. Terlihat pula buku-buku disediakan di atas rak untuk mengakomodir customer yang ingin membaca.

Selepas merasa puas menyusuri Braga, kami pun memutuskan untuk mampir dan mengambil foto di depan Gedung Sate, gedung ikonik di kota ini. Kami tak banya mengambil gambar karena baterai ponsel saya sudah mampus sejak berada di Braga. Kami mengobrol santai, melepas rindu setelah setahun lebih tak bertemu. Kata Fikri, seharusnya saya tinggal di sini lebih lama. Kalau lama, nanti saya mau diajaknya berkeliling Bandung, ke Kawah Putih Tangkuban Perahu, Lembang, dan lainnya. Katanya, biar saya jatuh cinta pada Bandung dan tak mau pulang. Haha, ada-ada saja! Hanya semalam saja saya menghabiskan waktu di Bandung, rasa-rasanya Bandung sudah mendapatkan tempat di hati saya. Kalau ada kesempatan, saya bersedia datang kemari lagi untuk bersantai ria.

0 komentar

Instagram

Featured Post

Hampa

Aku berlari dan terus berlari  Rasanya lelah namun aku tak bisa berhenti  Ku berlari tanpa arah yang pasti  Tak tahu pula apa yang tengah ku...

Contact Form

Name

Email *

Message *