Hidup benar-benar terasa hampa. Rasanya hambar. Tidak ada lagi hal-hal yang rasanya mengejutkan. Hidup tak lagi terasa indah. Saya, sebagai seorang ENFP, merasa bahwa dunia ini tak lagi berwarna dan membuat saya tertarik. Hidup rasanya menjadi monokrom. Cara saya memandang hidup pun berubah menjadi sangat sempit. Saya hanya bisa memandangnya dengan dua sisi saja: bahagia atau sedih, berhasil atau gagal, sepi atau ramai, dan bersyukur atau menyesali dan terus merasa kurang. Entah bagaimana bisa, namun kenyatannya seperti itu. Hidup saya jauh terasa membosankan dan terkesan menyedihkan.
Saya sebetulnya termasuk orang
yang bisa dibilang supel dan simpel. Saya memiliki mimpi yang tidak begitu muluk.
Mimpi saya adalah: saya ingin menjadi seseorang yang bermanfaat bagi orang
banyak. Tak perlu memberikan manfaat yang besar, manfaat kecil pun tak mengapa
asal selalu bisa memberikan kebermanfaatan dan linear dengan jurusan serta
minat saya. Mungkin di antara kalian ada yang menganggap, ‘Lah, mimpinya kok
lebar, banget. Nggak SMART gitu?’ Hahaha ya, memang. Saya sebetulnya sudah merancang
mimpi jangka pendek dan jangka menengah yang saya susun secara SMART. Namun,
akhir-akhir ini saya merasa bimbang sehingga meninggalkan rencana tersebut
untuk sementara. Ya, benar! saya berada dalam fase kebimbangan.
Fase kebimbangan ini cukup
beralasan. Saat ini, teman-teman dekat saya yang biasanya memberikan dukungan
terhadap mimpi sederhana saya perlahan mulai unreachable. Ada yang menikah, bekerja, dan sebagian berpisah jauh
karena pandemi. Well, I am not that kinda
person who loves to talk about life through text. Dan karena sifat inilah
saya semakin terpisah jauh dari inner
circle saya. Saya jarang berkomunikasi dengan mereka dan akhirnya… saya
merasa sendiri. I used to share my
dreams, my thoughts, and my contemplation with friends but now I couldn’t. I prefer
keeping them all by myself. Merasa sendiri… sudah. Sekarang saatnya merasa
tidak yakin. Benar!
Inner circle seems unreachable. Kehadiran mereka kini ‘rasanya’
memiliki posisi yang sama dengan teman-teman dan kenalan saya pada umumnya yang
‘kehadirannya’ bisa saya rasakan lewat dunia maya. Satu-satunya jalan yang bisa
dilakukan untuk selalu keep in touch
adalah dengan menggunakan sosial media. Bukankah manusia tak ingin merasa
kesepian hingga kita mau berusaha untuk mengetahui kabar teman kita? Memang
benar. Namun, masalahnya kembali muncul. Saya yang cukup jarang melihat story
di instagram sekarang jauh lebih intens melakukannya dan… saya terpapar oleh
story teman-teman saya yang sudah lulus dan bekerja. Ya, itulah faktanya!
Saya bukanlah seseorang yang
dengan mudah merasa iri atau insecure
terhadap progress skripsi teman-teman saya. Nope! Sama sekali tidak. Ya, saya
berasa jauh lebih rentan dengan insecurity
yang disebabkan oleh teman-teman **FL saya. Mungkin ada benarnya mental saya
tidak terlalu fit di sana but I had been chosen and I could graduate
Februari lalu meski rasanya harus sampai berdarah-darah. Ya! Bagaimana tidak?
MT di Nestle, BRI, Danone. Ada yang bekerja di worldresource, lembaga
konsultan, lembaga auditor yang ‘cukup’ memiliki nama, ada yang bahkan sudah
lulus master (benar! Master! Ga salah baca), bekerja di StartUp terkenal, dapat
beasiswa master, dsb. Well… Those made me
freak out. Saya tahu teori bahwa kita tak perlu membandingkan diri kita
dengan orang lain karena tujuan kita saja beda. But, believe me. It’s so damn hard to not doing so when we feel down.
Yes, I made them as my standard when I
actually don’t wanna to! Those feeling were inevitable!
Saya sempat berpikir ‘Kenapa saya
tidak seperti kebanyakan teman saya yang lain? Mereka memiliki mimpi yang hebat
dan mereka berusaha dengan keras.’ Saya seseorang dengan cita-cita yang sangat
amat sederhana. Saya merupakan orang yang lebih merasa bahagia ketika menemukan
kejutan-kejutan hidup di setiap harinya. Apapun itu. Rasanya hidup akan tampak
lebih berwarna, lebih hidup. Jujur, jika saya ditanya apakah saya ingin seperti
mereka? Jujur, dalam hati saya, saya akan menjawab tidak. Memang ada bagusnya
untuk mengutamakan career and financial-secured
yang akan berpengaruh terhadap kesejahteraan dan kenyamanan hidup. But, well… I know money is very important
but I don’t think my majority source of my happiness comes from materials.
Well… I prefer finding the meaning of something and life as my source of
happiness.
Memang sejak masuk program
tersebut, saya belajar banyak selama program. Everything was fine except one: my mental health. I know I should not
blame because lot of my friends join too and they are fine. But again, it’s me.
Not them. Saya sudah merasa ‘berbeda’ di kelas sejak awal. Pertama, karena
jurusan saya merupakan minoritas yang berarti saya harus memperlebar cara
pandang saya. Kedua, karena mimpi dan prinsip hidup saya agaknya sangat
bersebarangan dengan hampir semua murid lainnya (I thanked to Leo who used to encourage me). Kemudian saya berpikir bahwa
setelah lulus, mungkin saya akan merasa lebih bebas dan akan segera ‘terlepas’
dari jeratan tekanan tersebut. Namun ternyata tidak juga! Pandemi membuat
segalanya diluar dugaan. Saya justru semakin terdampak. Prinsip hidup saya
semakin goyah. Saya kembali menanyakan apa yang ingin saya lakukan kedepannya.
Setelahnya, hidup saya rasanya
terjun bebas dari langit dan tersesat di hutan belantara. Saya stress. Saya
merasa sangat hampa. Saya merasa bahwa hidup ini sangatlah membosankan.
Hari-hari yang membosankan akan terus berulang lagi. Apakah hidup hanyalah
proses menunggu ajal menjemput? Kemudian saya mulai memiliki pemikiran yang
sedikit ekstrem. Bukankah hidup ini
sungguh berat? Rasanya ingin mati saja karena bosan dan tak tahu harus
melakukan apa. Tapi saya masih seseorang yang beriman yang percaya bunuh diri
adalah perbuatan yang dibenci Tuhan. Saya masih ingin hidup menjadi manusia
yang bermanfaat sambil terus mengumpulkan bekal untuk hari akhir. Tapi, saya
bingung ‘Bagaimana caranya?’ Saya khawatir apabila ternyata amal yang saya
miliki tidak cukup. Ah pikiran saya semakin jauh. Kalimat yang pas
menggambarkan keadaan saya tersebut adalah “Hidup segan, mati tak mau.”
Saya juga berpikir bahwa bukankah
takdir yang paling nikmat adalah tidak terlahir ke dunia ini sama sekali atau
terlahir namun sudah ditakdirkan masuk surga? Bukankah itu sesuatu yang
menyedihkan untuk dipikirkan? Sedih saya semakin menjadi-jadi. Saya merasa
semakin tersesat. Saya mulai menanyakan tujuan hidup. Bukankah tujuan manusia
diciptapkan adalah untuk beribadah? Lantas, sampai sejauh mana saya harus
beribadah? Saya semakin takut akan yang namanya kehidupan, Saya menjadi lebih bingung
dengan prinsip dan tujuan hidup saya. Emosi saya juga pada akhirnya jauh lebih
sulit dikontrol. Terkadang saya menangis sendiri secara tiba-tiba atau marah
besar hingga bisa melempar gelas atau ponsel. I even, cried in the bathroom sometimes. Saya ‘meledak’ hanya
karena ada sesuatu yang sebetulnya merupakan masalah kecil.
Then I know… this is the right time to look for help.
To be continued
Tulisan ini didekasikan untuk
teman-teman yang sedang mengalami Life Quarter Crisis. You don’t have to be
worry. Tidak perlu merasa berkecil hati dan merasa sedih bahwasanya masalah
sekecil ini saja berdampak besar terhadap kesehatan mentalmu. Nope! Don’t! Setiap
orang memiliki sensitivitas terhadap level stress yang berbeda-beda. Selain
itu, terlepas dari kondisi apapun… emosi atau perasaan seseorang adalah valid.