Background: I Think I Do Suffer from (Light) Depression (?)

September 15, 2021, by Wulan Istri


Hidup benar-benar terasa hampa. Rasanya hambar. Tidak ada lagi hal-hal yang rasanya mengejutkan. Hidup tak lagi terasa indah. Saya, sebagai seorang ENFP, merasa bahwa dunia ini tak lagi berwarna dan membuat saya tertarik. Hidup rasanya menjadi monokrom. Cara saya memandang hidup pun berubah menjadi sangat sempit. Saya hanya bisa memandangnya dengan dua sisi saja: bahagia atau sedih, berhasil atau gagal, sepi atau ramai, dan bersyukur atau menyesali dan terus merasa kurang. Entah bagaimana bisa, namun kenyatannya seperti itu. Hidup saya jauh terasa membosankan dan terkesan menyedihkan.

Saya sebetulnya termasuk orang yang bisa dibilang supel dan simpel. Saya memiliki mimpi yang tidak begitu muluk. Mimpi saya adalah: saya ingin menjadi seseorang yang bermanfaat bagi orang banyak. Tak perlu memberikan manfaat yang besar, manfaat kecil pun tak mengapa asal selalu bisa memberikan kebermanfaatan dan linear dengan jurusan serta minat saya. Mungkin di antara kalian ada yang menganggap, ‘Lah, mimpinya kok lebar, banget. Nggak SMART gitu?’ Hahaha ya, memang. Saya sebetulnya sudah merancang mimpi jangka pendek dan jangka menengah yang saya susun secara SMART. Namun, akhir-akhir ini saya merasa bimbang sehingga meninggalkan rencana tersebut untuk sementara. Ya, benar! saya berada dalam fase kebimbangan.

Fase kebimbangan ini cukup beralasan. Saat ini, teman-teman dekat saya yang biasanya memberikan dukungan terhadap mimpi sederhana saya perlahan mulai unreachable. Ada yang menikah, bekerja, dan sebagian berpisah jauh karena pandemi. Well, I am not that kinda person who loves to talk about life through text. Dan karena sifat inilah saya semakin terpisah jauh dari inner circle saya. Saya jarang berkomunikasi dengan mereka dan akhirnya… saya merasa sendiri. I used to share my dreams, my thoughts, and my contemplation with friends but now I couldn’t. I prefer keeping them all by myself. Merasa sendiri… sudah. Sekarang saatnya merasa tidak yakin. Benar!

Inner circle seems unreachable. Kehadiran mereka kini ‘rasanya’ memiliki posisi yang sama dengan teman-teman dan kenalan saya pada umumnya yang ‘kehadirannya’ bisa saya rasakan lewat dunia maya. Satu-satunya jalan yang bisa dilakukan untuk selalu keep in touch adalah dengan menggunakan sosial media. Bukankah manusia tak ingin merasa kesepian hingga kita mau berusaha untuk mengetahui kabar teman kita? Memang benar. Namun, masalahnya kembali muncul. Saya yang cukup jarang melihat story di instagram sekarang jauh lebih intens melakukannya dan… saya terpapar oleh story teman-teman saya yang sudah lulus dan bekerja. Ya, itulah faktanya!

Saya bukanlah seseorang yang dengan mudah merasa iri atau insecure terhadap progress skripsi teman-teman saya. Nope! Sama sekali tidak. Ya, saya berasa jauh lebih rentan dengan insecurity yang disebabkan oleh teman-teman **FL saya. Mungkin ada benarnya mental saya tidak terlalu fit di sana but I had been chosen and I could graduate Februari lalu meski rasanya harus sampai berdarah-darah. Ya! Bagaimana tidak? MT di Nestle, BRI, Danone. Ada yang bekerja di worldresource, lembaga konsultan, lembaga auditor yang ‘cukup’ memiliki nama, ada yang bahkan sudah lulus master (benar! Master! Ga salah baca), bekerja di StartUp terkenal, dapat beasiswa master, dsb. Well… Those made me freak out. Saya tahu teori bahwa kita tak perlu membandingkan diri kita dengan orang lain karena tujuan kita saja beda. But, believe me. It’s so damn hard to not doing so when we feel down. Yes, I made them as my standard when I actually don’t wanna to! Those feeling were inevitable!

Saya sempat berpikir ‘Kenapa saya tidak seperti kebanyakan teman saya yang lain? Mereka memiliki mimpi yang hebat dan mereka berusaha dengan keras.’ Saya seseorang dengan cita-cita yang sangat amat sederhana. Saya merupakan orang yang lebih merasa bahagia ketika menemukan kejutan-kejutan hidup di setiap harinya. Apapun itu. Rasanya hidup akan tampak lebih berwarna, lebih hidup. Jujur, jika saya ditanya apakah saya ingin seperti mereka? Jujur, dalam hati saya, saya akan menjawab tidak. Memang ada bagusnya untuk mengutamakan career and financial-secured yang akan berpengaruh terhadap kesejahteraan dan kenyamanan hidup. But, well… I know money is very important but I don’t think my majority source of my happiness comes from materials. Well… I prefer finding the meaning of something and life as my source of happiness.

Memang sejak masuk program tersebut, saya belajar banyak selama program. Everything was fine except one: my mental health. I know I should not blame because lot of my friends join too and they are fine. But again, it’s me. Not them. Saya sudah merasa ‘berbeda’ di kelas sejak awal. Pertama, karena jurusan saya merupakan minoritas yang berarti saya harus memperlebar cara pandang saya. Kedua, karena mimpi dan prinsip hidup saya agaknya sangat bersebarangan dengan hampir semua murid lainnya (I thanked to Leo who used to encourage me). Kemudian saya berpikir bahwa setelah lulus, mungkin saya akan merasa lebih bebas dan akan segera ‘terlepas’ dari jeratan tekanan tersebut. Namun ternyata tidak juga! Pandemi membuat segalanya diluar dugaan. Saya justru semakin terdampak. Prinsip hidup saya semakin goyah. Saya kembali menanyakan apa yang ingin saya lakukan kedepannya.

Setelahnya, hidup saya rasanya terjun bebas dari langit dan tersesat di hutan belantara. Saya stress. Saya merasa sangat hampa. Saya merasa bahwa hidup ini sangatlah membosankan. Hari-hari yang membosankan akan terus berulang lagi. Apakah hidup hanyalah proses menunggu ajal menjemput? Kemudian saya mulai memiliki pemikiran yang sedikit ekstrem. Bukankah hidup ini sungguh berat? Rasanya ingin mati saja karena bosan dan tak tahu harus melakukan apa. Tapi saya masih seseorang yang beriman yang percaya bunuh diri adalah perbuatan yang dibenci Tuhan. Saya masih ingin hidup menjadi manusia yang bermanfaat sambil terus mengumpulkan bekal untuk hari akhir. Tapi, saya bingung ‘Bagaimana caranya?’ Saya khawatir apabila ternyata amal yang saya miliki tidak cukup. Ah pikiran saya semakin jauh. Kalimat yang pas menggambarkan keadaan saya tersebut adalah “Hidup segan, mati tak mau.”

Saya juga berpikir bahwa bukankah takdir yang paling nikmat adalah tidak terlahir ke dunia ini sama sekali atau terlahir namun sudah ditakdirkan masuk surga? Bukankah itu sesuatu yang menyedihkan untuk dipikirkan? Sedih saya semakin menjadi-jadi. Saya merasa semakin tersesat. Saya mulai menanyakan tujuan hidup. Bukankah tujuan manusia diciptapkan adalah untuk beribadah? Lantas, sampai sejauh mana saya harus beribadah? Saya semakin takut akan yang namanya kehidupan, Saya menjadi lebih bingung dengan prinsip dan tujuan hidup saya. Emosi saya juga pada akhirnya jauh lebih sulit dikontrol. Terkadang saya menangis sendiri secara tiba-tiba atau marah besar hingga bisa melempar gelas atau ponsel. I even, cried in the bathroom sometimes. Saya ‘meledak’ hanya karena ada sesuatu yang sebetulnya merupakan masalah kecil.

Then I know… this is the right time to look for help.

 

To be continued

 

Tulisan ini didekasikan untuk teman-teman yang sedang mengalami Life Quarter Crisis. You don’t have to be worry. Tidak perlu merasa berkecil hati dan merasa sedih bahwasanya masalah sekecil ini saja berdampak besar terhadap kesehatan mentalmu. Nope! Don’t! Setiap orang memiliki sensitivitas terhadap level stress yang berbeda-beda. Selain itu, terlepas dari kondisi apapun… emosi atau perasaan seseorang adalah valid. 

0 komentar

Instagram

Featured Post

Hampa

Aku berlari dan terus berlari  Rasanya lelah namun aku tak bisa berhenti  Ku berlari tanpa arah yang pasti  Tak tahu pula apa yang tengah ku...

Contact Form

Name

Email *

Message *