Method: How Do I Solve My Problem
October 10, 2021, by Wulan IstriSaya memutuskan untuk mencari
bantuan, baik bantuan dari teman maupun ahli. Sebagai mahasiswa yang
memperlajari tentang dunia kesehatan, sebisa mungkin saya menghindari self-diagnosed dan bertanya pada orang
yang tepat. Oleh karenanya, saya ingin mencari tahu apa yang terjadi dengan diri
saya menurut ilmu kepakaran psikologis. Setelah berpikir, saya memilih untuk
berkonsultasi dengan psikolog karena beberapa alasan. Pertama, saya ‘merasa’
bahwa keluhan saya tidak terlalu parah dan belum sampai tahap yang mengkhawatirkan
dan memerlukan obat. Jadi, saya rasa saya belum perlu untuk menemui psikiater.
Baru jika ada indikasi khusus dari psikolog untuk dirujuk ke psikiater, saya
akan pergi menemuinya. Kedua, tentu dari segi harga. Yap, layanan konsultasi
psikologi cenderung lebih terjangkau dibandingkan dengan konsultasi ke
psikiater.
Saya melakukan riset kira-kira
psikolog mana yang paling dekat dengan tempat tinggal saya saat ini beserta
tarifnya. Jujur, poin kedua (re: tarif) merupakan salah satu hal terpenting
karena sebisa mungkin biayanya terjangkau supaya saya jauh lebih tenang. Saya mencari-cari
layanan konseling psikologis di area sekitar Solo Raya atau Jogja melalui
internet. Sembari melakukan riset kecil-kecilan, saya juga bercerita kepada
beberapa teman dekat yang saya bahwa saya akan menemui psikolog. Mendengar pernyataan
saya, beberapa di antaranya mendukung dan menyemangati saya untuk menemui
psikolog. Jujur, saya merasa senang karena perasaan saya ‘seakan’ divalidasi
oleh mereka. Bukankah terkadang kita sudah merasa yakin dengan apa yang akan
kita lakukan namun kemudian tetap meminta pendapat (bukan karena bingung
melainkan) karena kita membutuhkan validasi dari mereka? Dan yah, itu yang saya
lakukan. Namun secara kebetulan, satu orang teman saya nampak kurang setuju
dengan rencana saya. Dia menyarankan saya untuk mendengarkan ceramah agama dan
mendekatkan diri kepada Tuhan.
Saat itu saya hanya terdiam dan
tentu saja sedih. Sebelum saya memutuskan untuk pergi ke psikolog, saya sudah merenung
berkali-kali jika mungkin saja kegelisahan yang saya rasakan ini bersumber dari
‘jauhnya’ hubungan antara saya dengan Tuhan. I did it. Saya mencoba memperbaikinya dari hal-hal yang selalu
bersinggungan dengan kehidupan saya namun juga belum juga berhasil. Because believe me… to learn all of those,
we need times. It is not like math or science when you learn it in days then
you will master a chapter of them. No. So I thought I fail. Kemudian ketika
teman saya berkata demikian, saya menjadi semakin sedih. Saya menjadi kalut dan
tiba-tiba menangis sendiri selama beberapa hari. Saya sempat berpikir, “Memangnya aku separah itu? Memangnya ‘sejauh’
itu kah aku sama Tuhan sampai-sampai temanku berkata demikian?” Overthinking saya semakin menjadi-jadi. Kegelisahan
saya juga semakin menjadi-jadi. Hahaha memang. Walaupun beberapa teman
mendukung tapi ada satu orang yang membuat goyah, jadi runtuh juga tembok
pertahanan karena tiba-tiba merasa lemah.
Kemudian entah saya mendapatkan
ilham dari mana, saya teringat akan seorang kenalan yang baru bertemu beberapa
kali (mungkin dua atau tiga kali). Saya bertemu pertama kali ketika kami berdua
sama-sama menjadi relawan di sebuah acara festival seni. Saat pertama kali
bertemu, saya masih SMA kelas 12. Saya memang hanya beberapa kali bertemu namun
entah mengapa saya tiba-tiba teringat dan ingin bercerita serta percaya begitu
saja padanya. Padahal bisa dikatakan saya jarang sekali berkomunikasi
dengannya. Bisa dikatakan satu tahun hanya beberapa kali. Namun begitu, saya
masih ingat dengan jelas betul bahwa saya hampir selalu terkejut saat ngobrol dengan masnya ini.
Menurut saya pribadi, masnya ini
punya pengetahuan yang luas. Masnya bisa saja setelah membicarakan makanan dan
budaya kemudian membicarakan filososi, mitologi Yunani, fisika, atau dalil
agama. Dari yang awalnya bicara dengan bahasa Inggris kemudian switch ke bahasa Arab atau Spanyol (atau
Portugis?) walaupun saya tidak tahu seberapa dalam bahasa yang dikuasainya.
Tapi jujur, saat itu saya selalu terkesima ketika diajak ngobrol. I was like… speechless all the time in the
end of our conversation. Masnya bisa saja berbicara sains kemudian dalam
sekejap berbicara agama. And since that
time, I know that he has both knowledge. He learn basic of science and the
religion as well. Saya pikir, tipe seperti masnya inilah yang saya cari. Saya
mencari orang yang bisa melihat sesuatu tidak hanya dari satu sisi saja
melainkan dari berbagai sisi. Saya adalah tipe orang yang percaya bahwa sains
dan agama bisa berjalan beriringan dan oleh karenanya saya ingin menyelesaikan
masalah saya baik dari sisi agama dan sains. And I thought that Masnya is
the exact person that I had been looking for.
Dari sisi filosofis dan agama, sudah
menemukan orang yang menurut saya tepat. Saatnya mencari psikolog. Setelah mencari
layanan konseling psikologis gratis di internet sekian lama, saya akhirnya
menyerah dan memutuskan untuk mencari konseling berbayar (umum). Awalnya saya
ingin memakai BPJS tapi setahu saya BPJS meng-cover biaya ke psikiater saja (rujukan). Untuk mendapatkan rujukan
tersebut saya kira bukan sesuatu yang mudah karena kita harus meminta surat
rujukan dari faskes pertama yang pastinya harus siap mental ketika mungkin saja
akan mendapatkan cibiran “Masih muda kok mau ke spesialis jiwa” dan sebagainya.
Setelah berselancar di Twitter, saya mendapatkan beberapa opsi: di Jogja
International Hospital atau di semua Puskesmas di Kabupaten Sleman dan Kota Jogja.
Karena tempat tinggal saya lebih dekat ke Sleman (perbatasan) dan tarifnya jauh
lebih murah dibandingkan RS maka saya memutuskan untuk ke psikolog di Puskesmas
Prambanan (paling dekat dengan rumah). I
was so sure.
I know this is the best decision that I made.
0 komentar