Hari-H reservasi konseling ke psikolog
Saya tiba di Puskesmas Prambanan
sekitar pukul 10 pagi kemudian segera mengurus pendaftaran karena saya belum
pernah melakukan pemeriksaan di sana. Usut punya usut, saya tidak bisa
melakukan konseling face to face karena
saya berdomisili di luar Sleman (akibat pandemi). Saya diberikan dua pilihan,
yaitu untuk melakukan rapid test antigen atau melakukan konseling secara
online. Psikolog menyarankan saya untuk melakukan koseling secara online (boleh
melalui text atau videocall) dan saya menyetujuinya. Saya diminta untuk
meninggalkan nomor telepon kemudian akan dihubungi oleh pihak Puskesmas untuk
penjadwalan konseling. Saya meminta konseling minggu depan karena setelah dari
Puskesmas saya akan menemui teman saya, Mas Ger, di sekitar UGM.
Pertemuan dengan Mas Ger ternyata juga berpengaruh baik bagi saya. Salah satu permasalahan saya adalah saya merasa mimpi saya ‘aneh’ tidak seperti mimpi kebanyakan orang. Ketika saya mengobrol dengan Mas Ger, saya merasa memiliki banyak kemiripan dengannya. I felt like ‘hey, I am not alone! He is also like me!’ in some ways. I felt like I saw a part of me in him. Mas Ger adalah seseorang yang lebih experience-oriented dibandingkan material-oriented. Beliau juga memiliki jiwa adventurous and always does whatever he wanna do. In that time, I was really bit calmed… and thanked to him. Saya bilangnya mau bertemu setengah jam tapi ended up melebar hingga 1 jam lebih hahaha. Akhirnya saya bisa sedikit yakin pada diri saya sendiri karena melihat Mas Ger yang juga mengambil jalan berbeda pun saat beliau baik-baik saja dan bahkan shine in his own way. He is happy with the path that he chooses.
Karena jadwal konseling saya
masih minggu depan, saya mencoba untuk menghubungi Mas (yang sebut saja Mas X)
sembari menyusun apa saja yang ingin saya sampaikan untuk sesi konseling minggu
depan. Sebenarnya tidak ada persiapan khusus dan pakem untuk ke psikolog namun
saya pribadi memutuskan untuk mem-breakdown
sekiranya apa yang ingin saya sampaikan beserta kemungkinan-kemungkinan
yang menyebabkan saya gelisah akhir-akhir ini supaya psikolog lebih mudah untuk
mendapatkan insight dan tidak
mengalami banyak kesulitan dalam mengarahkan pembicaraan kami. Hari itu, di
sore itu, saya chat Mas X kemudian tak lama dia membalasnya. Tahu jika chat
saya akan panjang, saya segera menyalakan laptop dan membuka WhatsApp Web di browser.
Saya masih ingat betul, saya menuliskannya sembari kadang menangis. Delete… tulis… delete… tulis. Saya sudah bingung rasanya bagaimana harus
mengungkapkan apa yang ada di dalam kepala dan bagaimana saya mengatakannya.
Akhirnya, saya menuliskannya dengan ala kadarnya.
Saya menunggu jawabannya dengan penuh harap dan cemas. Saya harap Mas X akan memerikan jawaban yang menyejukkan dan tidak men-judge apalagi menyudutkan saya. Hahaha, bukankah jawaban seperti itu yang diharapkan ketika seseorang sedang kalut? Malam itu… sekitar pukul tengah malam, sebuah pesan masuk. Saya masih belum tidur… tapi ketika saya meihat di notifikasi dengan cuplikan berbunyi “Hallo Lan, still there? Nope? Oke read this by the morning and smile.” saya segera mematikan data dan segera tidur dan menanti hari esok pagi untuk membaca pesannya.
By the morning (the next day)
Khawatir sekaligus lega karena
Mas X akhirnya membalas pesanku. Sedikit deg-degan
karena saya sudah mengantisipasi jawaban yang ‘tidak biasa’ darinya. He always has exceptional way to express his
opinion. I took times before having
my courage to open his message. And then… I feel blessed. These are the
screenshot of my messages.
I was crying when I read his message. I feel that my emotion is validated. I think that my feeling is accepted. I think that there are some nice people out there who care about me. I don’t remember the detail of my emotion at that time but I know I was so happy and grateful. I can smile at that day. I can smile and cry at the same time. The mixed feeling of happiness and a Lil bit of left-sadness at the same time. Setelah itu, aya mencoba memahami apa yang dikatakan Mas dan merenung sembari refleksi diri. Saya mencoba mengingat hal apa yang telah saya lakukan, apa yang saya sukai, dan kiranya gambaran sederhana apa yang ingin saya lakukan di kemudian hari. Di hari itu saya merasa bahwa pesan Mas ini telah menyelesaikan 70% dari masalah yang saya hadapi. Saya hanya perlu waktu untuk menyelesaikan sisanya dengan menjalani hidup dan terus belajar.
***
Hari-H konseling
Saya memutuskan untuk tetap
menemui psikolog karena saya sudah membayar. Bukankah sayang kalau tidak ikut
konselingya? Lagipula, saya ingin penilaian yang objektif (setidaknya dari segi
kepakaran) dari seorang psikolog.
Sesi konseling dilakukan selama
kurang lebih satu jam dengan G-Meet. Awalnya saya sedikit gelisah apabila saya
tidak bisa menceritakan dan mengungkapkan apa yang ingin saya katakan. Syukurlah…
saya merasa nyaman dengan psikolog dan bisa menceritakan apa yang ingin saya katakan.
Saya bisa menjawab walaupun merasa sedikit kebingungan sembari disisipi tangis
di dalamnya. Saya beberapa kali meminta maaf karena saya harus menangis dan
memotong pembicaraan psikolog karena saya tiba-tiba mengingat suatu keping kejadian.
Namun begitu, saya sangat lega bisa menceritakan semuanya kepada seorang ahli
tanpa harus takut disudutkan atau khawatir cerita saya akan tersebar
kemana-mana.
Rasanya semua menjadi mudah. Hal-hal
yang awalnya sangat sulit menemukan ujung benangnya, kini terasa mudah di-turut dan menemukan ujungnya. Hal-hal
yang rumit rasanya semakin terlihat sederhana. Layaknya mengobrol, saya
berbincang sambil diarahkan untuk menemukan masalah saya sendiri dan menemukan
solusinya. Rasanya saya seperti menyusun puzzle,
dimulai dari mencari clues kemudian
melihat mana yang pas dan tepat untuk menjadikan puzzle tersebut dapat dibaca dan menjadi indah. Selain itu,
psikolog tersebut juga menyadarkan saya bahwa selain pikiran, saya juga
memiliki kebiasaan buruk seperti tidur dengan jam tidak normal, sering skip makan, jarang berolahraga, dan
sebagianya. Hahaha… kalimat psikolog yang paling berkesan adalah “Sepatu orang
lain bisa saja tak pas untuk saya.” Mungkin memang bisa saya pakai, tapi
membuat saya kesakitan. Mungkin memang indah, tapi kedodoran dan tidak nyaman.
Di akhir konseling, saya sempat
bertanya kepada psikolog apa gerangan yang terjadi pada saya menurut ilmu
kepakaran. Saya tidak ingat apakah psikolog menyebut istilah yang asing tapi
yang saya ingat beliau mengatakan bahwa saya mengalami Quarter Life Crisis dan
membawa masalah tersebut terlalu dalam sehingga saya hampir (kalau kata saya) melewati balas. Beliau juga bilang bahwa
beliau sangat mengapresiasi tindakan saya yang mencari pertolongan segera. “Tindakan
seperti inilah yang tepat. Ketika dirasa membutuhkan bantuan, langsung datang
ke psikolog sesegera mungkin. Bukan ketika dirasa sudah parah, baru datang ke
psikolog. Seperti itulah kebanyakan orang.” Saat itu saya sangat lega dan bisa
sedikit tersenyum. Saya merasa tindakan saya sangatlah tepat dan berani karena
tidak mudah untuk melakukannya. We have
to conquer the denial of our feeling and overthinking about how our secoiety,
or friends, and other people will react if we decided to go to a psychologist.
Sampai saat ini pun saya masih merasa bangga hahaha.
Kesimpulan
Saya senang bahwa saya melakukan
apa yang saya rasa benar dan tepat. Saya merasa bersyukur bahwa ketika saya
sedang merasa down pun saya masih mampu
menerima sains sebagai landasan saya untuk mengambil tindakan dan bukannya denial and assure myself that I am okay when
I actually was not. Setiap orang memiliki ambang batas terhadap sensitivitas
rasa. Ada yang dicubit sedikit saja sudah merasa kesakitan, ada yang ditinju sekalipun
tak akan merasa sakit. Hati manusia juga demikian. Tak usah kita berkecil hati
dan berpikir “Masalahku sekecil ini kenapa aku sangat berduka? Bukankah si X
memiliki masalah yang lebih besar namun dia bisa kuat menghadapi kenyataan?” Nope. Kalau bisa, jangan juga kita
mengatakan hal yang sama kepada orang lain dan mengatakan bahwa masalahnya
kecil dan mereka tak usah bersedih hati karena banyak orang yang lebih
menderita dibanding kita.
Emosi kita itu valid terlepas
dari apapun yang terjadi.
Di lain sisi, saya juga lega
pernah menemui psikolog. Terlepas dari masalah saya yang bisa terselesaikan,
saya juga lega karena saya bisa encourage
people to meet psychologists with the
experience that I have: that meet a psychologist isn’t a scary thing. It is not
a bad thing. It doesn’t mean you are insane. It means that you are sane enough and
you want to remain your status, to become a sane and healthy person.
Remember a thing: an insane person won’t go to a psychologist or psychiatry,
right?
Saya tahu tulisan saya ini kurang
melibatkan emosi tapi jujur saja saya tidak bisa menjelaskan dan menjabarkan
masalah saya dengan detail di sini but I
hope you catch the point that it’s okay if you feel not okay. It’s a normal
thing if you have up and down in your life. You can’t always help yourself. Sometimes
you need other people. And psychologist is include to that ‘other people’ just like your friend.
I hope that you are okay.
This article is written to
commemorate World mental Health Day yesterday (October 10th, 2021).