- November 30, 2024
- 0 Comments
Cerita yang paling familiar di telinga Wulan versi kecil adalah dongeng cerita rakyat. Bukannya apa, akses buku saat itu masih terbatas. Tak ada perpustakaan di SD kami. Tak ada perpustakaan di daerah tempat tinggalku. Jadi, selain buku paket yang dipinjamkan dari sekolah, hanya ada dua buku fiksi yang aku punya, Kisah Abu Nawas dan Kumpulan Cerita Rakyat Nusantara. Dua buku itu dibelikan oleh kakak sulungku yang bekerja di kota. Buku cerita rakyat itu kubaca berulang-ulang hingga lusuh. Dulu, aku hampir ingat sebagian besar alur cerita itu. Ada berbagai macam cerita, dongeng, dan legenda. Tentang Sawunggaling, tentang Candi Prambanan, Umbut Muda dan legenda Sungai Siak, dll. Mengenang masa-masa itu, tentu cerita rakyat dari Sumatera Utara tak luput dari ingatan. Cerita ini memang cukup santer di kalangan anak SD. Di buku pelajaran pun pasti ada kisah itu. Biasanya kisah itu ada di Buku Bahasa Indonesia. Cerita rakyat yang saya maksud ialah tak lain dan tak bukan: Legenda Danau Toba. Kalian pasti sudah tak asing dengan kisah itu. Sekarang, giliran saya untuk menuliskan kisah saya ketika berkunjung ke sana.
![]() |
Danau Toba |
Perjalanan menuju Parapat dari Medan ditempuh dengan menggunakan bus selama tiga jam lebih. Saya sempat tertidur ayam selama di bus. Sayang, tidur itu terpaksa harus terganggu karena memasuki kawasan Parapat, jalanan berlika-liku. Bus berjalan agak pelan namun pasti membelah hutan menuju tujuan akhir. Udaranya sejuk, bisa pastikan melalui kabut yang terlihat menyembul dari balik jejeran Pohon Pinus. Kulihat peta, sepertinya kita sudah akan tiba di tujuan akhir. Ku tengok pemandangan di kanan jalan. Bibir saya tak sanggup untuk berkata 'waaaah' dengan pupil mata membesar. Saya tertegun! Benar-benar danau ini sungguh cantik memukau tiada tara! Ini gila! This is insane! This is out of my expectation! Buru-buru saya mengeluarkan ponsel butut dari dalam tas untuk mengabadikan momen.
![]() |
Foto amatir - Pepohonan Pinus |
![]() |
Penampakan Danau Toba dari dalam bus |
Saya tiba di tujuan akhir dan menyempatkan untuk makan siang dan ngopi di kafe. Eittts jangan salah! Bukannya sok fancy namun karena ada zoom meeting. Jadi, saya mencari tempat yang nyaman sembari men-charge laptop saya. Makanannya lumayan oke, masuk di lidah. Kopinya standard, lumayan. Pemandangannya? Tak diragukan lagi: bintang lima. Setelah selesai meeting, saya meneruskan petualangan saya. Inilah petualangan yang sesungguhnya. Perjalanan baru saja dimulai! Saya berangkat naik bus dari Medan ke sini sendirian. Saya juga tak memiliki kenalan di sini. Parahnya, saya belum sempat melakukan riset mendalam terkait caranya menyeberang ke Pulau Samosir. Tepat kawan! Tujuan saya adalah ke Pulau Samosir dan menginap selama dua malam di sana. Sungguh nekat!
Kenekatan itu berimbas pada kebingungan dan kedunguan sejenak. Ketahuilah kawan, ternyata ada dua cara untuk menuju Pulau Samosir melalui jalur air: 1) dengan feri; 2) dengan Tuk-Tuk. Jangan bayangkan bahwa Tuk-Tuk itu semacam bajaj ala Thailand. Tuk-Tuk ini sejenis kapal yang bisa memuat sekitar kurang lebih 20an orang. Saya tak tahu bahwa 'pelabuhan' untuk kedua alat transportasi tersebut berbeda. Akibatnya, saya harus naik angkot menuju Pelabuhan Tigaraja yang mana sebetulnya bus yang saya tumpangi dari Medan tadi sempat berhenti di sana. The name is also life. Namanya juga hidup.
![]() |
Sepiring mie goreng dan segelas iced latte |
Langit tak cukup gembira. Ia murung dan berwajah muram durjana. Sempat ia menitikkan air mata tapi untungnya dia tak sampai menangis tersedu-sedan. Ponsel butut lemah bila digunakan untuk memotret pada pencahayaan yang minim. Namun, pemandangan ini tak akan saya lewatkan. Saya biarkan kamera ponsel butut itu bertarung melawan sang mega yang hitam. Tuk-tuk melaju membawa penumpang yang didominasi oleh turis mancanegara. Sepertinya, para turis tersihir oleh pesona danau ini. Benar-benar danau dan gunung yang mengelilinginya sangat menawan! Bisa saya pastikan, saya banyak senyum di hari itu!
Tak sampai satu jam, Tuk-Tuk sudah mendekat ke arah kawasan Tuk-Tuk Siadong. Saya langsung diantar tepat di depan tempat penginapan. Benar kawan! Usah kau bingung. Betul! Saya diantar langsung di depan tempat penginapan. Saya melompat dari Tuk-Tuk dan hap! Lalu ditangkap sampailah saya di halaman penginapan! Keren! Inilah mengapa saya lebih memilih naik Tuk-Tuk dibandingkan naik kapal feri!
![]() |
Tuk-Tuk meninggalkan Parapat |
![]() |
Pemandangan dari Tuk-Tuk |
![]() |
Pemandangan dari Tuk-Tul (lagi) |
![]() |
Merapat ke depan tempat penginapan (bukan tempat saya menginap) |
![]() |
Pemandangan dari Tuk-Tuk di sekitar Tuk-Tuk Siadong |
![]() |
Pemandangan dari teras sewaktu maghrib |
![]() |
Pemandangan pada pagi hari |
Saya berjalan menuju resepsionis dan drama dimulai. Mari kita flashback terlebih dahulu. Malam sebelumnya, saya bimbang memilih tempat penginapan. Selain segi kemudahan akses mencari makan dan juga kebersihan kamar, tentu saja pertimbangan nomor satu adalah tarif per kamar. Setelah bolak-balik mengecek riviu berbagai penginapan di Google, akhirnya saya memantapkan diri untuk memilih Hotel Carolina walaupun terdapat riviu yang agak horor di Google. Reservasi hotel ini tidak bisa dilakukan dari situs travel (tertulis full-booked). Saya menemukan situsnya dan memesan dari sana. Memang ketika reservasi, tidak ada halaman pembayaran di sana. Saya pikir, kita bisa membayar ketika check-in di sana. Kita kembali lagi ke masa 'sekarang'. Resepsionis bertanya apakah saya sudah reservasi dan saya menjawab 'ya.' Resepsionis terlihat kebingungan. Usut punya usut, website tersebut sudah tidak dipakai untuk reservasi dan reservasi dapat dilakukan melalui whatsapp. Hahahaha! Merasa konyol. Parahnya, tipe kamar yang saya inginkan (re: tipe kamar termurah) sudah full booked. Mau tak mau, saya akhirnya memesan tipe kamar di atasnya. Saya bayar lunas untuk dua malam beserta deposit.
Hmmm... Mungkin ada hikmahnya, kamar termurah berada di lokasi paling belakang dengan lokasi yang menanjak. Kata reviu di Google, kamar paling belakang dekat dengan makam pemilik hotel ini. Kamar saya sekarang tepat di belakang bangunan dapur dan hanya harus menaiki beberapa anak tangga. Cahayanya cukup remang ketika di malam hari jadi harus ekstra hati-hati ketika berjalan melalui tangga. Pemandangan dari teras kamar sungguh cantik. Hanya saja, langit masih berduka. Ya sudah. Akhirnya bisa merebahkan puggung sejenak setelah seharian menenteng tas punggung dan satu tas jinjing. Malam itu terasa tenang. Saya merasa senang dengan hanya membayangkan besok saya bisa berjalan-jalan di Pulau Samosir. Malam tiba. Saya menikmati malam itu dengan mandi air hangat kemudian zoom meetig lagi! Mengenaskan.
Entah bagaimana Tuhan mengaturnya dan bagaimana pula saya harus bersyukur pada-Nya, Tuhan mengizinkan saya untuk menginjakkan kaki saya di pulau kecil impian itu. Sumba. Ini Sumba! Saya tak menyangka! Karunia Tuhan ini benar-benar tak pernah kuduga sebelumnya bahwa saya, sang pendosa ini, akan menjejakkan kaki di Tanah Sumba ini. Pulau Sumba cukup naik daun akhir-akhir ini. Maudy Ayunda melakukan foto pre-wedding di sini. Video-video tentang Sumba juga bersliweran di sana sini. Paling banyak menampilkan keindahan Bukit Tanarara yang ada di Sumba Timur. Banyak yang membuat konten dan menjulukinya sebagai 'Jalan Tercantik di Indonesia'.
Perjalanan ke Sumba ditempuh dengan menggunakan pesawat Citilink dengan rute Ngurah Rai Bali - Tambolaka Waikabubak. Benar, saya mendarat di Sumba Barat Daya karena tujuan saya berjarak lebih dekat dari bandara ini. Cuaca ketika pesawat mendarat agak mendung. Pemandangan dari atas pesawat tetap cantik! Bisa kaubayangkan betapa lebih cantiknya pemandangan Bukit Tanarara di Sumba Timur?
![]() |
Pemandangan dari pesawat ketika akan mendarat di Bandara Tambolaka |
Bandara Tambolaka ini tidak terlalu besar. Pesawat yang hinggap di bandara ini didominasi oleh pesawat dengan model GTR, berukuran mini. Di sini tidak ada ojek atau taksi online sehingga memang untuk menuju ke kota, opsinya adalah menggunakan kendaraan pribadi atau menggunakan jasa dari penduduk lokal. Akhirnya, saya deal dengan salah satu driver untuk mengantarkan saya ke tempat penginapan. Tarifnya 150.000 ribu rupiah untuk jarak yang relatif dekat (kurang dari 10 km). Jalannya lumayan namun tidak bisa dibilang bagus. Bagusnya, mobil yang kami gunakan adalah Inova Reborn. Dalam perjalanan menuju ke tempat penginapan, kami sepakat untuk menggunakan jasa driver ini untuk mengantarkan kami ke beberapa destinasi wisata usai kami menitipkan koper di concierge penginapan.
Sepanjang jalan ke tempat wisata, tak banyak kendaraan yang saya temui. Mobil yang kami tumpangi meluncur dengan cepat tanpa hambatan. Sepanjang mata memandang, hamparan rerumputan yang terlihat. Saya takjub. Perjalanan ini akan makin indah jika tidak ada drama pekerjaan yang sedang ramai dibicarakan di grup. Tapi lukanlah. Mari fokus ke Sumba. Beberapa kali saya menemukan plang yang menyatakan bahwa tanah-tanah itu dijual. Kebanyakan dalam bahasa Inggris. Aku terhenyak, sedikit sakit. Tanah-tanah ini sepertinya memang diniatkan untuk dijual kepada WNA atau investor. Saya jadi sedikit kecut, apakah suatu hari nanti tanah ini akan menjadi Bali?
Sumba memang indah. Lihatlah pantai nan biru ini. Dapat kau temukan water blow yang menakjubkan dan sedikit mendebarkan ketika pertama kali mendengarnya. Lihatlah danau yang airnya berasal dari laut ini. Jernihnya! Indahnya! Belum lagi padang rumput yang dipenuhi dengan ilalang ini. Sebagai orang yang lahir dan tumbuh di Jawa, pemandangan ini sungguh memukau. Pantai-pantainya? Cantik nian! Sumba memang menarik. Orang-orangnya pun juga ramah dan berperilaku manis, khas orang Indonesia yang cukup memegang teguh budaya Timur.
![]() |
Pantai Pero yang memiliki water blow |
![]() |
Seorang anak melintas di depan water blow |
![]() |
Danau Weekuri yang jernih dan biru |
![]() |
Pantai yang kulupa namanya |
![]() |
Bukit Ledongara |
![]() |
Bukit Ledongara |
![]() |
Menyapa kuda di jalan (Kudanya cantik! Sayang, kamera ponselku kurang canggih!) |
![]() |
Sebuah gereja |
Hanya saja, aku ingin berterus terang padamu. Aku merasa sedikit tidak nyaman dengan anak-anak yang merubungi turis di sana. Mereka mengikuti kami, turis lokal, secara bergerombol. Mereka menawarkan bantuan untuk memotret kami. Tentu saja tidak gratis! Kita bisa memberi uang kepada mereka seikhlasnya. Masalahnya, aku tak menyangka bakalan seperti ini. Aku pun juga tak punya banyak cash karena sudah digunakan untuk membayar sewa mobil. Kedua, aku merasa sungkan jika tak memberi mereka uang pun aku tidak tahu berapa kisaran 'uang seikhlasnya' yang wajar itu. Tapi, jika kau tanya padaku bagaimana skill fotografi mereka, akan kujawab lumayan! Sangat lumayan untuk anak seusia mereka. Mereka pun pandai mengarahkan gaya. Terkadang kau diminta untuk berdiri di spot tertentu, terkadang dia akan mengarahkanmu untuk memandang ke arah tertentu atau membelakangi kamera. Pun, mereka bisa menggunakan mode 0.5 (wide). Kadang, mereka mengambil fotomu dari arah bawah, juga memutar ponsel agar lensa berada di bawah. Sangat lumayan, kan?
Terlepas dari itu semua, Sumba memang menarik untuk dikulik. Di sepanjang perjalanan, kami ngobrol ngalur ngidul tentang pulau ini. Tentang kejadian Adam Air yang seharusnya menuju Makassar namun karena kehilangan sinyal sehingga mendarat darurat di pulau ini, tentang banyaknya anak yang terkena pneumoni karena mereka digantungkan di atas perpapian agar merasa hangat, tentang pengalaman kerja seorang teman di sini, juga tentang sebuah desa adat yang tak boleh disebut namanya, rahasia, dan tak boleh dimasuki oleh sembarang orang. Pulau ini cukup magis. Penuh dengan misteri.
![]() |
Kain khas Sumba |
By the way, kata teman seperjalanan saya yang berasal dari Sulawesi Selatan, budaya di Sumba mirip dengan budaya di Toraja. Apakah iya? Dalam hal apa? Perlu kah aku mengulik keindahan budaya Toraja? Mari kita tinggalkan pertanyaan ini dan berharap semoga suatu saat bisa mengunjungi Toraja.
Tahukah kau bahwa ada sebuah film yang ceritanya diangkat dari daerah ini? Marlina Si Pembunuh dalam Empat Babak. Tahukah kau ada sebuah buku berjudul Perempuan yang Menangis Kepada Bulan Hitam? Tonton dan bacalah jika kau penasaran dengan Sumba.
Rasanya lelah namun aku tak bisa berhenti
Ku berlari tanpa arah yang pasti
Tak tahu pula apa yang tengah kucari
Hidupku kenapa begini?
Jiwa ini sesungguhnya ingin menepi
Namun, tahukah kau bahwa aku takut akan sunyi?
Senyap dan gelapnya malam membuatku bergidik ngeri
Aku terlena akan rayuan dunia
Aku terjerat oleh bisikan asmara
Oh Kasih, selamatkan diriku yang hina!
Tiadakah tempat untukku di surga?
Tiap malam hati ini diselimuti gulita
Kosong, nihil, hampa
Adakah 'utuh' itu untuk hamba?
Hamba hanya ingin merasa
Jakarta, 23 September 2024
Yang dipeluk hampa,
Wulan saja
Have you heard that the way you dress represents yourself? Or perhaps... the way you dress is one of the way respecting yourself? Maybe most of you already heard about one of those. Me either. I heard it many times. I even got a class about dress code in a scholarship program I joined. Overall, I got the basic knowledge about dress code: about tone mix and match, styles (formal, semi-formal, ethnic, casual, etc), and other things. We are also told that we should be careful about what we wear and it would be even nicer if we give attention about what we wear and how do we look when we are out. The reason is simply cause it's nice to be looked good and moreover you will never know whom you'll be meeting with. So, it's kinda anticipation. And I agree with that doctrine for like... years.
Now... I am doubt about that. I have been rethinking about 'this doctrine' for the past few weeks during my leisure time. Are we really defined by what we wear? Is it true that how we dress implying how we respect ourselves? Those question has been confusing me lately.
Let say, if we are defined by what we wear, people who wear high-end fashion and branded outfits would probably means 'something' and homeless people who barely own few clothes on would have no right on it. If dressing neatly and nicely is really 'something' then people whose style like jamet would be nothing. If someone dress according to their norm is really 'something' then it means people who dress unlike their norm would be the versa. Well, maybe it's not that too apple to apple but would you think that dress defines someone? In my observation, unfortunately we live in a society who think so. Someone who dress 'not nice' (according to the people - which is subjective) might get rude service in a department store. People who do not wear 'a proper' clothes will be labeled as impolite while it's actually just their tribal clothes. In the other hand, people who wear hijab and niqab is also vulnerable to be labelled as terrorist.
Is it also true that the way we dress implying how we respect ourselves? Well... could you elaborate more about this? This is extremely confusing to me. I mean, respect is earned, not created. Self respect? Is dressing 'not enough' nicely-which-is-subjective degrade your self-respect? I'm sorry, I don't get it.
Well, the narration of 'just dress nicely every time you go out cause you probably meet your boss or important person when you go to the nearest minimarket' is somehow confusing. Tell me... are you expecting to leave a good impression to that 'important' person which barely notice you? Don't get me wrong. This is possible but the chance is very low that the he/she will finally notice you and magically give you a jackpot. And if you meet your co-worker or your boss at the minimarket with your homey-domey outfit, will you feel embarrassed to look not as professional as you are in the workplace? You at the minimarket? And most importantly, you at the minimarket OUTSIDE the working hours? Tell me honey... is it legal that the society make you - shape you to act professional outside the working hours?
First of all, don't get me wrong. I'm not against people who voluntarily act professional 24/7. I am not against anyone who always dress nicely as long as that's what they want. But, I'm here questioning the society's 'unwritten rule' that made 'us' to dress professionally, or nicely, or neatly just in case you meet your boss (who definitely has more power than you) outside the office plus outside the working hours? Who's starting that rule? Is this the product of capitalism? Just like the other product: let's say you have to stand by 24/7 if your job needs you. Also, who's the person behind the theory that what you wear defines you? Well... I'm not a fan of judging a person by its appearance even though I'm afraid that I haven't 100% be yet. But at least I'm currently trying. Oh by the way, a little TMI, someone rich can casually meet a president by just wearing a T-shirt while the president using a tuxedo. The power of the money holds. I mean, this isn't align but yeah... perhaps you know what I mean.
I am, my self, still trying to be brave to wear anything I want. Sometimes, I am still afraid of the tendencies from the people's eyes but I try to not care. I try to free myself from rule. I am trying to be bold. I am trying to be fearless.
One thing I wanna let you know is that I actually am tired of 'being' professional. I mean, my nature is laughing easily, throwing stupid jokes, and being childish (acting like a child). But... I have to be professional so holding back my nature is somehow a bit tough. Then, I decided to put off my professionality when I'm off from work. One of some efforts that I have done is by wearing anything I want outside the work. I don't care if I use baby doll during my Klaten - Jakarta train trip. I don't care if I use home-outfit when I am out to the cafe or the minimarket. Well... I try to not worry a lot if I met colleague or someone from my personal network cause I'm out of working hours and I can be my self. It's not somewhere where I have to follow the rules and dress code. There is no rule on it and I don't wanna live under society's illusion. I am also in the process of learning to not judging a person easily by his/her appearance. I can't deny that this one is hard but I am trying. I really am.
Final random thought: don't we all live under illusions? Then why did I say something about illusion? I don't know so let it be.
Beberapa minggu yang lalu, saya bertemu dengan seorang teman, namanya Diaz. Kami sudah berteman sedari SD. Dia sekarang juga bekerja di Jakarta. Walaupun sama-sama di Jakarta, kami jarang sekali bertemu. Dasarnya memang sama-sama sibuk (sepertinya begitu, ya) sehingga susah sekali mencari jadwal yang cocok. Sekalinya ketemu, kami hanya berburu bunga di Pasar Bunga Rawa Belong kemudian dilanjutkan dengan mengobrol-ngobrol ringan. Kalau anak muda jaman sekarang mungkin menyebutnya dengan catch up.
Hidup kami tak banyak berubah. Cita-cita dan harapan kamu juga syukur alhamdulillah masih sama. Bagaimana dengan prinsip hidup kami yang mirip? Apakah masih bisa kepegang? Hahahaha... untungnya kami masih bisa mencengkeram prinsip hidup itu walaupun sambil sedikit gemetar. Di dunia yang serba sulit dan kejam ini, apalah daya kita? Bisa mempertahankan prinsip rasa-rasanya adalah suatu hal yang mahal dan mewah. Namun... apapun yang terjadi, saya akan mencoba mempertahankan prinsip tersebut apapun taruhannya. Apalah arti diri dan jiwa ini tanpa prinsip dan nilai-nilai hidup yang kita pegang?
![]() |
Hasil Berburu Bunga di Pasar Rawa Belong |
Di situ, kami banyak berbincang. Dia bercerita tentang berbagai hal dan diriku tentunya lebih banyak mengeluh dibandingkan bercerita. Hahaha. Namun, ada satu hal yang cukup menggelitik kami berdua. Saat itu, dia bertanya tentang how was my trip to Vietnam. I said it was great. I really meant it. Saya bercerita sedikit banyak pengalaman saya ketika di sana. Perjalanan Vietnam ini cukup berkesan. Well... I can't deny that Vietnam enchanted me and I fell in love. Saat itu, saya bercerita tentang bagaimana Vietnam tidak seperti yang saya bayangkan sebelumnya. Terus terang saya tidak memiliki gambaran tentang Vietnam kecuali Sa Pa dan beberapa destinasi wisata lainnya. Itu pun saya lihat dari reels Instagram yang kadang-kadang suka nyempil di explore. She was curious what I meant was.
So I told her, Veitnam sama sekali tidak seperti bayangan saya akan negara-negara komunis. Dalam bayangan saya, Vietnam adalah negara yang cukup menegangkan, sedikit mencekam, dan 'kaku'. Mungkin saya harus menjaga gerak-gerik saya karena takut saya dicurigai yang tidak-tidak. Saya juga mengira bahwa mungkin agak susah untuk memasuki Vietnam sehingga saya cukup well-prepared untuk memasuki Vietnam terutama saat di depan petugas imigrasi. Saya juga mengira bahwa negara ini mungkin akan sedikit (maaf) terbelakang.
Ternyata... Vietnam slapped me hard on my face. Vietnam is such a warm, pretty, and nice country. Orang-orangnya juga cukup ramah walaupun memang kadang mereka terkesan agak tough karena kendala bahasa tapi secara garis besar, mereka sangat helpful. Hanya saja memang petugas imigrasinya sangat dingin seperti es. Selain itu, all is fine. Kemudian, banyak sekali saya melihat orang-orang menggunakan iPhone. Tak hanya anak muda, bapak pengayuh becak saja juga menggunakan iPhone. Sungguh, mereka cukup welcome dengan produk barat sepertinya. Not like a communist country you would think, is it?
Kemudian, di sana sepertinya kehidupan juga cukup santai. Sepengamatan saya, masyarakatnya juga cukup menikmati kehidupan di sana. Well, I don't know the reality but that's just based on my amateur observation. Pada malam hari di perempatan jalan (kalau tidak salah) sekitar Old Town, orang-orang berkumpul untuk menari bersama. Saat itu, orang-orang berdansa salsa. Mereka menari erpasangan mengikuti irama musik. Indahnya. Juga saat itu suasana sangat meriah sekali. Rasanya, sungguh tidak seperti bayanganku sebelumnya. I actually almost has zero expectation but yeah I did have a lil overview about communist country drawn by the media so this was pretty surprising.
Saat itu, saya juga bercerita bahwa suatu saat saya ingin bisa bepergian ke China. Jika Vietnam membuat saya terkejut, saya pikir China akan membuat saya jauh lebih terkejut. Saya ingin ke Shanghai, Beijing, dan setidaknya Chongqing. Jikalau ada rezeki lebih, saya ingin ke area yang lebih rural. Saya ingin sekali melihat betapa majunya China. Betapa China telah menggunakan dan mengembangkan teknologi yang mungkin selama ini kita tidak pernah bayangkan.
Saat itu, teman saya itu berkomentar bahwa how cool someone who travels cause traveling can really open someone's eyes. And I couldn't agree no more with her point. Memang ada kalanya kita butuh berjalan dan berpetualang untuk melihat, mendengar, dan merasa hal-hal yang baru. Dunia ini sungguh luas dan beragam. This world saves so much secret boxes that awaiting to be discovered and opened. Mungkin saya tidak akan bisa membuka semua kotak rahasia itu namun saya ingin mencoba mencari, menemukan, dan membuka beberapa kotak.
Saya juga menyinggung tentang tautan yang Dimas kirimkan pada saya (maaf tidak bisa melampirkan tautannya karena saya tidak berhasil menemukan link tersebut). Saya tidak ingat persisnya bagaimana namun secara garis besar artikel tersebut mengulas tentang the feeling of attachment by a certain label. Saya sampaikan padanya bahwa sepertinya saya memang terlalu attached terhadap pekerjaan saya as Technical Officer (TO). Padahal sebenarnya, di luar jam kerja, saya adalah Wulan Istri. Di luar jam kerja, saya adalah diri saya sendiri terlepas dari label apapun termasuk saya sebagai TO. Namun, sulit sekali untuk melepaskan label tersebut terlebih lagi ketika ada pekerjaan yang belum selesai atau ketika ada pesan dari atasan. Di situ, saya bilang bahwa ketika traveling, saya merasa bebas. Saya bebas berpakaian seperti apa yang saya suka. Orang-orang tidak mengenal saya. Mereka tidak mengerti background saya. Mereka tak mengerti apa pekerjaan saya. Pun, jika mereka bertanya dan ingin tahu pekerjaan saya, saya bisa mengelak atau menghindar untuk menjawab. Jadi, saya merasa sangat bebas ketika bepergian. I can do whatever I want without afraid being judge. That's what I like the most about traveling.
Di akhir percakapan, Diaz menyimpulkan, "Memang benar ya, kata orang bahwa dengan traveling, seseorang bisa menjadi dirinya sendiri." Saya menoleh padanya dan sedikit terkejut dengan kesimpulannya dan baru menyadari bahwa 'perasaan' yang saya rasakan itulah yang dimaksud oleh orang-orang.
Setelahnya, saya bertekad untuk terus bermimpi menjelajah dunia baru.
Fansipan merupakan puncak tertinggi di daratan Indochina dengan ketinggian 3.143 mdpl. Fansipan terletak di Tam Duong, Vietnam. Kalau dilihat, area ini terletak di Vietnam bagian utara. Menurut informasi yang beredar, puncak ini terkadang diselimuti oleh salju pada musim dingin. Hmmm... menarik juga. Selain itu, untuk menuju ke puncak ini, ada 'jalur' alternatif yang dapat dengan mudah dilalui oleh seseorang yang tak memiliki jiwa pendaki seperti saya. Adanya monorail dan kereta gantung menuju puncak adalah kunci dari kemudahan akses ini. Hal inilah yang menjadi salah satu faktor pendorong untuk memantapkan hati berkunjung ke puncak ini.
Titik awal perjalanan saya ke Fansipan dimulai dari Bandara Internasional Noi Bai yang terletak di Hanoi. Dari sana, saya melanjutkan perjalanan menuju Sa Pa, LÃ o Cai, dengan sleeper bus yang telah dipesan melalui website Sa Pa Nomad. Pengalaman saya menggunakan penyedia jasa bus ini sangatlah oke. Bus nyaman, ada fasilitas penjemputan dari bandara - agen bus di Hanoi dan agen bus LÃ o Cai - Sa Pa, dapat minum dan snack, plus yang terpenting adalah sangat on time! Bus akan berhenti di rest area sehingga penumpang bisa membeli makanan, suvenir, atau hanya sekadar ke toilet. Perjalanan saya menuju ke Sa Pa dilakukan pada malam hari jadi saya tidak bisa melihat pemandangan yang ada di luar. Saya bermalam di Sa Pa sebelum menuju Fansipan keesokan harinya.
![]() |
Bandara Noi Bain (Photo by Mba Dina) |
Petualangan ke Fansipan akan dimulai sekarang! Been wanting to get there for sooo long! AAAAAAAA! Tak sabar rasanya merasakan pengalaman melewati hamparan pegunungan dari ketinggian. Apalagi selama beberapa waktu terakhir banyak sekali reels tentang Sa Pa dan Fansipan bersliweran di explore instagram. Oh ya, saya sudah mempersiapkan tiket monorail dan kereta gantung sejak di Indonesia. Saya membelinya lewat klook without so much hassle! Tinggal scan barcode-nya saja ketika sudah di stastiun sana! And oh! Look! How pretty the station is! And also the views during the trip! WHAT A BREATHTAKING VIEW!
Setelah berhasil melewati monorail, kita harus berjalan sekitar 1 kilometer (mungkin?) untuk menuju stasiun kereta gantung. Dalam perjalanan itu, kita akan melewati taman-taman yang menyediakan banyaaak spot foto dan atraksi di sana. Sebagai seseorang yang lahir dan tumbuh besar di dataran rendah, melihat berbagai bunga cantik adalah kesenangan tersendiri! Banyak sekali kaktus, mawar, dan bebungaan lain yang jarang sekali kulihat di sekita rumah. Jalannya sungguh lumayan jauh tapi untungnya udara cukup sejuk sehingga tidak terlalu panas dan berkeringat. Jujur saja, rasanya ingin berlama-lama di sana namun apadaya. Waktu saya di sana sangat terbatas.
![]() |
Bahagia di Monorail! (Photo by Mba Dina) |
Ngefotoin Bunga (Photo by Mba Dina) |
![]() |
(Bukan) Bunga Lavender |
![]() |
Koridor Bunga |
![]() |
Mawar Cantik |
Beruntung sekali cuaca di sana sedang bagus. Memang saat itu langit terlihat mendung tidak terlalu cerah namun syukur ahamdulillah tak badai dan kabut yang berterusan di sana. Kabut mampir kemudian pergi silih berganti. But hey! The mist gives the magic vibe here! AAAAAAA I fall in love with this place! Sungguh rasanya ingin saya jelajahi setiap sudut Fansipan yang bisa terjamah oleh ratusan (atau mungkin ribuan?) anak tangga ini semaksimal mungkin. Ingin rasanya menikmati ciptaan Tuhan ini karena kapan lagi saya bisa ke sini?! Well, I didn't go around in every corner but I tried to visit as much spot as I can and yeah! No regret! At all!
Jujur saja saya kebingungan untuk mengungkapkan kecintaan dan keindahan Fansipan. I came here without any expectations (cause damn yeah, I just wanna experience the monorail) but WOW! The view is also superb! Mungkin juga karena saya tak perlu bersusah payah mendaki sehingga tenaga saya masih cukup penuh untuk se-excited ini mengagumi tempat ini? YaAllah, my Lord... how should I say my gratitude towards your beautiful creation?
![]() |
Puncak Fansipan |
![]() |
Bersama Dewi Guan Yin |
![]() |
I looked so happy but I 100% was! |
![]() |
Bersama Budha |
Pemandangan ini sungguh menakjubkan! I'm a beach person but I think Fansipan changes me becoming mountain person! Pegunungan hijau yang dipadukan dengan sentuhan tradisional nan religius. Kuil, patung Budha, patung Dewi Guan Yin, beserta bangunan kecil-kecil untuk istirahat yang bergaya tradisional. I have none to say but I surely love this place! Boleh, dong, saya mengklaim bahwa tempat ini adalah salah satu trekking spot favorit saya? Fasilitas menuju puncak sudah sangat mumpuni, tempat makan tersedia, toilet umum juga tersedia. Apalagi yang diperlukan? Sungguh... benar-benar SUN WORLD membuat Fansipan sangat accessible bagi orang-orang biasa seperti saya untuk bisa sampai puncak. Thanks to Sun World Fansipan Legend! It makes impossible mission becomes so possible!
From Vietnam with Love,
Trung Nguyen Legend Coffee Lover