Kuliah daring membuat kebiasaan
rutin minum kopi saya kambuh. Saya yang semula sudah jarang mengkonsumsi kopi
kini meminumnya hampir tiap hari bahkan terkadang lebih dari secangkir tiap
harinya. Saya memang pecinta kopi. Kopi apapun itu. Saya tak masalah mau kopi jenis
apapun, asal itu ada ‘embel-embel’ kopi, dengan senang hati saya akan
meminumnya. Berbicara tentang kopi membuat saya teringat pada perjalanan
Februari lalu ketika saya mencoba Es Kopi Tak Kie pertama kali.
Iya, tak salah baca. Benar, Kopi
Tak Kie yang berlokasi di area Glodog, Jakarta. Kopi ini sangat legendaris. Kepemilikannya
diturunkan dari generasi ke generasi karena usaha ini merupakan usaha milik
keluarga. Kopi ini sudah membuka cabang dengan mengusung tema yang lebih modern
di salah satu Mall di Jakarta. Kenapa saya lebih memilih untuk mengunjungi
kedai kopi yang lama yang berada di area Glodok ini? Tak lain dan tak bukan
adalah pengaruh membaca ulasan travel blogger favorit saya, Yuki Anggia. Sejak
tulisan tersebut di post, saya berkeinginan untuk ikut merasakannya.
Sudah empat tahun saya menabung
harapan untuk bisa ke Jakarta dan mencicipinya. Kini, keinginan tersebut sudah
terkabul. Empat tahun lebih. Selama itulah saya memendam penasaran dan dapat
dibayangkan betapa heboh dan bahagianya saya ketika saya berhasil melihat plank bertuliskan “Kopi Tak Kie” dengan
huruf China di atasnya.
![]() |
Suasana di dalam kedai. Seharusnya saya lebih pandai dalam mengambil foto. Jika mbaknya mungkin tidak ingin foto ini diunggah, bisa kontak saya lewat menu 'contact.' |
![]() |
Es Teh Tarik dan Es Kopi Tak Kie |
Saya mengajak Erico, teman yang
(saya paksa) menemani saya ke Kopi Tak Kie, untuk segera menghambur ke dalam
dan mencari bangku kosong. Siang itu pengunjung cukup banyak sehingga
memerlukan waktu untuk menunggu dan mendapatkan meja kosong. Menurut informasi
yang saya peroleh, memang kedai kopi ini tidak pernah sepi pengunjung karena
saking santernya. Pun kalau teman-teman ke sini pukul satu lebih, bersiap-siaplah
untuk kecewa karena kopi sudah akan habis, bahkan sudah tutup.
Erico memesan Es Teh Tarik sedangkan
saya (tentu) memesan Es Kopi Tak Kie yang ‘katanya’ memang wajib dicoba kalau
ke sini. Jujur, walaupun saya suka kopi namun saya tidak bisa membedakan rasa
kopi. Overall, saya menyukainya
karena rasanya tidak terlalu pahit di lidah saya pun takaran gulanya juga pas,
tidak terlalu manis. Kalau saya boleh membandingkan, saya lebih suka Kopi Toko
Djawa yang pernah dibelikan oleh seorang teman di Bandung. Tapi, kopi ini masih
juara. Bagaimana tidak? Jatuh cinta selama empat tahun lebih padahal mencicipi
rasanya pun belum. Memang keterlaluan saya ini.
Anyway, tempat ini tak hanya menjual Es Kopi dan juga Teh Tarik.
Teman-teman bisa memesan kopi panas dengan pilihan yang beragam. Pun tidak usah
cemas jika perut terasa lapar karena terdapat makanan yang siap memanjakan
lidah. Sebenarnya saya tidak cukup tahu perihal tempat makanan ini, entah
bekerja sama atau bagaimana tapi yang jelas Anda bisa memakannya di sana
langsung pun dengan daftar yang bisa Anda dapatkan di sana.
Selama di sana pun, pengunjung
tak pernah terlihat sepi. Ada saja yang datang. Beberapa pengunjung tampak
memotret sana sini, sepertinya ini kali pertama mereka juga. Bangunanannya
terlihat cukup usang karena sudah dipergunakan sejak dulu. Di dinding terdapat
puluhan foto lawas yang dipajang di sana, menceritakan kisah perjalanan kedai
kopi ini. Saya suka memperhatikan gerak-gerik orang di sini. Pelayannya cukup
sigap. Orang yang berkunjung juga terlihat dari latar belakang yang beragam.
![]() |
Saya bilang kalau saya dari Solo dan sudah mendamba untuk mencicipi kopi di sini. |
![]() |
Kalah santer dengan Ibu ini. Pun blur. |
Ah, tempat ini sudah berhasil
mendapatkan tempat di hati saya. Jika saya mampir ke Jakarta lagi bersama orang
dekat, tentu saya ingin mengajaknya untuk mencicipi kopi ini dan bercengkerama
bersama sambil menikmati hiruk-pikuknya.
Salam pecinta kopi,