Bicara soal 'cukup' memang tak akan jauh-jauh dari konsep yang abstrak. 'Cukup', tak lebih dan tak kurang. Terdengar sederhana memang, tapi sulit diukur. Bahkan, mungkin saja 'cukup' memang sejatinya tidak bisa diukur. Do you have any idea regarding how could we measure it? I don't think we both have. And that's okay. Kita tak harus tahu semua hal.
Persoalan tentang 'cukup' ini sudah hinggap di kepala sejak beberapa minggu yang lalu. Ia terlontar dari ucapan seorang kawan dan bersemayam di dalam kepala hingga kini. Siapa sangka obrolan santai ketika kita berangkat kerja ini menjadi sebuah tanya yang tak kunjung hilang?
Beranjak dewasa sekaligus hidup di kota metropolitan telah membuka beberapa tabir 'kerasnya' kehidupan. Satu per satu, realita kehidupan di kota besar ini tersingkap. Jakarta membuatku sadar bahwa semuanya butuh uang. Sekali lagi: semuanya. Aku berharap statement ini salah namun untuk saat ini, begitulah pandanganku. Coba, katakan padaku apa yang tak butuh uang di Jakarta ini?
Orang bilang, lari adalah olahraga yang paling murah. Tak perlu pakai sepatu jika tak punya. Berlarilah! 'Gratis', kata orang. Pandanganku lain. Di Jakarta, kita butuh uang untuk itu. Untuk lari yang nyaman, kita harus keluar ongkos transportasi untuk lari di sirkuit Gelora Bung Karno (GBK) atau lapangan lain. Sebagai seorang yang tinggal di indekos sebuah gang sempit yang hanya muat dilalui satu motor, lingkungan ini sungguh tak ideal untuk berlari. Baru berlari beberapa puluh meter, kau harus pelankan laju larimu untuk mengalah pada sepeda motor atau gerobak penjual. Ingin lari di trotoar supaya gratis? Trotoar pun kondisinya mengenaskan. Beberapa penuh lubang, beberapa menjadi lapak penjual kaki lima. Rasanya tak aman jika harus berlari di kondisi seperti ini ditambah lalu lintas yang padat. Takut terserempet pengendara yang ugal-ugalan. Mau lari enak dan gratis di trotoar yang mulus seperti di perumahan Menteng? Uang. Belilah hunian yang memiliki lingkungan bagus dan aman untuk olahraga. Entah apartemen yang memiliki fasilitas jogging track atau membeli hunian dengan trotoar yang nyaman untuk lari, seperti di Menteng misalnya.
Ngomong-ngomong tentang pendidikan, pendidikan di Jakarta sungguh mahal. Sekolah negeri di sini sebetulnya banyak, hanya saja beberapa orang tua menginginkan anak-anak mereka mendapatkan pendidikan yang lebih baik dengan cara menyekolahkan anak-anak mereka ke sekolah swasta. Tentunya, ada biaya yang harus ditanggung untuk mendapatkan privilege ini. Bagi sebagian orang tua, merogoh kocek pun tak menjadi masalah asal anak-anaknya mendapatkan tempat tumbuh kembang yang baik. Memilih sekolah swasta dibandingkan negeri memang kadang lebih diminati. Alasannya, mereka ingin 'membeli' lingkungan yang lebih baik. Membeli dengan apa? Tentu dengan uang.
Ini baru perkara lari dan pendidikan, belum lagi masalah kesehatan, hobi, kebutuhan dasar, dan lainnya. Bahkan bisa dibilang, untuk menghirup udara bersih pun tak gratis. Perlu air purifier. Intinya, Jakarta terlalau kapitalis. Semua butuh uang. Dan kembali lagi ke konteks awal, uang dan 'cukup' seringnya tak akur.
Hidup di Jakarta selama kurang lebih dua tahun telah mempengaruhi cara pandangku. Kini, rasa-rasanya semuanya tak jauh dari uang. Dalam konteks 'uang', ukuran 'cukup' akan sulit dicapai. Awalnya, mungkin kita berpikir bahwa memiliki uang dengan jumlah tertentu akan membuat hidup merasa cukup. Namun, seringnya realita tidak demikian. Once you achieved that amount, you gotta the ambition to achieve more. And money has no limit, it will never give you chance to say 'it's enough'.
Di sana, di sebuah sudut ruangan kecil yang sedikit gelap, tersimpan perasaan khawatir akan tersesat dalam dunia nominal. Jiwa ini mencoba bertahan menahan gempuran 'ide-ide' itu. Berbagai upaya terus kucoba mulai dari jalan-jalan tak tentu arah melihat kehidupan orang 'sederhana', melakukan perjalanan dengan 'sederhana', hingga mencoba untuk mempertahankan gaya hidup yang sekarang agar tak banyak berubah. Semuanya itu demi satu hal: terbebas dari jeratan uang dan mencari arti kata 'cukup'.
![]() |
Apakah senja adalah batas 'cukup' untuk siang? |
Cukup. Cukup? Seperti apakah wujud cukup itu? Mungkin rasanya akan lebih tepat jika 'cukup' itu kita artikan melalui pendekatan 'rasa'. Kemudian, mungkin juga akan lebih tepat jika untuk mencapai titik itu, kita perlu berlatih olah rasa. Bagaimana caranya? Entah. Masih tanda tanya. Mungkin memang harus belajar.
Kadang, aku masih sering berpikir 'Bagaimana bisa orang-orang yang berusia lebih muda dariku sudah berani menikah? Bagaimana bisa mereka memutuskan untuk menikah dan akhirnya merasa cukup dengan keadaan yang 'sepertinya terlihat' sangat sederhana?' Apakah aku yang kurang bersyukur dan terlalu banyak kalkulasi?
Entahlah.
salam dari perempuan yang penuh tanda tanya,
wulan