Perjalanan ke Palembang: Pembebasan Jiwa

May 11, 2024, by Wulan Istri

Jembatan Ampera. Dokumentasi pribadi. 

Beberapa waktu yang lalu saya melihat thread ini: 

Saya pikir ‘Wah… murah sekali. Keknya kapan-kapan harus coba, deh!’ Saat itu, saya sama sekali belum pernah menjejakkan kaki di daratan Sumatera. Jadi, saya pikir tak ada salahnya untuk mencoba jalan-jalan ke sana sekalian memuaskan rasa penasaran bagaimana rasanya traveling di daratan Sumatera. Angan-angan itu hidup sebentar, kemudian layu, dan pada akhirnya mati suri terkubur rutinitas pekerjaan. 

***

Liburan tahun baru saya habiskan di kos. Tentu saja kegiatannya didominasi dengan tidur. Saya tidak pulang ke kampung halaman karena baru saja pulang saat liburan natal. Sayang uang, kan? Tiket kereta kelas ekonomi premium pulang-pergi tak bisa dikatakan murah. Di sela-sela tiduran itu saya juga berselancar di dunia maya terutama di twitter (sekarang X). Entah bagaimana mulanya, tetiba saya punya ide untuk mencoba jalan-jalan ke Palembang dengan jalur kereta api. Saya teringat dengan utas di twitter dan segera mencarinya untuk membacanya kembali. Tak selang lama setelahnya, saya memutuskan untuk membeli tiket PP kereta api dengan rute Tanjung Karang – Kertajati. Harganya Rp. 32.000,- untuk sekali jalan sehingga walaupun saya belum tentu bisa berangkat ke sana, saya tak masalah jika tiket itu hangus. Yang terpenting adalah tiket sudah di tangan. Toh, saya bisa mengajukan refund supaya orang yang lebih membutuhkan dapat membelinya. Pada tiket tersebut tertera tanggal keberangkatan tanggal 8 Februari dan tanggal kepulangan 11 Februari. Sengaja saya memilih tanggal tersebut karena bertepatan dengan hari libur imlek sekaligus ingin ikut menyaksikan kemeriahan imlek di Kota Pempek tersebut.  

***

Sepulang dari kantor, saya langsung melanjutkan packing kilat yang belum sempat selesai. Setelahnya, saya terbirit-birit menuju Stasiun Kramat Sentiong untuk mengejar kereta supaya saya tidak ketinggalan kereta Rangkas Bitung – Merak. Sungguh, perjalanan dari Kramat Sentiong menuju Rangkas Bitung sangatlah menyiksa. Hampir dua jam saya berdiri di dalam KRL karena kereta penuh sesak dengan rombongan orang-orang yang pulang kerja. Untung KA Rangkas Bitung – Merak merupakan kereta dengan kursi bernomor sehingga saya bisa duduk di dalam kereta melepas lelahnya berdiri. 

Sesampainya di Merak, saya melanjutkan berjalanan kaki menuju Pelabuhan Merak melalui skybridge. Antrian masuk ke pelabuhan cukup mengular meskipun sebagian orang sudah melakukan reservasi tiket secara online. Nahasnya, kapal berangkat tidak sesuai jadwal sehingga saya dan penumpang lain harus menunggu lebih lama untuk sampai di Pelabuhan Bakaheuni. Ya sudah. Kita bisa berbuat apa? Namanya juga hidup, kadang kenyataan tak sesuai harapan. 

Perjalanan di atas kapal tak membutuhkan waktu lama. Setiba di Pelabuhan Bakaheuni, timbul sedikit kekhawatiran bagaimana cara mengejar waktu menuju Stasiun Tanjung Karang sebelum kereta berangkat tanpa kena tipu. Salah satu bagian yang paling menantang adalah mencari transportasi menuju Bandar Lampung. Banyak sekali mobil-mobil yang menawarkan transportasi menuju Kota Bandar Lampung tanpa biaya yang transparan. Mereka akan menggiringmu atau mengikutimu dan bertanya tujuanmu dengan cara yang (menurut saya pribadi) membuat saya tidak nyaman. Jadi, memang harus benar-benar tegas dan tega untuk menolak. Beruntung pada waktu itu saya bebarengan dengan seorang bapak-bapak asli Lampung sehingga saya bisa mendapatkan tarif wajar tanpa harus menawar sendirian. 

Sesampainya di Stasiun Tanjung Karang, saya mampir ke sebuah masjid untuk beribadah. Mengikuti utas dari Twitter tersebut, saya ikutan mencoba makan nasi uduk yang rasanya enak dan pastinya murah! Saya waktu itu sampi tambah tempe goreng. Usut punya usut, ternyata penjual tersebut berasal dari Sukoharjo. Kita jadi ngobrol sedikit banyak tentang kampung halaman. 


Stasiun Tanjung Karang

Stasiun Tanjung Karang

Perjalanan dari Tanjung Karang menuju Kerta Jati ditempuh selama kurang lebih 8 jam. Saya sangat sarankan untuk membawa bekal nasi atau camilan berat karena akan melewatkan jam makan siang di atas kereta. Buku atau unduhan film juga akan berguna untuk membunuh waktu. Apalagi pemandangan sepanjang Bandar Lampung – Palembang sediki membosankan. Pemandangannya didominasi oleh hutan-hutan dan rawa. Bagaimana rasanya duduk selama berjam-jam setelah berdiri lama sepanjang KRL? Sungguh luar biasa. 

Kalau dipikir-pikir, perjalanan ke Palembang dari Jakarta memang baiknya ditempuh dengan pesawat karena tiketnya juga cukup terjangkau untuk kondisi finansialku saat ini. Namun, saya selalu mewanti-wanti diri untuk tidak terlena ‘hidup nyaman’. Saya sadar bahwa roda kehidupan itu berputar. Akan ada kemungkinan suatu saat nanti saya akan berada di ‘bawah’. Oleh karenanya, saya ingin hidup biasa yang tak jauh berbeda dengan hidup saya sebelumnya. Jadi, apabila suatu saat Tuhan menguji saya, saya tidak akan terlalu menderita untuk menyesuaikan diri kembali. Bukan. Bukan berarti saya tidak percaya pada takdir Tuhan. Namun saya berusaha untuk siap terhadap segala kemungkinan yang telah diatur oleh-Nya. 

Jembatan Ampera

Boleh disimpulkan bahwa perjalanan ke Palembang ini merupakan pembebeasan jiwa. Selama hampir setengah tahun ini saya selalu melakukan perjalanan dengan nyaman. Saya jarang sekali menggunakan kereta ekonomi dan harus duduk tegak selama berjam-jam dengan posisi yang sama. Sudah lama pula saya tidak mengalami uncertainty dalam perjalanan dan harus memutuskan haruskah saya berakhir liburan di Bandar Lampung atau memang lebih baik meneruskan perjalanan ke Palembang. Pada waktu itu pun saya hanya pasrah terhadap keadaan. Apabila Tuhan mengizinkan, saya akan sampai di Palembang. Pun kalau tidak, saya akan merelakan tiket Tanjung Karang – Kertajati hangus dan berpindah halauan untuk berlibur ke Lampung. Tuhan menjawabnya. Saya sampai di Palembang. Sebagai seseorang yang juga senang terhadap spontanitas, lagi-lagi perjalan itu sungguh memuaskan sekaligus membebaskan jiwa. Semoga suatu saat saya akan bisa merasakan perjalanan impromptu itu kembali. 


0 komentar

Instagram

Featured Post

Hampa

Aku berlari dan terus berlari  Rasanya lelah namun aku tak bisa berhenti  Ku berlari tanpa arah yang pasti  Tak tahu pula apa yang tengah ku...

Contact Form

Name

Email *

Message *