Traveling dan Label

September 14, 2024, by Wulan Istri

Beberapa minggu yang lalu, saya bertemu dengan seorang teman, namanya Diaz. Kami sudah berteman sedari SD. Dia sekarang juga bekerja di Jakarta. Walaupun sama-sama di Jakarta, kami jarang sekali bertemu. Dasarnya memang sama-sama sibuk (sepertinya begitu, ya) sehingga susah sekali mencari jadwal yang cocok. Sekalinya ketemu, kami hanya berburu bunga di Pasar Bunga Rawa Belong kemudian dilanjutkan dengan mengobrol-ngobrol ringan. Kalau anak muda jaman sekarang mungkin menyebutnya dengan catch up. 

Hidup kami tak banyak berubah. Cita-cita dan harapan kamu juga syukur alhamdulillah masih sama. Bagaimana dengan prinsip hidup kami yang mirip? Apakah masih bisa kepegang? Hahahaha... untungnya kami masih bisa mencengkeram prinsip hidup itu walaupun sambil sedikit gemetar. Di dunia yang serba sulit dan kejam ini, apalah daya kita? Bisa mempertahankan prinsip rasa-rasanya adalah suatu hal yang mahal dan mewah. Namun... apapun yang terjadi, saya akan mencoba mempertahankan prinsip tersebut apapun taruhannya. Apalah arti diri dan jiwa ini tanpa prinsip dan nilai-nilai hidup yang kita pegang? 

Hasil Berburu Bunga di Pasar Rawa Belong

Di situ, kami banyak berbincang. Dia bercerita tentang berbagai hal dan diriku tentunya lebih banyak mengeluh dibandingkan bercerita. Hahaha. Namun, ada satu hal yang cukup menggelitik kami berdua. Saat itu, dia bertanya tentang how was my trip to Vietnam. I said it was great. I really meant it. Saya bercerita sedikit banyak pengalaman saya ketika di sana. Perjalanan Vietnam ini cukup berkesan. Well... I can't deny that Vietnam enchanted me and I fell in love. Saat itu, saya bercerita tentang bagaimana Vietnam tidak seperti yang saya bayangkan sebelumnya. Terus terang saya tidak memiliki gambaran tentang Vietnam kecuali Sa Pa dan beberapa destinasi wisata lainnya. Itu pun saya lihat dari reels Instagram yang kadang-kadang suka nyempil di explore. She was curious what I meant was. 

So I told her, Veitnam sama sekali tidak seperti bayangan saya akan negara-negara komunis. Dalam bayangan saya, Vietnam adalah negara yang cukup menegangkan, sedikit mencekam, dan 'kaku'. Mungkin saya harus menjaga gerak-gerik saya karena takut saya dicurigai yang tidak-tidak. Saya juga mengira bahwa mungkin agak susah untuk memasuki Vietnam sehingga saya cukup well-prepared untuk memasuki Vietnam terutama saat di depan petugas imigrasi. Saya juga mengira bahwa negara ini mungkin akan sedikit (maaf) terbelakang. 

Ternyata... Vietnam slapped me hard on my face. Vietnam is such a warm, pretty, and nice country. Orang-orangnya juga cukup ramah walaupun memang kadang mereka terkesan agak tough karena kendala bahasa tapi secara garis besar, mereka sangat helpful. Hanya saja memang petugas imigrasinya sangat dingin seperti es. Selain itu, all is fine. Kemudian, banyak sekali saya melihat orang-orang menggunakan iPhone. Tak hanya anak muda, bapak pengayuh becak saja juga menggunakan iPhone. Sungguh, mereka cukup welcome dengan produk barat sepertinya. Not like a communist country you would think, is it? 


Kemudian, di sana sepertinya kehidupan juga cukup santai. Sepengamatan saya, masyarakatnya juga cukup menikmati kehidupan di sana. Well, I don't know the reality but that's just based on my amateur observation. Pada malam hari di perempatan jalan (kalau tidak salah) sekitar Old Town, orang-orang berkumpul untuk menari bersama. Saat itu, orang-orang berdansa salsa. Mereka menari erpasangan mengikuti irama musik. Indahnya. Juga saat itu suasana sangat meriah sekali. Rasanya, sungguh tidak seperti bayanganku sebelumnya. I actually almost has zero expectation but yeah I did have a lil overview about communist country drawn by the media so this was pretty surprising. 

Saat itu, saya juga bercerita bahwa suatu saat saya ingin bisa bepergian ke China. Jika Vietnam membuat saya terkejut, saya pikir China akan membuat saya jauh lebih terkejut. Saya ingin ke Shanghai, Beijing, dan setidaknya Chongqing. Jikalau ada rezeki lebih, saya ingin ke area yang lebih rural. Saya ingin sekali melihat betapa majunya China. Betapa China telah menggunakan dan mengembangkan teknologi yang mungkin selama ini kita tidak pernah bayangkan. 

Saat itu, teman saya itu berkomentar bahwa how cool someone who travels cause traveling can really open someone's eyes. And I couldn't agree no more with her point. Memang ada kalanya kita butuh berjalan dan berpetualang untuk melihat, mendengar, dan merasa hal-hal yang baru. Dunia ini sungguh luas dan beragam. This world saves so much secret boxes that awaiting to be discovered and opened. Mungkin saya tidak akan bisa membuka semua kotak rahasia itu namun saya ingin mencoba mencari, menemukan, dan membuka beberapa kotak. 

Saya juga menyinggung tentang tautan yang Dimas kirimkan pada saya (maaf tidak bisa melampirkan tautannya karena saya tidak berhasil menemukan link tersebut). Saya tidak ingat persisnya bagaimana namun secara garis besar artikel tersebut mengulas tentang the feeling of attachment by a certain label. Saya sampaikan padanya bahwa sepertinya saya memang terlalu attached terhadap pekerjaan saya as Technical Officer (TO). Padahal sebenarnya, di luar jam kerja, saya adalah Wulan Istri. Di luar jam kerja, saya adalah diri saya sendiri terlepas dari label apapun termasuk saya sebagai TO. Namun, sulit sekali untuk melepaskan label tersebut terlebih lagi ketika ada pekerjaan yang belum selesai atau ketika ada pesan dari atasan. Di situ, saya bilang bahwa ketika traveling, saya merasa bebas. Saya bebas berpakaian seperti apa yang saya suka. Orang-orang tidak mengenal saya. Mereka tidak mengerti background saya. Mereka tak mengerti apa pekerjaan saya. Pun, jika mereka bertanya dan ingin tahu pekerjaan saya, saya bisa mengelak atau menghindar untuk menjawab. Jadi, saya merasa sangat bebas ketika bepergian. I can do whatever I want without afraid being judge. That's what I like the most about traveling. 

Di akhir percakapan, Diaz menyimpulkan, "Memang benar ya, kata orang bahwa dengan traveling, seseorang bisa menjadi dirinya sendiri." Saya menoleh padanya dan sedikit terkejut dengan kesimpulannya dan baru menyadari bahwa 'perasaan' yang saya rasakan itulah yang dimaksud oleh orang-orang. 

Setelahnya, saya bertekad untuk terus bermimpi menjelajah dunia baru. 

0 komentar

Instagram

Featured Post

Hampa

Aku berlari dan terus berlari  Rasanya lelah namun aku tak bisa berhenti  Ku berlari tanpa arah yang pasti  Tak tahu pula apa yang tengah ku...

Contact Form

Name

Email *

Message *