Menemukan Kebahagiaan Diri
May 13, 2019, by Wulan IstriSelamat datang,
Kawan.
Kali ini saya
tak ingin berlama-lama dalam membuka tulisan ini. Langsung saja, saya ingin
berkisah tentang apa yang saya alami baru-baru ini. Ketika orang-orang yang
seusia dengan saya mengalami quarter
crisis, saya malah mengalami identity
crisis. Ya, benar, sama sekali pembaca tak salah baca. Identity crisis.
Akhir-akhir ini
saya merasa unmotivated dan bingung
terhadap diri saya sendiri. Mood saya
tak terlalu bagus. Saya sering sedih, merasa kesepian, dan mudah kesal dan
marah. Saya mulai menjadi semakin sensitif kepada siapapun. Pada akhirnya, saya
menjadi tertekan. Kenapa saya bisa begitu?
Berawal dari awal kali saya melihat youtuber asal Amerika Serikat, Aileen
dengan channelnya yang bernama Lavendaire, yang berisi seputar self-improvement,
productivity dan art of life design. Channel tersebut benar-benar menarik hati saya
hingga akhirnya benar-benar merubah hidup saya. Pertama kali saya melihat videonya
yang berhubungan dengan journaling
(kapan-kapan saya akan posting terkait journaling,
ini), saya langsung berniat untuk mengikutinya. Jujur, saya adalah orang
yang spontanitas dalam segala hal. Dalam merencanakan apa yang akan saya
kerjakan, terkait tugas, hingga berbicara. Saya mencoba untuk hidup lebih
teratur karena memang tahun ini saya menangani 4-5 organisasi sekaligus,
bertanggung sebagai salah satu section
editor di jurnal jurusan, ditambah lagi saat itu merupakan saat yang hectic dengan kegiatan XLFL. It’s quite challenging, you know?
Akhirnya saya membeli buku jurnal dan memulai membuat to-do list dan target yang ingin saya
capai di hari tersebut. Awalnya saya merasa lebih produktif. Saya bisa menyempatkan
waktu untuk menerapkan kegiatan yang bermanfaat seperti do simple yoga, meditasi
dan membuat hari-hari saya lebih teratur karena saya mentarget aktivitas saya, misal,
hari itu saya harus membaca sebuah buku dengan waktu 20 menit, ya saya akan
mengatur timer selama 20 menit. Benar-benar se-strict itu. Hidup saya benar-benar mengalami perubahan ke arah
positif. Awalnya, saya masih bisa meng-handle.
Lama-kelamaan, tugas dari beberapa organisas dan kegiatan datang disaat
bersamaan dan saya harus menyelesaikannya. Saya kewalahan. Dari buku journal,
saya bisa melihat bahwa hampir semua target harian saya tidak bisa tercapai
pada hari tersebut.
Saya tertekan. Saya merasa ada yang kurang dalam diri saya dan terus
merenung ‘Kenapa saya tidak bisa
menyelesaikannya hari ini?’ Padahal saat itu saya sudah benar-benar
mengurangi waktu yang kurang produktif. Kegiatan A harus pukul sekian, setelah
itu langsung menuju ke kegiatan B, dan sebagainya. Jadwal benar-benar tersusun rapi
dan manajemen waktu benar-benar saya control ketat. Saya merasa teman-teman
saya bersikap berbeda pada saya. Mereka lebih diam dan jarang menyapa saya
duluan. Saya merasa bahwa saya berbeda dari Wulan yang dulu yang mana saya
selalu bisa menghabiskan waktu bersama teman entah itu bercanda, menonton film di
laptop bareng-bareng, hingga menginap di kos teman. Entah itu hanya perasaan
saya atau memang begitu.
Saya semakin tertekan. Saya yang sudah merasa tertekan karena tidak bisa
menyelesaikan target saya hari itu, menjadi lebih tertekan karena saya merasa
berbeda orang lain menganggap saya begitu. Kemudain saya merenung dan
menyimpulkan bahwa mungkin saya kurang menjadi pendengar yang baik dan kurang positive minded. Saya akhirnya sering
sedih dan cemas. At the time, I just feel
like “I need someone for healing”.
Akhirnya saya mengkontak salah satu kenalan saya, anak UNS, untuk berbagi
cerita. Saya memerlukan orang yang bisa memberikan saya saran dengan bebas tanpa
men-judge saya, dan saya pikir bahwa
dialah orangnya.
Sore itu, kami bertemu di Danau UNS. Saya menceritakan segala keluh kesah
saya. Dia mendengarkan dengan empati and
tent to know my matters well. Selesai saya bercerita, saya benar-benar lega
karena dia sema sekali tidak men-judge saya
dan menyalahkan saya. Dia memberikan banyak sekali insight dan saran-saran yang berguna bagi saya tanpa kesan
menggurui. Saya senang dengan hal itu. Dari teman saya itu, saya belajar banyak
walaupun saya masih dalam tahap belajar mengimplementasikannya sedikit demi
sedikit. Saya belajar bahwa belajar untuk menjadi pribadi yang lebih baik
memang butuh proses, dan proses setiap orang itu berbeda. We definitely can’t compare it. Kita tak bisa membandingkan
kecepatan belajar seseorang dengan seorang yang lain. We have different ruler.
Pun, dia menanggapi perubahan dalam diri saya dengan santai dan sikap ‘biasa
saja’. Katanya, perubahan itu wajar. Setiap orang pasti pernah berubah. Dia pun
pernah mengalami hal yang sama dan menurutnya momen tersebut akan menjadi
sebuah kesempatan yang bagus dimana kita bisa melihat mana teman yang bisa
menerima kita apa adanya dan mensupport
kita ke arah yang positive.
“Ketika kamu yakin kalau apa yang kamu lakuin sekarang ini baik untuk
kedepannya, ya, just do it. Karena
kamu yakin kalau apa yang kamu lakuin sekarang ini bakal ngefek ke masa depan
kamu. Misal, sekarang ini, kamu bilang mau belajar buat how to be good listener, sebenernya namanya active listening, sih, ya oke. Lakuin saja. Kamu lagi nggak spend your time, tapi kamu lebih ke invest your time. It’s okay kamu suka
nonton youtube, nonton film, dan
lain-lain asal kamu yakin itu baik buat diri kamu.” Dia pun bercerita bahwa
selama seharian ini, dia hanya bersih-bersih kos karena dia membaca buku yang
mana di dalamnya terdapat cuplikan isi yang kurang lebih berbunyi “Kalau kamar
aja masih berantakan dan belum bisa merapikannya, apalagi pikiran kita.” Ada saatnya
kita harus menghadiahi diri sendiri dengan sesuatu, walaupun hanya sederhana,
misal nonton, beli es krim, dan lain sebagainya. Saya sadar jika saya sering
melupakan kebahagiaan diri sendiri, terlalu fokus dengan target hingga merasa
kurang puas terhadap kinerja diri sendiri. How
pity I am.
Mulai saat ini, saya belajar lagi untuk mencintai diri sendiri. Kalau
kita tak mencintai diri kita sendiri, lalu siapa lagi? Saya mencoba untuk
menggali lagi my inner why and identity. Saya
sedikit-sedikit mulai terbuka, bahwa selama ini saya kurang tersenyum dan
tertawa. Just smile because it’s free
dan juga dapat pahala. Tidak perlu menunggu bahagia dulu baru bahagias, but start your day with sincere smile. Saya
senang membaca tulisan Mba Durrah (salah satu penerima LPDP di Wageningen –
sekarang sudah lulus) tentang senyum, judulnya 'Smile Does Magic!'.
Now, I believe. This is me, and I am still ‘me’ even though I change. I’am
who really I am with all the changes. Saya masih Wulan dan saya menerima
perubahan yang terjadi dalam hidup saya. Semangat!
P.s semoga cerita ini bermanfaat untuk kalian yang merasakan hal yang
sama.
2 komentar
Thank you wulan your story very motivated me.. 😊😊
ReplyDeleteThis comment has been removed by a blog administrator.
ReplyDelete