Berhenti Mengajarkan ‘Playing Victim’ pada Anak
August 06, 2020, by Wulan IstriSaya rasa playing victim sudah mulai cukup dikenal oleh masyarakat luas. Saya
beberapa kali menemukan istilah ini termuat di beberapa artikel juga sosial
media. Bagi yang belum tahu, playing
victim adalah kecenderungan seseorang untuk menyalahkan orang lain dan
memosisikan diri sebagai korban akibat perilaku orang lain. Akibatnya,
seseorang akan merasa bahwa dirinya selalu benar dan orang lain berada di
posisi yang salah. Akhirnya, bukanlah sesuatu hal yang tidak mungkin apabila seseorang
tersebut akan tumbuh menjadi seseorang yang pendendam dan sulit meminta maaf.
Hal ini disebabkan karena orang tersebut merasa dirinya yang paling benar dan
tidak perlu meminta maaf lebih dulu.
Jujur, saya juga pernah menjadi
orang tersebut. Bukan lagi pernah, melainkan sering. Saya melakukannya tanpa
sadar bahwa saya telah melakukan playing
victim. Kok bisa nggak sadar? Ya,
bisa saja. Jawabannya adalah karena saya sudah terbiasa. Pada awalnya saya
tidak menyadari bahwa saya ‘terbiasa’ dan besar oleh perilaku tersebut. Sehingga
ketika saya beranjak remaja dan dewasa, saya merasa bahwa itu adalah ‘bagian’
dari karakter saya yang tidak mungkin bisa diubah. Dan itu sama sekali tidak
ada salahnya.
Lambat laun saya belajar banyak
hal terkait manajemen emosi dan mencoba untuk mengontrol diri saya. Sedikit melenceng,
saya boleh berkata bahwa saya merupakan orang yang keras kepala, emosinya tidak
stabil (dapat berubah dengan cepat), serta kurang sabar. Saya tidak mengatakan itu semua adalah sifat negatif karena semua itu
ada sisi positifnya juga. Dengan karakter keras kepala yang saya miliki,
saya lebih bisa untuk tidak menyerah pada apa yang telah menjadi tekad saya. Dengan
emosi saya yang tidak stabil, saya juga mampu bersimpati dan berempati lebih
cepat sehingga saya menjadi orang yang cukup peka. Juga dengan sifat sabaran
saya, saya mampu bekerja lebih cepat dibandingkan orang lain. Semuanya tergantung dari ‘sisi mana’ kita memilih
untuk melihat karakter kita.
Baik, kembali ke topik utama. Percaya
atau tidak, sesuatu yang berulang-ulang secara terus menerus akan menjadi
sebuah habit atau kebiasaan. Emosi pastinya
juga termasuk dalam kategori ini. Secara tidak sengaja, perilaku dan emosi yang
kita terima dan kita berikan dalam menggapi sebuah respon akan membentuk
sebuah auto-reflek respon jika hal itu terjadi berulang-ulang. Misal, ada
seorang anak yang pasti akan marah atau ngambek
ketika ditegur atau dimarahi (biar ekstrim). Pertanyaannya adalah apakah benar jika seorang anak memiliki
sifat pemarah seperti itu adalah 100% salah si anak? Tentu saja tidak. Kita
semua percaya bahwa tidak ada bayi yang terlahir dengan sifat-sifat seperti
itu. Lingkungan di sekitar akan berpengaruh besar terhadap perilaku seseorang. Seseorang
akan belajar merespons sesuatu dari keadaan di sekitar. Berbicara terkait playing victim ini sebetulnya mirip
dengan teori di atas. Seorang anak yang ‘terbiasa’ mendapatkan perilaku ‘kurang
wajar’ ini biasanya akan cenderung tumbuh menjadi seorang yang selalu
memposisikan dirinya sebagai korban dan berada di posisi yang benar. Dan parahnya,
terkadang orang tua merasa tidak sadar ketika melakukannya.
Anak kecil |
Pernahkah teman-teman melihat orang
tua atau orang dewasa yang sedang momong balita
yang baru saja bisa berjalan kemudian balita tersebut jatuh? Bagaimana reaksi
orang tua tersebut? Kemungkinan besar jawabannya adalah: berteriak kaget,
berlari dan mencoba menyelamatkan anak sambil diikuti dengan menghibur si anak
supaya tidak menangis lagi. Pernahkah melihat tipe orang dewasa yang menghibur
si anak dengan kalimat kurang lebih seperti ini “Oh jatuh, ya? Cup cup, jangan nangis, sayang. Mana yang sakit, De?
(sambil ngelus-elus bagian yang sakit) Mana yang nakal, mana yang nakal? Ini?
(sambil nunjuk lantai) Iya? Nih, Mama marahin ya (sambil pura-pura
memukul/menampar (?) lantai itu dengan tangan). Ih, nakal ya bikin Ade nangis.
Tuh, udah Mama marahin. Sayang, sayang… udah jangan nangis lagi, Mama udah
marahin lantainya.” Lucu, nggak? Pernah lihat? Jujur, saya sih pernah lihat
beberapa kali. Bahkan, saya sempat melihat ketika si anak ditanya ’Mana yang nakal?’ kemudian si anak menunjuk
lantai dan kadang mencoba menghentak ke lantai sebagai ‘balasan’ karena si lantai 'dianggap' telah bertindak nakal.
Beralih ke contoh kedua. Pernahkah
teman-teman melihat seorang anak yang mengadu kepada orang tuanya terkait
perilaku temannya yang ‘nakal’ karena sudah memukulnya atau merebut mainannya? Bagaimana
respons orang tuanya? Apakah orang tua tersebut akan mengajak kedua belah pihak
yang berseteru (anaknya dan temannya) untuk berkomunikasi dan memecahkan
masalah berdua? Atau si Ibu ‘main’ marah ke teman anaknya yang dianggap nakal? Atau
cukup diam dan membenarkan ‘Sudah ngga
apa-apa. Dia memang nakal. Di rumah saja besok ngga usah main lagi sama dia.’?
Atau ada respon lain?
Setelah membaca contoh di atas,
cobalah untuk flashback kemudian mengingat-ingat
kembali. Apakah kamu pernah melihat kejadian seperti di atas? Atau justru kamu
sendiri pernah mengalami? Hahahaha. Kalau dipikir-pikir dari kasus contoh
pertama, sebenarnya lantai tidak bersalah. Lantai benda mati yang tidak bisa
mengintervensi (ikut campur) perilaku manusia. Tidak seharusnya kita
menyalahkan lantai yang sama sekali tidak bersalah. Lebih baik kita mengatakan “Lain
kali adek lebih hati-hati, ya? Biar tidak jatuh dan sakit lagi.” daripada
menyalahkan lantai. Kalimat ini secara tidak langsung menamkan nasihat kepada
anak untuk lebih berhati-hati karena penyebab dia jatuh adalah si anak kurang
berhati-hati. Sedangkan ketika kita menyalahkan lantai, tanpa sadar kita sudah
menanamkan playing victim pada korban
yang mana jika diulang secara terus menerus akan terbawa hingga dewasa.
Masuk ke contoh kasus kedua. Jujur
saja, saya dulu memang nakal. Saya pernah mengalami hal-hal yang kurang
mengenakkan dan kebeulan saya punya pengalaman yang relate sama kejadian
tersebut. sewaktu saya masih TK, diam-diam mengejek seorang anak SD dari desa
lain yang kebetulan lewat di depan saya ketika pulang sekolah. Nahas, si anak
tahu kalau saya mengejeknya. Dia mengancam saya. Karena dia sudah SD dan
laki-laki serta cukup gendut, saya takut dan akhirnya lari terbirit-birit menghampiri
ibu saya dan melapor bahwa saya diancam mau ‘dinakali’ sama anak tersebut. Ibu
saya membela saya dan mencoba untuk memarahi (ya nadanya sedikit lebih tinggi
dari biasanya) anak itu supaya jangan sekali-kali berani nakali saya. Kalau ingat kejadian tersebut saya jadi merasa
bersalah karena sebetulnya yang salah saya. Kalau saja saya tidak memulai
mengejek dia, pasti dia tidak akan mengancam saya. Hahahaha. Dewasa ini saya
menyadari bahwa apa yang ibu saya lakukan saat itu salah. Sebagai orang tua,
akan lebih baik jika kita mengambil tindakan jikalau sudah mendengar laporan
dari kedua belah pihak. Laporan dari salah satu pihak akan sangat bias. Lebih
bagus lagi jika ada orang ketiga, misal kita bisa mengajak mengobrol santai bersama
anak, teman yang berseteru, dan teman main lain yang ada di TKP namun tidak
terlibat percekcokan. Coba dengarkan pernyataan dari mereka dan cobalah untuk
memahami instead menghakimi. Bicarakan
baik-baik tanpa menyalahkan salah satu pihak secara berlebihan. Cukup beritahu
dimana letak salahnya juga beritahu bahwa hal ‘yang salah itu’ salah dan tidak
sebaiknya dilakukan. Itu akan membantu anak dalam memahami mana yang benar dan
mana yang salah. Jangan pernah meremehkan anak
mah ga akan tahu dan paham, mana bisa diajak ngobrol gitu? Eh jangan salah
teman-teman… justru anak adalah detektor emosi yang hebat, jangan pernah
meremehkan emosi mereka. Justru dari sini kita bisa mengasah kemampuan mereka
untuk mengontrol emosinya.
Anak kecil bersama ibunya |
Dua contoh perilaku orang dewasa
tersebut saya rasa sudah cukup untuk mewakili ide dan opini yang saya tuangkan.
Bagaiamanapun, playing victim
bukanlah sesuatu yang bagus. Ketika saya playing
victim, saya merasa bahwa ‘Sudah
seharusnya ini tidak terjadi. Kenapa sih, harus ada dia yang bikin ini semua jadiberantakan?’.
Saya menyalahkan orang lain terus-menerus sampai terkadang berlarut-larut dalam
masalah tersebut. Padahal, bukankah itu sesuatu yang wajar kalau dalam hidup
kita banyak menghadapi masalah? Akan lebih baik jika ada masalah kita tidak
berfokus pada masalah dan menyalahkan diri sendiri atau orang lain melainkan
berfokus pada problem solving,
bagaimana caranya kita dapat menyelesaikan masalah tersebut. Problem solving ini bisa ditanamkan pada
anak juga sejak dini, loh. Tentunya dengan tidak menanamkan sikap playing victim akan dapat membantu awal
mula pembelajaran ‘pemecahan masalah’.
Saya mengakui bahwa saya sering menyalahkan orang lain dan menganggap saya ‘yang paling benar’. Tidak apa-apa karena dulu saya tidak tahu. Bahkan hingga kuliah semester enam, saya masih cukup sering melakukannya. Sekarang setelah saya tahu, saya bisa belajar sedikit demi sedikit untuk memperbaiki diri saya. Selain hal ini akan berguna sebagai bekal pengetahuan ketika kita mengasuh anak nanti, sebetulnya pengetahuan ini juga bisa digunakan untuk menghadapi berbagai permasalahan di masa sekarang. Semisal ketika kita harus menjaga adik atau keponakan yang masih kecil, ketika kita dihadapkan pada sebuah kegagalan (baik di kehidupan organisasi, pribadi, atau tempat kerja) juga ketika kita dihadapkan pada seorang teman yang curhat (tapi cenderung mengadu) memiliki masalah dengan orang lain kepada kita. Dengan sedikit ilmu yang saya bagikan ini harapannya bisa menjadi sedikit acuan untuk berhati-hati dalam menanggapi sesuatu.
P.s. Saya belum menikah, juga belum memiliki anak. Kalau ditanya kenapa berani menulis dunia yang saya belum pernah mengalaminya? Jawabannya adalah: walaupun saya belum pernah menjadi orang tua, tapi setidaknya saya pernah mengalami bagaimana rasanya menjadi seorang anak (yang justru kadang ketika sudah jadi orang tua, opininya akan subyektif dan cenderung membela diri bahwa pola asuhnya benar sehingga akan bias). Sebetulnya, saya juga deg-degan ketika mau posting tulisan ini. Pun saya sebenarnya juga pernah belajar (sangat) sedikit terkait psikologi, antropologi, juga sosiologi. Tak harus sempurna untuk dapat membagi ilmu karena tidaklah mungkin kita dapat mencapai kesempurnaan.
Feel
free to comment bellow!
0 komentar