Tentang Komitmen

February 22, 2022, by Wulan Istri

Akhir-akhir ini saya merasa catatan saya berserakan dimana-mana; di sticky note yang tertempel di papan kayu, di memo ponsel, di buku catatan Gelatik Kembar berwarna biru, atau hanya sekadar di kertas yang kebetulan tergeletak. Termotivasi untuk memiliki catatan yang rapi dan terpadu, saya memutuskan untuk membeli buku jurnal. Harapannya, semua catatan sekarang bisa lebih teroganisir rapi di satu buku tersebut. Buku jurnal yang saya beli kebetulan buku jurnal polos berpola titik (dotted). Biasanya, saya membeli buku jurnal AGENDA UI siap pakai produksi dari Economica FE Universitas Indonesia namun akhir-akhir ini saya merasa kurang cocok dengan buku siap jadi.

Bagian Dalam Marina Bay 

Kali ini, saya berniat untuk merancangnya sendiri sesuai dengan kebutuhan saya. Karena bingung dengan template serta layout yang akan saya buat, saya mengeluarkan semua buku jurnal saya untuk mengetahui template, layout, serta gaya mencacat saya tiap tahunnya. Saya buka buku-buku tersebut satu persatu hingga akhirnya saya membuka lembaran awal buku agenda tahun 2019 kemudian terkejut ketika mendapati sebuah tulisan yang saya kenali itu adalah tulisan saya sendiri. Jelas, sudah pasti itu tulisan saya sendiri tapi jujur saja saya lupa pernah menulisnya. Saya tertegun membacanya.

Commitment is a blend of honesty and effort. (Wulan Istri, 2019)

Di situ tertera tulisan new semester learnt from Timothy. Kemungkinan dulu saya menulisnya hanya karena kesannya keren saja. Pun quote tentang ‘komitmen’ sepertinya pas disematkan di buku saya karena saya memang punya masalah terhadap komitmen itu sendiri. Sederhana saja, contohnya datang terlambat ke kelas kuliah (saat itu) atau tidak bisa berkomitmen pada rencana saya untuk belajar IELTS. Ada rasa trenyuh meliputi saya. Mungkin kata-kata itu yang tepat untuk mewakili perasaan saya setelah membacanya kala itu karena sebetulnya saya sendiri tak bisa mengungkapkannya (sekaligus lupa). Campur aduk.


Quote by Wulan Istri

Saya mencoba menyerap kata-kata tersebut dan mencoba memahaminya. Saya mencoba menginterpretasikannya (kembali). Komitmen adalah perpaduan antara kejujuran dan usaha. Hhmmm… sepertinya saya sekarang paham apa arti dari quotes tersebut. Begini kira-kira interpretasi saya:

Komitmen bisa terwujud apabila ada kejujuran dan juga usaha. Komitmen tidak akan terwujud jika salah satu dari unsur tersebut hilang. Kejujuran saja tak ada artinya jika tidak dibarengi dengan usaha, pun sebaliknya. Seseorang yang memiliki keinginan untuk hidup sehat berkomitmen untuk berolahraga setiap harinya. Untuk menjalankan komitmennya, pertama-tama dia harus jujur termasuk pada dirinya sendiri bahwa dia akan berolahraga setiap harinya. Tidak akan ada acara mengada-ada alasan untuk menghindari berolahraga entah itu ‘Saya sibuk sekali hari ini.”, “Saya merasa capai sekali jadi saya rasa saya tak perlu olahraga dan merasa berhak melakukannya sebagai self reward.” atau alasan lainnya. Kita harus jujur pada diri sendiri bahwa sebetulnya kita hanya malas dan mencari alasan untuk menghindar. dengan kata lainnya: berbohong. Selain itu… janji harus ditepati bukan? Yang kedua adalah usaha. Sudah jujur namun tidak ada aksi lalu apa gunanya? Lakukan. Berusahalah. Sepertinya kok susah, ya? Tentu. Tidak ada sesuatu yang selalu mudah. Bahkan terkadang hal-hal yang mudah dilakukan akan terasa sangat sulit dilakukan di saat-saat tertentu, misalnya ketika sedang capai, marah, atau tidak merasa termotivasi saja. Jadi, lakukanlah sebagai usaha untuk menepati janji ada.

Saya tiba-tiba saja terpikir pada betapa banyaknya hubungan yang kandas karena gagal menjaga komitmen mereka. Mereka berkomitmen untuk setia satu sama lain namun akhirnya berpisah di akhir. Mungkin mereka membohongi diri mereka sendiri ketika dihadapkan pilihan untuk selingkuh atau setia. Sebagian dari mereka mungkin awalnya membohongi pasangan mereka seakan-akan dia setia. Juga, sebetulnya mereka membohongi diri mereka sendiri. Mereka bersembunyi di balik alasan “Aku tidak memiliki hubungan dengannya.” atau alasan lain yang terdengar familiar di telinga kita dengan terus mencoba berusaha membuat semuanya 'terlihat' berjalan normal. Atau mungkin sebetulnya mereka menyadari dan telah jujur pada diri mereka sendiri namun tidak mau berusaha. Mereka hanya diam dan bersikap pasif tanpa ada usaha untuk mempertahankan atau meningkatkan hubungan tersebut, misalnya saja memberi kabar setiap beberapa hari sekali, saling percaya dan memberikan ruang satu sama lain, meluangkan waktu untuk sekadar bersantai, mengkomunikasikan hal-hal yang perlu dikomunikasikan, dan yang lainnya. Jujur, kenapa saya jadi judmental dan sok tahu begini? Hahaha entahlah. 

Hah… benar-benar. Saya jadi sadar ternyata saya telat menyadarinya. Mungkin juga saya telat dewasa sehingga kurang bisa memahami hal-hal seperti ini. Tulisan ini menandakan bahwa saya pernah 'sebijaksana' (walaupun sedikit) itu dalam menyikapi komitmen sampai-sampai bisa menulis quote tersebut. Tapi lihatlah saya sekarang! Saya merasa bahwa saya telah mengalami kemunduran. Menilik ke belakang, saya merasa bahwa kualitas 'komitmen' saya layaknya barang KW grade abal-abal: cepat hancur. Kini saya menyadari bahwa saya masih memiliki PR dengan komitmen saya. Hah... komitmen... komitmen. Susah sekali diterapkan, ya, kau ini! 

***

Sekeping Ingatan dari Masa Lalu

Tulisan tersebut kemungkinan saya tulis di tahun 2019 karena dia tertulis di Buku Agenda UI 2019. Quote tersebut saya ekstrak dari hasil perenungan yang (mungkin) cukup serius setelah berkesempatan untuk bertemu dengannya pada akhir bulan Juli 2019. Saya masih ingat, 29 Juli 2021 lebih tepatnya. Saat itu kami bertemu di Singapura. Sebelumnya, saya belum pernah sama sekali bertemu secara tatap muka dengannya dan hanya berkomunikasi melalui Facebook. Itu pun sangat singkat dan jarang. Belum tentu setahun sekali saling berkirim pesan. Pertemuan pertama itu benar-benar 'mengguncang' dunia saya hingga saat itu saya bisa 'menciptakan' quote dari hasil pengamatan saya terhadap apa yang dia lakukan (Baca di tautan link: Kisah Pertemuan Pertama di Singapura). Bukan saja saya lupa kalau saya sendiri yang menulis quote tersebut bahkan saya sempat lupa bahwa quote tersebut merupakan kesimpulan dari hasil renungan saya terhadap pengalaman yang dibagi oleh Timothy, seseorang yang awalnya bukan siapa-siapa kini menjadi teman. Untung saja saya menulisnya di buku tersbut. Kalau tidak, mungkin renungan saya selama perjalanan Singapura-Kuala Lumpur hingga membuat kepala saya sakit tak akan ada artinya. 


P.s. Timothy, thank you! I don’t know what to say but GBU. 
P.p.s. Kadang aku juga heran, masalah beginian saja kenapa harus begini? Bisa-bisanya saya melupakan kejadian sekaligus pelajaran 'besar' yang sempat 'mengguncang' saya. 

0 komentar

Instagram

Featured Post

Hampa

Aku berlari dan terus berlari  Rasanya lelah namun aku tak bisa berhenti  Ku berlari tanpa arah yang pasti  Tak tahu pula apa yang tengah ku...

Contact Form

Name

Email *

Message *