Jantung berdetak lebih cepat dan darah mengalir hingga
berdesir saat saya melihat sebuah artikel “Hungary Scholarship 2018-2019 Call
for Application” hingga akhir. Saya mencermati seluruh persyaratan dokumen dan detail
program beasiswa yang ditawarkan tersebut. Uhm…
Hungary, boleh juga, pikir saya saat itu. Walaupun saya tak pernah
mengatakan kepada siapa pun bahwa saya menyukai Hungaria, tentu saja hati saya
terpanggil setiap kali nama Budapest terdengar. Siapa pun tak akan menyanggah
bahwa Budapest merupakan salah satu kota tercantik di dunia. Tentu akan sangat
menyenangkan ketika kita bisa bersekolah di kota tersebut atau paling tidak di
sebuah kota yang masih berada di dalam lingkaran negara tersebut.
Baiklah, bukan kota cantik yang sebenarnya menjadi focus utama
saya melainkan sebuah mimpi. Sejak dulu saya ingin melanjutkan pendidikan
strata satu di luar negeri. Saya memang suka jalan-jalan tapi itu bukan tujuan
utama. Jalan-jalan adalah nomor sekian dalam hidup saya dan bukan sebuah
prioritas. Saya hanya ingin benar-benar belajar mengenai hidup dimana saya akan
hidup di tengah-tengah negara antah berantah. Bertemu dengan orang yang
berbeda, hidup di tengah kebudayaan yang berbeda dan bagaimana rasanya menjadi
seorang minoritas dalam menjalankan agama. Itulah yang saya cari selain ilmu
pengetahuan yang bisa di dapat di bangku kuliah.
Study in Hungary memang tak pernah terpikirkan di benak saya
kala itu. Yang saya pikirkan sejak saya kecil hingga kuliah strata satu
hanyalah Inggris, Amerika Serikat, Jerman dan Belanda. Hingga pada akhirnya,
November lalu saya mengikuti EHEF, European Higher Education Fair, dan saya
mampir ke Stand Hungary Education Ministry. Sebuah brosur berwarna hijau
berhasil saya dapatkan. Dari brosur dan penjelasan staff, akhirnya sadar bahwa
Hungary memang patut untuk dijadikan sebagai negara tujuan melanjutkan studi.
Teman dekat saya mendukung untuk mencobanya dan menguatkan
doa. Salah satu orang yang paling saya percaya, Echa, benar-benar membuat saya
bersemangat. Saya kembali membaca dan menggali info lebih dalam. Stipendicum
Hungarycum, itulah sebutan beasiswanya. Saya cermati satu-persatu kembali
dengan teliti. Saya juga membuka website resminya. Beasiswa untuk Bachelor
Degree memberikan biaya pendidikan, asuransi kesehatan, asrama, serta uang saku
bulanan sebesar 150 Euro. Persyaratannya hanyalah transkrip nilai, motivation
letter, bukti kecakapan berbahasa Inggris, surat keterangan sehat dari dokter
dan mengisi aplikasi online. Tahapannya juga tidak terlalu sulit ditambah bukti
kecakapan Bahasa Inggris tidak mengharuskan TOEFL atau IELTS yang harus merogoh
kocek dalam-dalam untuk mengikuti tesnya. Apalagi terjemahan dokumen dalam
Bahasa Inggris juga tidak memerlukan Penerjemah Tersumpah dan biaya aplikasinya
gratis. Menyenangkan dan simple.
Kita bisa memilih tiga jurusan maupun universitas tempat
kita belajar nantinya. Jika kita diterima di salah satu universitas maka
otomatis kita juga akan lolos mendapatkan beasiswanya. Bayangan saya belajar di
sebuah kampus dengan kualitas baik di daratan Eropa sudah menari-nari di otak
saya. Kemudain saya berhenti membaca, saya mencoba mengulang-ulang membacanya, dokumen harus sudah dikirim ke Lembaga
Partner paling lambat 16 Februari 2018. Seakan atap rumah runtuh. Saya terkesiap
sekaligus kecewa. Aku kira Allah membukakan jalan untukku melalui Stipendicum
Hungaricum ini. Sedih tentu saja. Hari ini seharusnya menjadi salah satu hari
paling membahagiakan dan tiba-tiba terasa hambar. Hampir saja saya menangis
karena saya telat mengetahui informasi tersebut. Pendaftaran sudah dibuka sejak
Desember 2017 dan ditutup pada Maret 2018 nanti. Sinyal di desa dan kuota,
masalahnya.
Saya masih sedih hingga saat ini. Namun akhirnya saya sadar.
Mungkin ini cara Allah membangunkan mimpi saya yang telah lama tertidur pulas
di bawah alam bawah sadar. Allah selalu memiliki cara unik untuk menyadarkan
kita akan sesuatu, walaupun itu terkadang menyakitkan. Tapi saya yakin, Allah
membangunkan mimpi saya karena ingin mimpi saya tetap terjaga walaupun saya
sekarang sudah menempuh strata satu. Dari sini saya menyadari bahwa kita harus
pandai-pandai bersyukur untuk menerima apa yang terbaik untuk kita. Namun,
perlu diingat bahwa kita tidak mengetahui apa yang terbaik untuk diri kita
sendiri. Yang bisa kita lakukan adalah mencoba semua kemungkinan dan biarkan
Allah melakukan sisanya. Setelah itu, barulah kita tahu apakah hal tersebut
yang terbaik atau bukan. Jadi tetaplah berusaha atau setidaknya mencobalah.