Segenggam Cinta dari Malaysia
February 08, 2018, by Wulan Istri
November yang lalu, tepatnya di
tahun 2017, saya sempat berkunjung ke Malaysia untuk mengikuti sebuah MUN
(Model United Nations) Conference di Kuala Lumpur. Saya bersyukur karena
akhirnya bisa menjejakkan kaki di negeri antah berantah untuk pertama kalinya. Dan
tak kalah bersyukurnya, saya akhirnya bisa bertemu dengan salah satu kenalan
yang baru saya kenal beberapa hari yang lalu melalui aplikasi untuk traveler, couchsurfing. Singkat cerita setelah
acara selesai, saya menyempatkan diri untuk berkeliling Kuala Lumpur barang
sebentar sembari menunggu jadwal penerbangan esok paginya untuk kembali ke
Semarang. Tentu saja, di akhir acara saya menyisipkan agenda untuk bertemu
dengan kenalan saya tersebut.
Kuala Lumpur dari ketinggian |
Kuala Lumpur di malam hari |
Akhirnya setelah tragedi whatsapp
error, battery ponsel habis, tersesat, kurang lancar membaca rute MRT dan
kebingungan karena mencari Mas Reza yang tak kunjung ketemu, saya bisa bertemu
dengan kenalan saya tersebut, sebut saja Dokter Lim (bukan nama sebenarnya).
Memang perjuangannya begitu panjang dan melelahkan namun saya puas. Dibalik
berbagai tragedy tersebut, Allah telah menyiapkan kejutan, hadiah yang paling
saya sukai, sebuah pelajaran hidup.
Di stasiun yang telah ditentukan,
Dokter Lim berlari kecil menghampiri saya dan teman (yang baru saja kenal)
kemudian menjabat tangan saya dan berkata “Lim. Nice to meet you” sembari
tersenyum. Setelah perkenalan dilanjutkan dengan mencari tempat duduk. Beliau
baik sekali mau membawakan barang bawaan teman saya yang kebetulan memang
banyak sekali. Akhirnya kami bisa duduk dan ngobrol santai di foodcourt
terminal yang hanya bersebelahan dengan stasiun yang menjadi tempat
pemberhentian saya tadi. Dokter Lim menyiapkan kursi untuk tempat kami duduk
kemudian tersenyum.
Saat itu saya sempat nervous. Dilihat dari segi usia, Dokter
Lim ini memang tergolong awet muda. Beliau sudah berkepala tiga namun wajahnya
masih terlihat seperti remaja berusia 19-20an, begitu muda. Dilihat dari segi
latar belakangnya, tentu saya tak main-main, saya berhadapan dengan seorang
dokter yang pernah mengenyam pendidikan di Russia sebagai scholarship awardee. Selain itu, saya juga bisa melihat intelektualitas
yang tinggi melalui tulisannya. Saya sempat menggodanya dengan bertanya “Are
you a genius?” dan beliau dengan rendah hati menjawab ‘tidak’. Menurutnya, apa
yang telah ia dapatkan selama ini merupakan keberuntungan yang diperjuangkan
dengan usaha. What a nice answer!
Obrolan berjalan semakin menarik.
Saya menanyakan beberapa hal yang ‘memaksa’ saya untuk bertemu dengannya
seperti mengapa beliau tertarik di couchsurfing,
seputar kegiatan kerelawanan yang diikutinya dan tentu saja, tentang salah
satu tujuannya. Ternyata salah satu tujuannya bertemu dengan orang-orang adalah
untuk membagikan ilmu mengenai sleep
wellness. Sebagai orang yang juga menyukai hal-hal seperti itu, saya sangat
mengapresiasi usaha beliau ini. Dan juga saya merasa bahwa strategi ini cukup
efektif untuk digunakan, apalagi dalam keadaan random seperti itu.
Melalui beliau saya belajar bagaimana
caranya berbicara agar rapi dan tertata, tulus membantu sesama, menepati janji
dan hospitality. Ada percakapan yang
sampai saat ini masih saya ingat dengan sangat jelas dan gamblang.
“So, do you work in hospital or clinic?” saya bertanya.
“No, I don’t work in any hospital or clinic. I am a consultant, wellness and health consultant. Wellness, is just like “kesihatan” in Malaysia language. So, wellness is actually not only health. It’s all about healthier life, wiser life, and wealthier life and other. Sometimes I educate people about sleep education also.”
“Ohw… that’s unique. I think you’re the only person whom I know who do that thing. That’s out of the box.” Saya tersenyum.
“Uhmmm…” beliau kelihatan berpikir sejenak kemudian melanjutkan “Or maybe without the box. Why there must be a box? So just throwing the box and think without the box.” Katanya sembari tangannya memperagakan membuang kotak ke belakang.
Saya terdiam, merenungkan
kalimatnya.
![]() |
Foto bersama |
Akhinya pertemuan malam itu
dengan terpaksa kami tutup karena harus segera ke bandara. Kami memesan Grab,
Dr. Lim mengantarkan kami ke lobby dan menemani hingga Grab datang menjemput
kami. Beliau membantu kami memasukkan koper ke bagasi dan akhirnya kami harus
berpisah. Sedih memang, terasa waktu begitu singkat dan kurang lama. Saya
menjabat tangannya sembari mengucapkan terimakasih dan melambaikan tangan
seraya bilang “bye” namun dalam hati saya berbisik we’ll see each other someday. Dia membalas lambaian tangan saya
sambil tersenyum. Mobil meluncur menembus malam Kuala Lumpur menuju bandara
meninggalkan Dr. Lim yang masih berdiri di sana.
Singkat cerita, baru-baru ini
saya mendapatkan fakta bahwa Dokter Lim telah menyelesaikan studi hingga
jenjang tertinggi dan mendapatkan gelar akademik tertinggi sebagai seorang
dokter, yaitu MD. Beliau menyelesaikan pendidikan tersebut sebelum usianya
menginjak 30 tahun. Namun hebatnya, beliau bersedia bertemu, membantu dan
menjawab semua pertanyaan saya tanpa pernah bersikap menggurui. Itulah satu
pelajaran lagi yang saya dapat dari seorang Dokter Lim.
0 komentar