Bisikan Pesan dari Telawa

March 03, 2018, by Wulan Istri

“Mari, Bu” saya menyapa seorang ibu yang tengah lewat di depan saya sambil tersenyum. Beliau menoleh dan tersenyum balik. Ibu tersebut Nampak membawa sesuatu yang dibungkus dengan kantong plastik.
“Iya, Mbak. Mbaknya KKN, ya?”
Saya mesem saja mendengar pertanyaan tersebut. Sudah bosan saya menjawab dengan jawaban serupa sambil menjelaskan siapa kami, semester berapa dan semacamnya namun saya tetap menejelaskannya.
“Wah, calon Bu Dokter, ini. Saya tadi juga habis cek di Ibu Bidan.” Begitu tanggapan polos beliau. Saya menjelaskannya pelan-pelan bahwa kami ini belajar mengenai Kesehatan Masyarakat, bukan Pendidikan Dokter.
“Halah, tapi sama aja, kan, Mbak. Nanti kalau sudah lulus kan sama-sama jadi dokter.” Beliau agak sedikit ngeyel. Saya jelaskan kembali kalau kami tidak belajar bagaimana caranya menyuntik, memberikan resep, dan lain sebagainya.
“Oh, begitu, ya? katanya akan ada cek gratis, ya, Mbak? Dikasih obat, nggak?”
“Iya, Bu, ada namun kami tidak memberikan obat karena kami tidak ahli dibidangnya dan juga kami tidak memiliki wewenang untuk itu”
“Kalau begitu saya memohon sarannya Bu Dokter. Saya ini sakit stroke ringan. Apakah bisa sembuh, ya, Mbak? Dan apa yang harus saya lakukan?
Pemandangan dilihat dari Balai Desa

***

Pagi-pagi sekali kami sudah mandi dan bersiap-siap untuk acara terakhir, cek golongan darah dan cek kesehatan yang meliputi cek gula darah, antropometri serta tekanan darah. Dewi berada di pos pendaftaran. Saya berada di pos Antropometri untuk mengecek berat badan, tinggi badan serta lingkar lengan menggunakan pita LILA untuk wanita hamil dan wanita usia produktif. Faridha bertugas untuk menginput data anthropometri ke laptop, Nur bertugas untuk mencatat hasil tekanan darah, Thania dan Annisa, atau yang sering saya panggil dengan sebutan Ancho, bertugas di pos tekanan darah. Pos cek golongan darah ditangani oleh Tinuk dan Isna sedangkan pos gula darah ditangani oleh mbak Santi. Aini, yang saya panggil dengan sebutan Aje, bertugas di bagian dokumentasi. 
Pos Tekanan Darah

Pos Antropometri

Pos Golongan Darah dan Gula Darah

Pos Pendaftaran (dibantu salah satu anggota PKK)

Antrian yang cukup panjang

Semuanya bertugas sesuai dengan job desk masing-masing hingga akhirnya terjadi masalah, battery tensimeter digitalnya sudah habis. Kami hanya membawa dua tensimeter saja, yang satu manual dan yang satu digital. Di sini tidak ada yang jualan battery kalau ada pun kami harus menuju ke Kecmatan Juwangi padahal antrian semakin panjang. Akhirnya saya bertukar posisi untuk duduk di bagian cek tekanan darah dengan dipinjami tensimeter Ibu Bidan. Cukup capai memang, antriannya banyak. Di bagian ini saya bisa memahami berbagai keluhan masyarakat mengenai penyakitnya, latar belakangnya dan tentu saja, kebiasaan buruk beberapa warga yang tidak sarapan atau sering ngeteh sehabis sarapan. 

Antrian bagian tekanan darah tinggal sedikit. Saya mencoba mengajak berbicara seorang nenek yang duduk terdiam dan membiarkan Tania menyelesaikannya. Nenek itu memakai baju kancing depan semi kebaya, menggunakan jarik sebagai bawahannya dan rambutnya yang sebagian sudah memutih digelung ke atas ala wanita Jawa. 

“Ibuk, ibuk sudah makan melon? Mau? Saya ambilkan, ya? Sebentar.” Saya mengambilkannya dua potong melon tanpa menunggu jawabannya. Saya kembali denga dua potong melon dan menyerahkan pada beliau.
“Saya tidak bisa menguyahnya.” Saya terdiam. Apa ibuk ini tidak makan buah dan sayur, juga, ya? “
“Kalau sayur, Bu? Bisa?” saya bertanya dengan sedikit curiga.
“Kadang-kadang.”
“Kalau pisang bisa ngunyah, Bu?” beliau menggeleng. 

Nur dan Nenek
Waduh… bagaimana ini? Sebagai calon tenaga kesehatan masyarakat tentu saja saya harus bisa memberikan solusi alternative, tidak hanya penyuluhan saja tanpa memperhatikan background. Apa dijus saja, ya? Ah tidak, mungkin. Pasti tidak memiliki blender. Atau beli ke Pasar Juwangi? Ah lupakan. Boro-boro beli jus. Makan sehari-hari saja mereka masih ngirit. Akhirnya saya diam karena tak menemukan jawaban. Saya kecewa pada diri saya sendiri karena saya tak pernah menduga aka nada kondisi seperti ini dimana seorang lansia yang kemampuan digestivenya sudah tidak berfungsi dengan baik hidup di tengah-tengah keluarga yang sangat pas-pasan di sebuah desa yang sedikit terisolasi dari luar. 

***

Akhirnya saya menyadari, menjadi seorang tenaga kesehatan masyarakat itu juga sama susahnya. Kita tak pernah tahu jalan pikiran orang-orang itu seperti apa. Kita harus siap sedia menjawab pertanyaan seputar penyakit mereka. Sebagian masyarkat di bagian terpencil tak mau tahu kita ini dokter atau tenaga kesehatan masyarakat. Yang mereka tahu kita ini tenaga kesehatan yang sudah pasti tahu semua jenis penyakit dan pengobatannya. Mereka belum bisa menerima kalau kita belum memberi jawaban yang menurut mereka memuaskan. Aneh memang tapi begitu pula faktanya, ada daerah yang masih seperti itu. Kini saya menyadari, mengapa terjun langsung ke tengah-tengah masyarakat itu diperlukan. Agar kita tahu, tak selamanya ilmu yang kita peroleh di bangku kuliah bisa kita pergunakan di lapangan. Membaca, belajar, mencari tahu dan seperti itu seterusnya.
Setidaknya, saya sekarang menemukan solusi untuk menjawab permasalahan nenek tadi, buahnya silakan diparut menggunakan parut kemudian silakan ambil sarinya.  

0 komentar

Instagram

Featured Post

Hampa

Aku berlari dan terus berlari  Rasanya lelah namun aku tak bisa berhenti  Ku berlari tanpa arah yang pasti  Tak tahu pula apa yang tengah ku...

Contact Form

Name

Email *

Message *