Welcome to Cerme!

March 03, 2018, by Wulan Istri

Letaknya jauh dari pusat kota. Sarana transportasi umum tidak tersedia. Tidak ada warung makan, yang ada hanyalah sepetak warung tegal dengan menu yang tidak lengkap. Pun warteg itu hanyalah satu-satunya warteg yang ada di seantero desa ini. Ialah desa yang disebut dengan Cerme, sebuah kelurahan yang terletak di paling utara Kabupaten Boyolali yang menjadi tempat pengabdian kami. Alamnya masih asri. Pohon kelapa masih bisa ditemukan dengan amat mudah di sana.  Warga sekitar umumnya bekerja sebagai peternak sapi kecil-kecilan dan berkebun. Terkadang, mereka juga menjual hasil bumi seperti rebung, kelapa dan lainnya ke Pasar Juwangi. 

Beberapa bagian jalan belum diaspal dan masih berbatu. Jalanannya sepi dan dipenuhi oleh kebun jagung serta hutan jati di kanan kirinya. Karena tidak ada transportasi umum, satu-satunya cara yang bisa ditempuh yaitu  dengan menggunakan kendaraan pribadi. Jika tidak mengendarai kendaraan pribadi maka kita bisa memilih untuk menebeng motor warga setempat, menebeng truk atau pick up pembawa pasir dan batu yang menuju ke desa tersebut atau naik ojek dari Pasar Juwangi. Silakan, tinggal pilih. 

Tibalah saya di Stasiun Telawa bersama Nur. Kami memang sengaja datang sehari lebih awal dari yang lain karena kami harus mengurus beberapa kepentingan di sana. Sebut saja mengantarkan undangan penyuluhan kepada Ketua PKK, undangan sambutan kepada Ibu Kepala Desa, undangan penyuluhan reproduksi remaja kepada Ketua Karang Taruna, undangan penyuluhan untuk anak-anak kepada Guru TPA setempat, mencari sewa kendaraan untuk menjemput rombongan Pengabdi Masyarakat, berbelanja kebutuhan bahan makanan untuk konsumsi di hari berikutnya, survey warteg yang ternyata hanya ada satu sekelurahan, survey konsumsi ringan untuk konsumsi penyuluhan anak-anak, bersih-bersih tempat penginapan, menembusi penjaga Balai Desa, membantu membersihkan Balai Desa dan menata kursi meja, menyelesaikan sabun amplop, membuat kartu kendali cek kesehatan, dan apa lagi, ya? Sudah panjang kan? Sudah cukup kalau begitu. 

Karena dari pihak Cerme tidak ada yang menjemput maka kami harus memilih salah satu dari tiga opsi yang ada: nebeng motor warga setempat, nebeng truk atau pick up atau naik ojek. Sebagai mahasiswa yang cerdas, tentu saya dan Nur lebih memilih opsi pertama atau kedua karena naik ojek ongkosnya mahal minta ampun. Di bawah Pohon Cherry Jawa kami menunggu truk selama kurang lebih satu jam. Karena tak membuahkan hasil, kami berpindah ke jalan berbatu dekat SMP dan SMA terdekat dengan harapan bisa minta tolong diantarkan oleh adik-adik. Dengan menggendong beban yang cukup berat ditambah tas jinjing berisi tas dan perlengkapan lain, saya berjalan kepayahan di bawah terik matahari. Sepi. Tidak ada warga yang lewat, tidak ada penjual cilok yang biasanya berjualan di depan gerbang dan tidak ada siswa di sana. Mampus! Anak sekolah kan sudah masuk liburan semester!
Jalan menuju Cerme yang sudah dibeton

Kami menunggu truk lewat di bawah gubug penjual makanan ringan ketika sekolah tidak libur. Sepi sekali, sesekali terdengar suara jangkrik dan serangga. Nur kecapaian sampai tertidur. Dari kejauhan muncul truk yang kedua kalinya. Saya melambaikan tangan di pinggir jalanan berbatu dan tersenyum untuk menghentikannya. 

“Pak, apakah truk ini menuju ke Desa Cerme?”
“Iya, mbak.”
“Saya boleh numpang, Pak?” saya bertanya cemas
“Oh boleh, Mbak. Silakan.” Pak Supirnya menjawab riang, saya lega. Saya segera mengangkat barang bawaan dan bersiap menuju ke bak truk.
“Mbak, di depan saja. Oh ya, tapi pintunya harus kenceng kalau nutup, Mbak. Mbaknya yang mau KKN itu, ya?” pertanyaan klise “Mbaknya KKN, ya?” akhirnya muncul.
Setelah menunggu dengan total dua jam lebih, akhirnya kami mendapatkan tebengan truk pasir setelah berkali-kali ditolak karena tujuannya bukan ke Cerme. Truk berjalan perlahan melewati jalanan berbatu. Di kanan jalan terdapat tebing kapur yang cantik. Insiden pintu truk terbuka saat melewati jalan berbatu terjadi berkali-kali sehingga Nur harus memegangi pintunya supaya tidak terbuka lagi dan hal itu membuat kami tertawa. Truk terus berjalan menembus hutan jati. Jalanan mulai naik dan truk  masih tetap berusaha melewatinya walaupun agak terbatuk-batuk. Truk semakin menunjukkan gelagat yang abnormal hingga akhirnya truk tersebut tidak kuat lagi melewati jalan menanjak dan mesinnya mati. Truk tersebut akhirnya sedikit demi sedikit namun pasti mundur perlahan dan ngglondhor tidak berdaya.

Perasaan Saya dan Nur campur aduk antara tegang, panik dan ingin tertawa. Tegang karena takut akan terjadi apa-apa dan menahan tertawa karena pintu truk terbuka lagi ketika truk ngglondhor. Saya dan Nur mencoba sekuat tenaga menahan untuk tidak tertawa namun sudah bisa ditebak, hasilnya gagal. Mengecewakan sekali saya dan Nur akhirnya tertawa terpingkal-pingkal namun tertahan. Sang supir truk memohon maaf dan bercerita sebelumnya truknya sempat kehabisan bensin jadi mesinnya tidak kuat. Setelah truk berhenti di daerah yang cukup datar, beliau menyuruh kami turun. Tidak hanya kami, namun juga barang-barang kami! Saya diam, was-was, apa saya diturunkan di sini karena kami tertawa ketika truk ngglondhor? Ternyata bapaknya mau memperbaiki mesin. Kami dipersilakan untuk naik lagi. Alhamdulillah. Bapaknya mencoba sekali lagi. Awalannya cukup oke namun hasilnya sama, truk kembali ngglondhor. Untuk awalan ketiga, sang supir memanasi truknya sampai suara gerungannya terdengar seperti serigala tercekik. Baiklah, kali ini kami percaya diri menghadapi jalan tanjakan. Namun…. Hasilnya sungguh mengecewakan! Truk kembali ngglondhor! Wassalamlah kami. Jalanan itu sepi. Tidak ada bengkel, yang ada hanyalah hutan jati. Sudah jam dua namun kami sama sekali belum melakukan tugas-tugas kami. Kami pasrah dan hanya diam menonton bapak supir mengutak atik mesin karena kami memang tidak tahu apa-apa masalah mesin. 

“Mbaknya nggak usah khawatir. Nanti saya carikan tebengan motor” saya tersenyum mendengar pernyataan tersebut. Seolah beliau mengerti apa yang saya pikirkan. Dan benar saja, beliau mencegat salah seorang pengendara motor yang sudah pasti tetangganya (karena jalan tersebut satu-satunya akses menuju Desa Cerme, satu-satunya desa di balik Hutan Jati) untuk mengantarkan saya ke tempat penginapan, sebuah Markas Posyandu. Nur menunggu jemputan bantuan selanjutnya. Di perjalanan, lagi-lagi saya ditanya apakah saya merupakan mahasiswa KKN. Baiklah, untuk cerita selanjutnya kalimat tersebut merupakan kalimat yang paling sering saya dengar selama di Cerme. 

Sesampainya di tempat penginapan, kami membersihkan ruang posyandu yang akan kami gunakan sebagai ebagai tempat penginapan serta markas, membeli makan siang di warteg kemudian menyerahkan undangan ke pihak yang bersangutan. Saya sangat bersyukur karena pihak terkait ternyata sangat kooperatif dan kami sangat disambut dengan baik. Warga benar-benar senang dengan program kami, bukan hanya sekadar senang pencitraan. Di jalanan kami berpapasan dengan penduduk desa yang kebetulan sedang lewat, mengumpulkan rebung atau kelapa, atau yang sedang bersantai di halaman dan ngerumpi bersama tetangga. “Oh… mbaknya yang mau ngadain cek kesehatan gratis tanggal satu itu, to? Woalah… iya, mbak. Pak RT sudah woro-woro. Saya mau cek, ya, Mbak, mumpung gratis.” Begitu yang saya dengar. Dari pertemuan tersebut saya faham bahw kabar kami akan melakukan kegiatan di sini sudah tersebar jauh. Alhamdulillah. 
Kantor Kepala Desa Cerme

Setelah bertanya-tanya letak rumah Ibu Kepala Desa, kami menyusuri jalanan desa dan berhasil bertemu dengan beliau. Semua surat sudah diantar sampai tujuan, memesan konsumsi sudah, koordinasi dengan ketua PKK sudah dilakukan, pesan truck pick up yang akan menjemput rombongan kami juga sudah maka tinggal satu tugas yang belum kami selesaikan yaitu menelopon teman-teman di Semarang. Sebelumnya di Semarang saya sudah mengisi pulsa agar saya bisa menelepon manual ke teman karena sinyalnya tidak kuat untuk koneksi internet. 

Saya mencoba menelepon Isna, tidak tersambung. Saya coba lagi, gagal. Coba lagi, tidak bisa. Berkali-kali. Demi apa? Sinyalnya ndak bisa buat telepon, masak? Saya frustasi. Saya berjalan ke dekat lapangan, tidak juga bisa. Saya berjalan ke pertigaan dekat rumah Ibu Kepala Desa. Baru tersambung! Gereget. 

Lambat laun saya mendengar penjelasan dari beberapa ibu-ibu di Cerme.
“Mbaknya kemarin ngirim SMS ke saya? Saya belum menerima, mbak. Soalnya di sini ponsel harus dimasukkan ke gelas dulu bisa menerima pesan.”
“Di sini sinyalnya memang suah, mbak. Saya habis dari Pasar Juwangi di kecamatan, biar anak saya yang di Bekasi lega nelpon saya. Kalau nelpon di sini putus-putus. Sinyalnya susah.”

Selamat Datang di Desa Cerme! Desa yang asri, penduduknya ramah namun tidak ada sinyal! Good bye Sinyal Ponsel!

3 komentar

  1. Waa wulan..terus semangat yaa, pengalaman yang seruu, bisa berbaur dgn masyarakat,uhmm

    ReplyDelete
    Replies
    1. Kuharap tahun ini kamu bisa ikutan hehe. Bikin acara bareng-bareng sesama anak kesehatan sepertinya seru :))

      Delete
  2. This comment has been removed by the author.

    ReplyDelete

Instagram

Featured Post

Hampa

Aku berlari dan terus berlari  Rasanya lelah namun aku tak bisa berhenti  Ku berlari tanpa arah yang pasti  Tak tahu pula apa yang tengah ku...

Contact Form

Name

Email *

Message *