Belajar 'Apa Adanya' dari Seorang Teman di Penghujung Dunia
August 11, 2019, by Wulan Istri
Saya berkali-kali mengecek sosial media, berharap pesan dari
seorang kawan masuk. Dan benar saja! Ada pesan baru dari seseorang yang saya
tunggu! Sejak Januari yang lalu dia tiada kabar. Saya mulai khawatir dengan
kabarnya. Kami sudah berkawan sejak lama, sejak kami masih berumur belasan,
saat itu saya masih SMP. Kali ini saya tak rela jika harus hilang kontak dengan
seorang kawan yang sudah lama saya kenal. Walau pun kami belum pernah bertemu
sama sekali.
Namanya, sebut saja, Ivanov. Dia lahir, besar, dan tinggal
di Russia. Tepatnya di sebuah kota indah karya Ivan the Great, Saint
Petersburg. Saya pernah menceritakannya di blog sebelumnya. Jujur saja,
dalam dunia maya, dia adalah sahabat terbaik selain Elle dan Daniel. Kami
bercerita banyak hal. Tentang kehidupan masa sekolah, cita, cinta, ideologi,
hingga kepercayaan, walau pun ketika membicarakan kepercayaan berujung pada
pertikaian kecil. Tapi tak mengapa, kami sama-sama saling memahami dan
berbaikan satu sama lain tanpa adanya drama.
![]() |
Gambar yang dikirim olehnya |
Januari lalu, dia berkabar bahwa dia memutuskan untuk keluar
dari bangku kuliah dan bekerja di sebuah retail. Sedih memang. Saya benar-benar
merasa sedih dan terpukul. Saya hampir menangis. Sesak sekali dada saya membaca
pesannya. Walau pesannya biasa dan sama sekali tak meminta belas kasih, tapi
tetap, saya merasa terpukul. Kami berteman sejak kami masih sangat muda. Kami
saling bertukar cerita tentang mau apa kita saat kami beranjak dewasa. Kami
sama-sama tahu lika-liku perubahan cita-cita kami. Pun ditambah lagi saya tak
bisa membantu apa-apa. Dalam pesannya, dia bercerita bahwa dia mulai bekerja
sebagai kasir karena keadaan ekonomi yang tidak memungkinkan.
Sehari yang lalu, saya menerima pesannya. Dia bercerita
bahwa selama setahun ini dia bekerja sebagai kasir, dia akan segera naik posisi
dibagian room stock. Katanya, gajinya
tentu akan lebih besar bila dibandingkan dengan kasir. Dengan gajinya itu, dia
bisa membantu mencukupi kebutuhan keluarganya yang sedang terhimpit masalah
ekonomi. Sudah tak lagi dia menyesali jalan yang harus dia jalani. Hanya satu
yang dia lakukan: kerjakan apa yang ada sekarang dan jangan pernah menyesali
nasib. Ketika saya membaca pesan tersebut, apa yang saya rasakan sama seperti
sebelumnya: sedih dan terpukul. Itu saja. Mengapa kami tak bisa bersama-sama
lulus dari bangku perkuliahan? Yah… namanya hidup. Tak selalu mulus, bukan?
Terpisah dari hal tersebut, saya sangat menghargai
kejujurannya sebagai seorang teman dan saya belajar untuk menjadi apa adanya (salah satunya) dari dia. Bertahun-tahun saya mengalami dinamika
berteman yang hanya mengandalkan dunia maya. Ada yang datang, kemudian pergi
tak ada kabar. Ada yang bermulut besar (aduh, maaf,ya, katany kasar), ada pula
yang menutup-nutupi kehidupan aslinya hanya karena ingin terlihat perfect. Duh… sangat menjengkelkan. Saya sadar bahwa stay to be who you are is something difficult, sometimes. But, pretending just make yourself hurts.
Hidup memang harus berlanjut. Saya harus melanjutkan kuliah,
pun dia harus melanjutkan kehidupannya yang sekarang dengan pekerjaannya yang
sekarang. Cerita hidup kami mungkin tak seperti yang kami rencanakan di awal,
begitu indah dan penuh dengan optimisme. Tapi, pertemanan kami akan tetap indah. Akan selalu kami
jaga sekuat yang kami bisa.
Terima kasih teman, you taught me something: You just have
to act like who you really are no matter what happened. Tak usah menutupi
kekurangan. Tak usah menutupi keadaan. Teman akan selalu menjadi seorang teman,
a person who’ll always accompany you and accept you just like who you really are. Seperti kata Professor Snape, "As
always."
0 komentar