Ketika Tuhan Melarang untuk Berhenti

August 31, 2019, by Wulan Istri


Sudah hampir sebulan semenjak kejadian di Malaysia itu terjadi terjadi, saya masih tak habis pikir jua. Bisa-bisanya saya lolos dan berhasil pulang tanpa harus menunda kepulangan beberapa jam lagi atau bahkan hari berikutnya. Kejadian ini begitu unik, langka, dan unbelievable hingga rasanya sangat sulit untuk dilupakan.


Tanggal 31 Juli 2019 kemarin merupakan hari terakhir saya di Malaysia. Tiket kepulangan sudah di tangan, penerbangan dari maskapai terbaik Belanda, KLM Royal Dutch. Saya dengan senang hati memesan maskapai penerbangan tersebut karena sedang ada promo dan juga saya pernah berjanji pada diri saya sendiri bahwa saya harus mencoba naik KLM at least once in a life time. Alasannya sangat konyol, saya dulu pernah menjadikan Belanda sebagai negara pilihan untuk melanjutkan studi master. Harapan tersebut terkabul “Sebentar lagi saya akan naik KLM!” pikir saya kala itu.

Di hari terakhir tersebut, hanya saya saja yang tidak mengikuti kegiatan wisata hingga akhir. Teman-teman saya pergi ke Genting Highland, sedangkan saya akan stay di area Kuala Lumpur saja karena saya harus checkin di bandara sekitar pukul 15.40 sedangkan pesawat yang lain akan berangkat sekitar pukul 22.00. Setelah check out dari hotel, saya berpamitan kepada dosen dan teman-teman untuk berpisah terlebih dahulu (berpisah… tidak enak hehe). Saya segera melenggang meninggalkan bus karena sebenarnya tidak enak berpisah dengan mereka hanya karena saya egois (re:memesan tiket kepulangan sendiri).

Saya berjalan menuju jalan utama di area Bukit Bintang, kemudian naik MRT berpindah menuju Central Market dan Petaling Street. Saya bolak-balik Central Market-Petaling street berkali-kali  untuk melayani jastip. Saya kira jastip itu mudah. Ternyata cukup melelahkan untuk first trial. Apalagi cuaca di Kuala Lumpur saat itu cukup panas. Lengkap sudah.

Saya bukanlah tipe orang yang mudah mengatakan “tidak” pada keluarga atau bahkan teman. Oleh karenanya, saya rela bolak-balik dan muter-muter untuk mendapatkan barang titipan mereka. Hal inilah yang menyebabkan awal mula kekacauan hari tersebut. Saya sudah set waktu kapan harus balik ke hotel dan ambil koper kemudian pergi menuju bandara namun kenyataannya adalah saya tidak mengindahkan jadwal waktu tersebut. Alasan? Saya tidak ingin mengecewakan orang-orang yang sudah titip barang ke saya padahal the time had been run out! Kala itu saya berpikir, “Tidak mengapa, KLCC-KLIA 1 hanya setengah jam dengan menggunakan KLIA Express. Masih bisa ditangani.” pikir saya kala itu.

Saya mengalokasikan waktu satu jam untuk perjalanan dari Central Market-Bukit Bintang-KLCC-KLIA1. Saya sudah sedikit khawatir kalau-kalau saya telat check in (ini memang kebiasaan, selalu mepet. Sebelumnya juga sudah mengalami beberapa kali). Tangan saya sudah pegal membawa barang titipan yang cukup banyak. Entah apa yang terjadi, ketika transit di sebuah stasiun MRT, satu kantong plastik yang berisi jasa titip tertinggal di MRT! Saya panik! Saya langsung mengkalkulasi nilai dari barang-barang tersebut di otak. Hasilnya cukup banyak untuk ukuran saya pribadi.

Saya tidak tahu apa yang saya pikirkan saat itu tapi tiba-tiba saja saya sudah berada dalam MRT yang arahnya berlawanan. Alam bawah sadar saya memberi tahu saya mungkin saja saya bisa mendapatkan barang tersebut dengan melapor ke information center stasiun di stasiun tadi. Untung saja saya segera sadar. Logika saya berjalan, tak mungkin saya bisa mengejar MRT. Memangnya taksi, bisa dikejar? Pun saya akan lebih rugi jikalau saya ketinggalan pesawat dan mengelurakan biaya jutaan untuk membeli tiket yang baru. Turunlah saya di stasiun selanjutnya dan masuk kembali kedalam MRT ke arah Bukit Bintang. Nafas saya sudah tidak karuan. (jangan tertawa, ini sangat konyol) 


Sampailah saya di Bukit Bintang kemudian setengah lari menuju hotel. Melirik jarum jam, saya pikir saya tak punya waktu lagi untuk packing. Yang saya lakukan adalah membawa koper, ransel, dan kantong belanjaan sekaligus tanpa harus menatanya. Betapa kagetnya saya ketika mengetahui beratnya koper yang harus saya bawa. Saya tidak menyangka barang bawaan saya akan seberat ini. Ketika harus turun menuju MRT yang bertangga, saya kewalahan hingga akhirnya ada seorang laki-laki yang meraih koper saya dan membantu membawakannya sampai di lantai bawah. Baik sekali!

Sampai di Museum Negara, saya segera beralih menuju ke stasiun MRT KL Central yang ternyata cukup jauh! Saya ngos-ngosan dan pegal maksimal. Ketika membeli tiket KLIA Express, saya sedikit cemas campur pasrah karena saya tidak tahu pasti uang yang tersisa di dompet. Syukur Alhamdulillah! Uang saya pas untuk membeli tiket menuju bandara dengan sisa beberapa sen ringgit saja!

Kereta akan berangkat 15 menit lagi. Tentu saya tambah panik! Saya memanfaatkan waktu tersebut untuk menata barang bawaan saya. Barang-barang dari koper, tas, dan belanjaan saya keluarkan dan saya tata kembali. Tak peduli ada ibu-ibu yang melihat saya bermandi keringat dan ngos-ngosan sedang panik menata barang bawaan ke dalam koper dan tas. I think it was weird to tidy your stuffs at the station (not in the restroom!).

Ketika kereta datang, saya memilih tempat duduk di dekat pintu agar saya bisa langsung melompat luar ketika sudah tiba di bandara. Kala itu ponsel saya sudah dalam keadaan sekarat dan saya harus menyimpannya untuk checkin. Saya tidak mengecek kapan check-in KLM ditutup. Saya bertanya kepada seorang pria di dekat saja kalau saja dia tahu. Dia tidak tahu namun dia membantu saya mencarikan informasi lewat google. Sedikit menghibur saya. Saya menangis sekaligus menahan tangis di sepanjang perjalan. Saya bertekad untuk sampai bertemu ibu secepat yang saya bisa. Saya ingin segera ke rumah sakit. Saya ingin segera melihatnya. Saya menggerutu kenapa keretanya melaju pelan, padahal sebenarnya kereta melaju kencang. Kalkulasi penjumlahan besar uang yang harus saya keluarkan ketika ketinggalan pesawat sudah tergambar jelas di kepala. Saya mencoba mengiklhaskan dan menerima kejadian ini sebagai sebuah pelajaran. Saya menarik nafas dalam-dalam.

Sesampainya di bandara, saya segera mencari tempat chec-in untuk menyerahkan checked baggage. Yang terjadi? Sudah dapat ditebak, sudah tutup pemirsa! Saya menuju self-checkin printing karena sebelumnya saya sudah melakukan web chec-in dua haru yang lalu. “Your check-in gate is already closed. Do you still want to print it?” Sayu tekan “yes” sambil mengingatkan diri sendiri “Do your best till there no probability. You still have 0,00 something percent probability to fly in!”. Saya berlari menuju ruang check-in, petugas melihat boarding pass dan passport. Dalam keadaan berantakan, dua orang petugas yang mengecek saya berkata “I think you still have time. Choose the shortest queue in the immigration office! Just go!” Saya bersyukur. Berlarilah saya ke antrian imigrasi yang hanya ada dua antrian. Petugas imigrasi hanya memberikan komen singkat “You should do it earlier. Two hours before departure.” Saya sudah tidak bisa menjawab apa-apa selain sorry. Sangat lelah! Bandara ini luas sekali!

Saya melewati bagian imigrasi namun belum melihat pesawat yang sedang boarding. Setelah bertanya pada petugas, ternyata saya harus naik (semacam) kereta untuk menuju boarding room. “Apa-apaan ini?” Saya sudah mengutuk dalam hati. Bisa-bisanya saya tidak tahu hal ini. Saya pikir bandara KLIA 1 tidak ada bedanya dengan KLIA 2. Lagi-lagi saya menemukan orang baik di dalam kereta. Ada seorang pria yang sangat baik, dia memberikan petunjuk kepada saya dimana letak boarding gate saya tanpa saya minta.

Keluar dari kereta, saya langsung berlari menuju boarding gate. Saya benar-benar kehabisan tenaga saat itu. Saya merasa pening karena belum makan, saya merasa sudah tidak kuasa lagi berlari. Hampir saja saya meminta bantuan seorang berwajah India yang sedang duduk santai untuk membantu membawakan koper. Saya bernafas melalui mulut (sampai berbunyi ya Tuhan) dan menangis karena badan saya sudah remuk. Sudah ingin saya berhenti dan merobohkan diri ke lantai. Di titik terendah tersebut saya berpikir “Kenapa saya selalu ingin menyenangkan orang lain sampai mengorbankan diri saya sendiri? Tak seharusnya saya membelikan barang titipan mereka yang tidakk titip sejak awal. Tak seharusnya saya menawarkan membawakan barang teman saya yang hampir tiga kilo beratnya!” Saya memaki diri saya sendiri dan berjanji bahwa saya tidak akan membantu menawarkan bantuan untuk urusan menitip barang! Saya juga berpikir, mungkin ini salah satu peringatan dari Tuhan kalau Dia tidak suka aku jalan-jalan seperti ini. Terdengar final call for KLM pessanger dari speaker bandara. Saya terkejut! I still have the 0,00 something percent of the probability! God save me!

Sampai di dalam boarding gate, koper saya diperiksa. Tiga buah Freeman disita karena isinya melebihi 100 ml. Saya ingat betul, itu titipan teman dan kakak saya. Saya ingat bahwa saya sudah kehilangan barang saya di MRT dan saya tak ingin kehilangan kembali. Dalam posisi yang masih down, saya merajuk “I have 23 kg checked baggage, actually. But the counter was closed.” Saya menangis seperti anak kecil di depan petugas, tidak tahu juga kenapa. “Alright, I can do nothing. Just let them go.” I packed my baggage again and walked into the plane.
Pemeriksaan terakhir menuju pesawat merupakan pemeriksaan paspor dan boarding pass. Saat giliran saya, petugas mencegat saya karena bawaan kabin saya terlalu banyak (meskipun kalau ditotal tidak sampai 13 kg juga). 

Kalimat yang saya ucapkan pertama kali adalah “Sorry, I came late.
“It’s okay. The plane is still boarding.” Petugas pertama wanita menjawab sambil tersenyum
 “No, she should take it into checked baggage.” Katanya kepada petugas lelaki di sampingnya ketika melihat ransel dan koper saya.
“Uhm, sorry, actually I have 23 kg for my checked baggage but I couldn’t. The counter was closed.” Saya menjelaskan.
“Yes, sure you have. But, I think the cabin space is almost full. So, we will take yours into the checked baggage.” Kejutan!
“Is that means I can bring liquid with more than 100 ml?”
“Sure, you can.”

Saya tidak tahu bagaimana kejadiannya tapi saya diizinkan untuk mengambil Freeman yang telah disita oleh petugas tadi. Saya berlari menuju meja petugas dan mereka menjawab “No, Ma’am, someone from KLM should come along with you. Saya langsung berlari dan menjelaskan kepada petugas wanita yang baik hati tadi. Dia meminta tolong petugas pria yang berada di sampingnya untuk menemani saya mengambil barang dan tentu saja, sekaligus membawakan koer saya! Kami berjalan cepat mengejar waktu and yash! Saya mendapatkan Freeman saya kembali! Petugas mempersilakan saya langsung menuju pesawat dan dia yang akan mengantarnya langsung menuju petugas bagasi. Baik hati mereka!

Saya memutuskan untuk naik Kereta Api Bandara sesampai di CGK. Ponsel saya berdering ketika saya dalam perjalanan kereta menuju New Sudirman. Panggilan masuk dari salah satu teman sekelas yang masih di Kuala Lumpur. 

“Halo, Wulan. Kamu tadi caranya masuk waktu telat check in gimana?”
“Aku Cuma masuk aja, Nuk. Aku ngeprint boarding pass sendiri trus masuk. Coba gitu.”

Saya was-was dan mulai khawatir. Tak berapa lama, sebuah notif pesan grup masuk. Isinya menyatakan bahwa mereka terlambat check-in dan tidak bisa boarding. Ten people miss their flight! Saya tambah lemas. The bought new ticket for flight the other next day. Saya terpukul. Saya mencoba rewind kejadian yang saya alami tadi sore. Saya baru check-in sekitar h-15 menit sebelum jadwal keberangkatan! Benar, Anda tak salah lihat. Sebelum keberangkatan. Saya ingat betul, ketika check-in ditutup, saya masih berada di dalam kereta bandara dari Kuala Lumpur menuju KLIA 1. Sedangkan teman-teman saya, mereka hanya telat check-in sekitar 30 menitan. Pun penumpang yang lain belum ada sama sekali yang boarding.

Saya jadi ingat. Ketika saya menangis dan hampir kehabisan nafas ketika berlari, saya mengutuk diri untuk tidak membantu orang lain kalau saya benar-benar ketinggalan pesawat. Pun, saya menduga bahwa mungkin saja Allah kurang suka kalau Wulan jalan-jalan seperti sekarang. Ternyata Allah berkata lain. Allah menginkan saya untuk tetap membantu orang lain. Allah masih menginginkan saya untuk tidak berhenti dan tetap bepergian, jalan-jalan, dan menemukan pengalaman beserta orang-orang baik. Saya jadi ingat, hampir tiap kali bepergian dengan pesawat, hampir selalu saya ketinggalan (entah itu hampir telat check-in atau kejadian seperti tadi). Tapi saya selalu ingat, hingga detik ini, Allah tidak pernah mengizinkan pesawat-pesawat itu terbang tanpa saya. Haru sekali. Saya bersyukur.



Kembali lagi mengingat awal perjalanan ke Malaysia. Untuk menuju Kuala Lumpur, saya memilih naik bus dari Singapura. Selain murah, jamnya lebih pas dengan agenda saya dibandingkan dengan kereta. Kebetulan saya belum membeli tiket secara online karena saya kurang percaya dengan bus. Ketika saya ingin membeli tiket, saya baru sadar bahwa uang saya tinggal 10 dolar, sedangkan harga tiketnya 15 SGD. Saya bertanya apakah di dekat situ ada money changer dan ternyata tidak. Pun saya sepertinya harus berjalan cukup jauh untuk mencari ATM karena kebetulan sudah larut, jadi ATM yang berada di pusat perbelanjaan juga sudah ditutup. Entah kenapa insting saya membuat saya bertanya setengah mengumumkan “Is there any Indonesian?” dan benar saja, ada yang mengangkat tangan! “Mas, Mas masih punya uang 5 dollar? Saya boleh pinjam? Langsung saya ganti sekarang, tapi pakai rupiah nggak papa?” Deal! It was miracle!

Usut punya usut, Masnya merupakan rombongan dari Bali. Mereka jalan-jalan berempat. Kami satu bus dan sempat ngobrol sedikit. Sesampainya di kantor imigrasi Malaysia, saya langsung berlari agar mendapatkan stampel lebih cepat. Hasil research mengatakan bahwa telah terjadi beberapa kali kejadian penumpang ditinggal oleh bus karena terlalu lama. Setelah saya sampai di bus, supir berkata pada saya dengan bahasa yang saya tidak mengerti. Entah dialek Malaysia bagian mana saya tak tahu. Melihat saya diam, supir menunjuk-nunjuk kea rah luar. Saya keluar dan melihat semua orang membawa kopernya. Yah! Koper saya entah dimana! Saya berlari menuju tempat bus menurunkan kami. Saya melihat dari kejauhan, Rombongan Mas-Mas dari Bali membawakan koper saya juga. Aman!

Selanjutnya, saya bertemu dengan dokter Cham, teman lama yang karena ada suatu hal akhirnya kami bisa bertemu kembali. Tahu saya ingin melihat Twin Tower di malam hari dan tak tega membiarkan saya jalan sendirian di malam hari, saya dipertemukan dengan orang tuanya dan diantarkan ke KLCC oleh Mama Papanya!

Tak hanya itu, saya merasa pusing dan memprediksi bahwa sebentar lagi saya akan jatuh sakit. Saya memutuskan untuk tak turun dari bus ketika teman yang lain berbelanja di daerah Petaling Street. Siapa sangka, Pak Supirnya menemani saya dan mengajak saya ngobrol ngalor-ngidul dan ditraktir es cendol durian! (Kalau saya tetap tanpa durian!) Setelah Pak Supir mengetahui bahwa ini kali kedua saya di Malaysia, dia memberikan beberapa rekomendasi tempat wisata untuk dikunjungi. Mungkin dia kecewa menyayangkan juga kalau besok tidak ikut ke Genting Highland. Keesokan harinya, setelah berpamitan dengan teman sekelas, dosen, tour leader dan Pak Supir, saya melenggang menuju Stasiun MRT sambil melambaikan tangan.  Sesampai di pintu masuk, seorang pria memberi tahu saya kalau ada yang memanggil saya. Saya berbalik arah lagi. Pak Supir memanggil saya dari tadi ternyata. “Wulan, boleh saya minta nomor telepon? Kalau ke Malaysia lagi dan ada apa-apa, hubungi Bapak, ya?” saya tersenyum dan mengiyakan. Sesampai di Indonesia, pesan masuk “Kalau Wulan mau ke Batu Cave, Genting atau mana, bilang Bapak. Bapak bisa antar Wulan kemana saja.”

Malaysia selalu memberikan saya cerita istimewa. Kebaikan dan kejutan yang saya terima di sini memberikan saya banyak hal untuk direnungkan. Tak ada alasan untuk tak kembali lagi ke Malaysia.
Postingan ini mungkin saja merupakan postingan terpanjang di blog ini. Saya senang merampungkannya setelah tertunda berbagai aktivitas. Pun susunan kalimatnya juga tak tersusun rapi sepertinya, hanya ala kadarnya. Tapi saya harus menyimpan cerita ini dan membagikannya. Dari awal hingga akhir saya selalu berfokus pada permasalahan yang saya hadapi. Memang itulah yang ingin saya tekankan pada postingan ini. Saya mendapatkan masalah yang hampir saja mustahil untuk saya hadapi. Tapi Tuhan tak membiarkan semua itu terjadi. Saya diberikan kejutan lewat orang-orang baik untuk membantu menyelesaikan permasalahan tersebut. Berusahalah hingga kemungkinan itu benar-benar menjadi 0%. Selain itu, saya merasa bahwa mungkin saja ketika saya menawarkan bantuan penitipan barang gratis di koper saya itu adalah amalan kecil yang membuat saya tidak ketinggalan pesawat. Mungkin akan beda ceritanya ketika saya tak menawarkan bantuan.  

Saya senang akhirnya saya bisa sampai di Jakarta dengan selamat, tidak ketinggalan pesawat, dan tentunya bisa segera bertemu dengan Ibu. Kabar terakhir di Malaysia, Ibu dipindah ke ruang ICU pasca operasi. Jelas saya ingin cepat-cepat pulang. Dan yeah, saya langsung menuju ke rumah sakit dengan koper layaknya ke hotel.

Closing… Apapun yang terjadi, tetaplah membantu orang lain. Tetaplah berbuat kebaikan untuk orang lain. Jangan pernah berhenti untuk berbuat baik, karena sebenarnya ketika kita berbuat baik untuk orang lain, kita sedang berbuat baik untuk diri kita sendiri.

"If only you knew how He manages your affairs, your heart would melt out of love for HimImam Shafiee

0 komentar

Instagram

Featured Post

Hampa

Aku berlari dan terus berlari  Rasanya lelah namun aku tak bisa berhenti  Ku berlari tanpa arah yang pasti  Tak tahu pula apa yang tengah ku...

Contact Form

Name

Email *

Message *