Belajar dari Seorang Kartini
August 09, 2019, by Wulan Istri
Disclaimer: Tulisan ini telah dibuat beberapa bulan yang lalu namun baru sempat diupload sekarang.
Sungguh hari yang mengharu-biru. Hari ini aku berhasil
merampungkan Habis Gelap Terbitlah Terang dari R.A Kartini. Masih aku diam
termenung. Malam ini ditemani segelas teh hangat yang makin lama makin dingin
saja. Perasaanku campur aduk masih memikirkan isi buku tersebut. Rasa-rasanya
aku menemukan diriku ada pada sosoknya. Aku jatuh cinta pada pemikirannya, pada
pola pikirnya yang maju. Untuk ukuran seorang gadis yang hidup pada zaman itu,
tentulah ia tergolong maju bahkan untuk ukuran zaman modern ini. Sangat aku
ingin mengenalnya lebih jauh.
Ketika membaca surat-suratnya yang meluapkan seluruh
cita-cita dan semangatnya yang berkobar, rasanya aku melihat diriku sendiri. Acapkali
aku merasa bahwa aku sepemikiran dengannya ketika aku membaca surat-suratnya.
Jauh sebelum aku membaca surat-suratnya, aku telah berkeinginan untuk ikut
andil dalam mencerdaskan kehidupan bangsa. Kami memeliki cita-cita yang sama,
semangat pun sama. Hanya saja, kami hidup pada waktu yang tak bersamaan dan
dalam kondisi yang berbeda pula. Pun keteguhan hatinya tak bisa kukalahkan.
Tidak pernah terbayangkan sebelumnya jikalau apa yang
dilakukannya ialah apa yang kita sebut sekarang ini dengan pemberdayaan
masyarakat. Semangatnya tak pernah padam untuk membela kaumnya, pendidikan
untuk kaum wanita. Tak pernah sedikit pun ia merasa gentar ketika dicemooh dan
ditentang kehendaknya itu oleh para petinggi kekuasaan karena dinilai melanggar
adat. Didirikannya sekolah untuk kaum wanita yang semula hanya mempunyai satu
murid, kemudian tiga murid dan akhirnya terus bertambah. Sudilah pula dia
mengembangkan dan memajukan kerajinan ukir kayu, kulit penyu serta tanduk
semata-mata untuk mensejahterakan rakyatnya.
Menjadi wanita haruslah mandiri. Bukan berarti agar kita
lebih unggul daripada pria, tidak. Melainkan agar kita dapat menjadi pendamping
mereka yang cakap dan terdidik. Karena pada dasarnya alam telah mentakdirkan
kita untuk menjadi seorang ibu, maka wajiblah kita untuk belajar supaya kelak
dapat memberikan ajaran yang baik kepada anak-cucu kita kelak. Tak hanya akal
yang perlu dipertajam, budi pekerti perlu juga dibentuk dan diperhalus, begitu
pesannya.
Aku teringat akan ucapanku yang selalu aku singgungkan
apabila seorang teman bertanya padaku perihal sosok suami seperti apa yang aku
idamkan. Ketika ditanya, aku selalu menjawab “Yang penting dia akan selalu
mendukung cita-citaku dan ridho.” Sama seperti R.A Kartini yang menerima
suaminya karena ia mendukung cita-citanya. Aku sangatlah setuju. Aku ingin
kelak akan tetap menjadi seorang relawan dan penggerak di masyarakat. Aku
selalu ingin suamiku mengizinkanku membuka taman baca dan perpustakaan di
rumah, merelakan sebagian dari ruangan di rumah kami untuk dijadikan markas
komunitas maupun gerakan sosial pemuda, mendukungku untuk mendidik anak-anak
yang membutuhkan serta terjun langsung ke tengah-tengah masyarakat kapan pun
itu tanpa pernah lalai akan kewajiban utamaku.
Tulisan ini dibuat
asal-asalan dengan editing ala kadarnya. Tak mengapa bila ini dapat menjadi
pengingat ketika hati sedang gelisah. Dan setelah saya baca lebih jauh, tulisan ini berinti: Ingin memiliki suami yang mendukung cita-cita istrinya seperti halnya suami R.A Kartini. Hehehe
0 komentar