Penerbangan PP Jakarta-Singapura: Saksi Bisu Sebuah Komitmen
August 13, 2019, by Wulan IstriPertengahan Juli 2019
“Halo Wulan, tanggal 28 jadi bisa, kan?” Pesan dari seorang kenalan yang kuliah di Singapura masuk. Sebut saja namanya dengan Tim. Pesan tersebut dikirim olehnya melalui facebook messanger pada tanggal 26 Agustus, tepat sehari sebelum saya berangkat ke Singapura. Kebetulan saya sudah membeli tiket penerbangan ke Singapura hampir dua bulan sebelum keberangkatan dan mendapatkan harga promo yang (menurut saya) cukup fantastik. Percakapan berlanjut keesokan harinya hingga tercapailah sebuah kesepakatan: Dia akan menjemput saya di hostel tempat saya menginap sekitar pukul 11.00 AM! Yeiy! Akhirnya saya akan segera bertemu dengan salah seorang kenalan!
Flashback
Akhir Mei 2019
Halo Tim, sepertinya aku bakal ke Singapore sehari akhir Juli. If you don’t mind dan misal masih di Singapura, pengen ketemu barang 15-30 menit.
Let me know if you don’t mind, kalau tidak, just ignore this message, ya. Thanks
Pesan tersebut saya kirim pada akhir bulan Mei. Pesan itulah yang
pertama kali mengawali obrolan kami. Seperti yang (mungkin) kalian tahu, saya
dan Tim belum pernah bertemu sama sekali kala itu. Kami hanya menjalin
komunikasi lewat media sosial, Facebook lebih tepatnya. Itupun tidak intens. Sebelumnya, kami sudah hampir dua tahun tidak berkomunikasi. Saya mengenalnya saat
saya masih SMA. Saat itu saya ngefan karena
dia anak olimpiade, dong! Haha lucu,
sih. Biasalah… namanya juga ABG. Pun saat itu tipe-tipe idola saya adalah deretan
anak olimpiade.
Garden by The Bay |
Jewel |
Tak disangka, Tim membalas pesan saya and he said that he was more than delighted to
tour me around NUS! Yaps! Memang saya ingin sekali bisa melihat National
University of Singapore, salah satu universitas papan wahid di Asia. Betapa senangnya
saya waktu itu karena saya akan segera melihat Singapura, negara yang ingin
saya lihat sejak SMP. Pun kalau jadi, saya bisa bertemu dengan Tim!
Once he said “yes” to accompany me, kami kemudian menjalin
komunikasi untuk memastikan apakah dia akan berada di Singapura pada hari
kunjungan saya ke Singapura pada tanggal 27-28 Agustus. Maklum, hari kunjungan saya ke Singapura kurang
tepat dikarenakan pada masa itu masih merupakan masa liburan NUS. Awal Juli dia
berjanji akan mengabari lagi dan the result is: he said
he will be already in Singapore on those date!
***
Saya kesiangan karena insiden semalam. Pesawat saya delay dan saya kehabisan MRT. Akhirnya saya menggunakan bus. Pun saya hanya sampai di Bhinsan dan harus melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki sekaligus naik Grab! Jam 08.00 AM saya
baru bangun dan langsung kelabakan
untuk check ponsel. Saya buru-buru check inbox facebook dan dyang! Benar saja! Tim mengirim pesan bahwa dia akan menjemput
lebih awal dari jam yang telah kami sepakatin sebelumnya. Saya bersyukur sekali
karena saat itu saya sedang mendapatkan tamu jadi saya langsung bisa mandi
tanpa sholat terlebih dahulu. Tak lupa saya sarapan dan siap-siap
check out sekalian. Semuanya saya
kerjakan dengan tergesa-gesa. Sama sekali saya tidak mau terlambat bertemu orang
di negeri ini. Dalam bayangan saya “Budaya Singapura pasti tepat waktu.”
Hahaha!
Saya menitipkan koper kepada hostel keepernya kemudian menunggu Tim di teras. Selang 15 menitan, Tim datang and
yeiy! We started our journey. He explained me where we are going to visit
briefly. Saat itu saya melihat ada yang janggal. Di tasnya masih tergantung
keterangan hand carry baggage dari
salah satu maskapai penerbangan. Saya sempat bertanya, “Tim, kamu dari bandara?” karena
saya tahu dia seharusnya sudah ada di Singapura. Dia tidak mengelak kalau dia
baru saja dari bandara. Saat saya tanya lebih jauh, dia menolak dengan halus
untuk menjawabnya saat itu juga dan akan bercerita nanti. Perasaanku mulai tidak enak. Baiklah.
Kami menghabiskan siang itu dengan berkeliling Singapura.
Saya tidak request kemana-mana selain
mengunjungi NUS and after all, I just
followed him ke mana pun yang dia sarankan. Kami mengunjungi kampus
NUS di Kent Ridge, menyusuri George Park, asrama, melewati NUH, menyusuri
fakultas teknik hingga hall. Setelah itu kami makan siang di Harbour Front dan
melanjutkan ke Garden by The Bay. Tak mau rugi, kami singgah ke Marina by
Sands. Dan konyolnya, kami mlipir ke kasino yang ada di dalam gedung Marina by
Sands! Hahaha lumayan dapat kopi gratis, di dalam sejuk pula! Perjalanan pun
dilanjutkan ke Sentosa Island. Singkat cerita kami menghabiskan waktu bermain
Luge and Skyline. (Kapan-kapan lah ya, kalau mau nanti saya cerita tentang
tempat-tempat yang saya kunjungi di tulisan terpisah karena takut kalau
ditulis di sini jadi kepanjangan)
NUS |
NUS |
Sore hari sekitar jam 06.00 PM, kami memutuskan untuk
duduk-duduk santai di pantai sambil menikmati senja. Hanya duduk santai dan
ngobrol ngalor-ngidul sambil ditemani
dengan jedag-jedug-nya bunyi musik dari
kafe di yang terletak di belakang tempat kami duduk. Jujur, saya cukup menyukai pantai
tersebut dan kalau ada kesempatan, saya akan berkunjung ke sana kembali!
“Oh ya, Wulan. Aku masih hutang cerita sama kamu. Tadi, yang
tentang aku dari bandara.” Saya menoleh ke arahnya. Saya mencoba untuk fokus mendengarkannya
sambil menyiapkan hati karena firasat saya sudah tak enak sejak pagi tadi. Dia
pun menjelaskan bahwa memang rencananya dia akan berada di Singapura sejak
tanggal 24 Agustus ini. Tapi karena ada suatu kegiatan di yayasan, maka ia
memutuskan untuk membantu kegiatan tersebut sebagai salah satu bentuk balas
budi seorang alumni. Tinggalah dia di Jakarta dan tidak jadi berangkat ke
Singapura pada tanggal yang telah direncanakan sebelumnya.
“Tapi aku kan udah janji sama kamu sekitar sebulan yang lalu…”
Deg. Dada saya sudah mulai agak sesak “jadi aku ke sini tadi pagi.” Saya
tercekat. Saya berpikir, "Berarti dia ke sini cuma gara-gara aku, dong?" Ketika saya tanya apakah dia ada kegiatan di sini dan akan tidur di dorm, he answered that he didn’t have any agenda in campus and would be back
to Jakarta soon esok harinya pada siang hari. Surprisingly, dia tidak bisa tidur di dorm karena masih masa liburan. He
ought to looking for hostel. So sad.
“Kok kamu nggak bilang? Kan kita bisa ketemuan di Jakarta?”
Saya bertanya dengan nada sedikit menuntut penjelasan. Dia beralasan bahwa
karena dia sudah berjanji akan menemani saya jalan-jalan di Singapura. Saat itu
saya benar-benar sudah merasa sesak. Saya ingin menangis. Saya diam dan
memalingkan muka. Masih ingat betul saat itu saya memalingkan muka menghadap ke
arah pantai sambil menjaga agar air mata tidak jatuh. Sejujurnya saya sudah menangis saat itu.
Kami sama-sama diam.
Kami sama-sama diam.
Hening beberapa saat. Cukup lama.
“Kok, Wulan jadi ‘beda’
setelah aku cerita?” Tim membuka percakapan kembali.
“Nggak, kok. Nggak beda.” Ini adalah jawaban terkonyol dan
terbodoh pada hari tersebut. Pun pasti Tim tahu kalau jawaban tersebut
merupakan jawaban yang tak jujur. Bagaimana saya bisa bersikap biasa saja
ketika seseorang rela terbang dari Jakarta ke Singapura pulang pergi hanya
untuk memenuhi janjinya pada saya yang mana sejujurnya kurang penting. Saya merasa
acara jalan-jalan saya merupakan acara pribadi yang tidak penting.
He knew that I felt
guilty. “Udahlah gausah dipikirin. Orang aku juga udah di sini.” Tim menghibur
saya untuk biasa saja yang mana hal tersebut merupakan salah satu hal yang
paling susah untuk dilakukan di saat-saat seperti itu. Dia bilang kalau dia
tidak ingin kehilangan kepercayaan dari seseorang. Pula dia sedang belajar
untuk selalu menepati janji yang telah dia perbuat. He told me his experience with his professor. Tidak peduli seberapa
susahnya untuk meluangkan waktu dan tenaga, tak peduli seberapa banyak uang
yang akan ia keluarkan, if he already
committed to something, he would try the
best to fulfil the commitment. Salah satunya janji kepada saya untuk
menemani jalan-jalan.
Saya lagi-lagi terdiam. Di satu sisi saya terharu dan di
lain sisi saya merasa tertampar. Saya
terharu, bahagia sekaligus bersyukur karena Tim sudah mengorbankan banyak
tenaga, waktu, fikiran, hingga uang untuk memenuhi janji bertemu dengan saya.
Bagi saya, perjalan pulang-pergi Jakarta-Singapura bukanlah sesuatu yang bisa
dianggap enteng. Janji pulang ke Sukoharjo dari Semarang saja sering saya
batalkan karena ada acara mendadak di Semarang, so I think CGK-SG is not a ‘small’ thing. Saya sangatlah bersyukur
karena dia percaya pada saya yang bukanlah siapa-siapanya. Jika dipikir-pikir,
kami belum pernah bertemu. Pun saya hanyalah penggemar dia sewaktu SMA. Mana
ada orang yang mau berkorban banyak untuk seseorang yang belum Anda kenal baik?
Sebenarnya dia mudah saja untuk membatalkan janji dengan saya tersebut dengan
berbagai alasan. But he didn’t do that.
Saya jadi rewind
ingatan tentang membatalkan janji. Berapa banyak janji yang telah saya batalkan
karena saya ada acara mendadak? Berapa banyak janji yang saya batalkan karena
uang saya menipis ketika di Semarang? Berapa banyak janji yang menjadi wacana
hanya karena alasan ‘tak ada waktu dan uang’? Alasan klasik yang biasa didengar
dalam lingkaran pertemanan saya. Sejak saat itu, saya mulai berjanji pada diri
saya sendiri bahwa saya juga akan berusaha memegang komitmen yang saya pegang.
Pula saya akan belajar untuk say no
untuk hal-hal yang sekiranya saya tidak akan bisa menyanggupi. Benar kata Tim,
rasanya nggak enak kalau orang yang sudah berjanji sama kita membatalkan janji
tersebut. So, say no if you think that
you are going to not able to do that daripada nanti bilang “tidak bisa”
menjelang hari H temu atau kegiatan apa pun itu.
Setelah kejadian tersebut, saya tidak bisa tidur selama perjalanan darat dari Singapore ke Kuala Lumpur. Saya hanya tidur sekitar 1,5 jaman saja. Pun kalau tiba-tiba ingat kejadian siang tersebut, saya menangis di dalam bus. Beruntung saya mendapakan kursi yang one seat jadi tak terlalu malu. Selama tiga hari di Kuala Lumpur pun perut saya masih terasa mual hebat ketika teringat kejadian itu lagi. Kejadian tersebut benar-benar membuat saya shock.
Setelah kejadian tersebut, saya tidak bisa tidur selama perjalanan darat dari Singapore ke Kuala Lumpur. Saya hanya tidur sekitar 1,5 jaman saja. Pun kalau tiba-tiba ingat kejadian siang tersebut, saya menangis di dalam bus. Beruntung saya mendapakan kursi yang one seat jadi tak terlalu malu. Selama tiga hari di Kuala Lumpur pun perut saya masih terasa mual hebat ketika teringat kejadian itu lagi. Kejadian tersebut benar-benar membuat saya shock.
Terima kasih banyak ya, Tim, sudah berbagi pelajaran yang
amat berharga. Setelah kejadian tersebut, kamu sudah bukan lagi seorang kenalan, melainkan seorang teman. Kamu pernah bilang, kalau ada pelajaran, harapannya pelajaran
tersebut nggak berhenti di Wulan saja, I
should spread it to everyone. Nah, this blog post is dedicated to everyone who eager
to learn from experience that I get.
Saya belajar banyak dari kejadian tersebut. Benar-benar
banyak. Saya bersyukur sekaligus bahagia. Sangat bersyukur. Sangat bahagia. Sekali lagi, terima kasih, Tim!
0 komentar