Rabu, 15 Agustus 2018. Pukul 22.10 WIB. Sembari menunggu pesanan Go-*** datang, saya menyalami Arifin, Zikin, Mba Dewi dan Mas Supri satu per satu. Saya sangat berterima kasih kepada mereka dan berpesan untuk tidak melupakan saya walaupun hanya kenal sebentar. Sebenarnya saya masih ingin ngobrol dengan mereka hanya saja saya harus segera ke stasiun. Sangat segera. Saya belum mencetak tiket sedangkan di eTiket tertera tulisan yang menyatakan harus mencetak tiket paling lambat H-1 jam sebelum keberangkatan. Mereka mengantarkan dan menemani saya hingga Go-*** datang walaupun saya sudah bilang “Aku berani, ya, Mbak, Mas, Dik. Beneran, kalian pulang duluan aja.” Mereka tetap ingin menemani...
Pulau Iloilo sepertinya sudah terlihat. Sangat hijau! Hati saya gembira. Bayangan mengenai kota yang masih asri terbayang. Bosan saya dengan kota tanpa pohon, Semarang misalnya. Saya mengimpikan kota yang asri dan tidak panas. Dari atas perumahan penduduk terlihat tidak sebegitu padat seperti di Manila. Pesawat mendarat di atas landasan yang dikelilingi dengan lahan yang hijau. Saya girang bukan main tak sabar segera melihat-lihat kotanya, jika ada waktu. Kata teman saya, Iloilo City merupakan City of Love. Mendarat di Ililo Saya antri untuk mengambil koper kemudian bergegas ke kamar mandi untuk berganti pakaian. Kenapa ganti pakaian? Karena saya harus segera ke tempat acara langsung...
Saya masuk menuju terminal keberangkatan domestik. Masih sepuluh jam lagi, saya mencari kursi yang senggang. Seorang perempuan dengan rambut dikuncir bon sedang duduk menonton film. Saya taksir usianya tidak jauh berbeda dengan saya. Kursi di sebelahnya senggang, duduklah saya di sampingnya. Saya tersenyum padanya dan dibalas. Tergoda dengan wifi, saya pun ikutan membuka netbook. Nahas. Koneksinya tidak berjalan begitu baik di laptop saya. Saya duduk dan membiarkan laptop saya terbuka. Saya ingat kalau saya belum sholat sejak ashar. Saya mengambil mukena dan berinisiatif mencari mushola. Karena sedikit ribet jika harus membawa tas maka saya menitipkan tas dan netbook saya yang masih terbuka. “I...
Saya duduk di ruang tunggu Bandara Soekarno-Hatta sambil menunggu check in yang masih sekitar dua jam lagi. Sembari menunggu, saya sibuk mencari dimana mushola dan ATM center berada. Karena tak bisa menemukan ATM yang lengkap (re: agar tidak terkena biaya administrasi) akhirnya saya duduk-duduk sambil wifian. Uhm… tak hanya wifian saja sebenarnya tapi saya juga sempat berfoto dengan gambar Pak Jokowi. Mendekati waktu check in saya seliweran mencari info penerbangan. Kok gak ada ya penerbangannya? Semuanya kok ke Malaysia dan negara lain. Oh mungkin belum buka. Saya mencoba positive thinking dan duduk santai kembali. 15 menit lagi menjelang pukul 11.00 saya gusar karena...
Hari terakhir menjadi panitia ospek begitu hambar. Bukan. Bukan karena acaranya yang kurang seru namun hati saya saja yang gelisah. Jikalau saya didanai fakultas, saya seharusnya berangkat ke Jakarta besok. Sayang sekali hingga sekarang kabar gembira belum pula muncul. Hampir berminggu-minggu ini saya bolak balik dekanat dan rektorat. Mondar-mandir dari bagian ini ke bagian itu. Tapi tak apa karena memang prosesnya seperti itu. Sore hari sekitar jam dua saya chat kakak saya, saya bercerita tentang kegelisahan saya mengenai keberangkatan besok. Kakak saya menjawab. “Kalau udah rejeki inshaallah ada. Tetep dicoba aja, nduk, walaupun hari ini terakhir. Siapa tahu rejekimu emang di akhir.” Saya...