Menemukan Kebaikan di Kota Cinta

September 30, 2018, by Wulan Istri

Pulau Iloilo sepertinya sudah terlihat. Sangat hijau! Hati saya gembira. Bayangan mengenai kota yang masih asri terbayang. Bosan saya dengan kota tanpa pohon, Semarang misalnya. Saya mengimpikan kota yang asri dan tidak panas. Dari atas perumahan penduduk terlihat tidak sebegitu padat seperti di Manila. Pesawat mendarat di atas landasan yang dikelilingi dengan lahan yang hijau. Saya girang bukan main tak sabar segera melihat-lihat kotanya, jika ada waktu. Kata teman saya, Iloilo City merupakan City of Love.
Mendarat di Ililo

Saya antri untuk mengambil koper kemudian bergegas ke kamar mandi untuk berganti pakaian. Kenapa ganti pakaian? Karena saya harus segera ke tempat acara langsung yang akan dimulai pukul 08.00 waktu setempat. Setelah dandan dikit biar gak kucel saya segera menyalakan ponsel dan wifi untuk mencari tahu informasi mengenai transportasi di Bandara Iloilo. Dasar perjalanan kali ini saya memang tidak prepare apa pun. Saya lihat ada ruang informasi untuk turis dan pasti ada informasi mengenai kendaraan. Sayang, belum buka karena masih terlalu pagi. Bertanya ke petugas bandara saya diarahkan untuk menyeberang dan menggunakan shuttle bus. Akhirnya saya nurut. 

Sampai di tengah zebra cross saya sudah dicegat sama mbak-mba, dengan bahasa Tagalog, mungkin. Saya bilang, “I am an Indonesian.” Tahu saya tidak bisa berbahasa Filipino, ia langsung mengubah bahasanya menjadi English. 

“Okay, Mam, where will you go?”
“Iloilo Convention Center.”
“Taxi, Mam? 500 Peso.”

Gilak! Mahal amat! Saya merasa miris karena saya hanya punya 1000 peso. 

“No, I think I am gonna take shuttle bus. Is there any.”
“Yes, Mam. But it will take longer time. You have to wait till the passengers are full.”
“What time?”
“Usually in 09.00.”

Lah, ini lebih gila padahal saya harus sampai di sana sebelum jam 08.00. Karena tak ingin ambil risiko, akhirnya saya memutuskan untuk naik taksi. Tentu saya nawar terlebih daulu, bukan Wulan kalau tidak nawar. 

“How if 300?”
“No, Mam. 500 peso.”
“300.”
“450, Mam.”
“300.”
“400, Mam.”
“300 peso.”
Dia sedikit berteriak ke salah satu supir taksi dan akhirnya Bapaknya mengangguk.
“Okay, 300 peso.”

Asshiiap! Saya akhirnya bisa hemat! Usut punya usut sepertinya saya dibodohi karena kata kenalan saya, hampir setiap jam shuttle bus beroperasi. Tapi saya juga patut berbangga karena kata kenalan saya pula ongkos taksi saya termasuk murah dan saya pandai menawar. Haha. Sedikit besar kepala saya. Bapak drivernya tidak cukup banyak bicara namun cukup bisa menggunakan Bahasa Inggris jadi kami berbicara dalam bahasa inggris. Keluar dari area bandara saya melihat sebuah lahan besar yang ada sapinya. I feel like in New Zealand! 

Ternyata jarak dari Bandara ke Iloilo Convention Center hanya membutuhkan waktu sekitar 30 menit saja. Jadi saya datang di sana cukup awal. Beberapa panitia masih terlihat mendekor tulisan #IPYFPH2018 dan beberapa orang foto-foto di depan welcome delegates. Di antara peserta, saya saja yang menggunakan hijab. Belum bisa masuk, saya duduk di depan bangunan dengan koper saya. Saya hanya memandangi orang yang lewat dan tersenyum ke arah mereka. 

Seorang Ilongo (re: orang-orang Iloilo) menyapa saya dala bahasa yang saya tak mengerti artinya. “I’m sorry. I don’t speak Tagalog.”
“Oh, where are you from?”
“Indonesia.”
Mbaknya sedikit kaget namun akhirnya tetap mengajak ngobrol. Pertanyaannya klasik seputar saya pergi ke sini dengan siapa, kapan sampai di sini dan dimana saya akan menginap. Sama seperti Ms. Lily, dia pun juga kaget.
“Do you want to stay in my house? It’s not far from here and I work in Provincial Population Office.”
“No, I am sorry but someone has booked a room for me.”
Tiba-tiba seorang gadis cantik yang saya kenali lewat chat whatsapp, Jeanni, datang.
“She is from Indonesia.” Kata Ms. Queene, mbak yang kerja di provincial tadi.
“Oh, Hi Wulan. Welcome in Philippines.”

Ms. Queene berbincang dengan Ms. Jeanne dengan bahasa yang tidak saya mengerti. Cukup lama. Saya hanya bisa melihat mereka mengobrol. Akhirnya Ms. Jeanne berkata kepada saya, “Wulan, I think you should stay in Ms. Queene’s house. You’ll safe with here. She works in provincial office and her house is not too far from here. So, I think you should stay with her and you can put your luggage in the second floor in committee room.”

Saya melayangkan pandang ke Ms. Queened an dia tersenyum.

I’ll stay with her. 

***

Saya terbangun. Sinar matahari sudah masuk melalui jendela. Waduh, saya kesiangan. Saya segera beribadah dan turun ke lantai bawah. Ms. Queened an Evic, seorang Filipino yang juga menginap, sudah bangun. Ms. Queene menyapa, “Good Morning.” And I just answered “Morning. I am sorry I wake up late.” Katanya, “No, it’s okay. I think you have well sleep last night.” Saya hanya bisa nyengir karena akhirnya saya bisa tidur dengan nyenyak di atas kasur, hangat pula.
Pemandangan pagi dari balik jendela kamar.

Ms. Queene menyiapkan makanan bebas babi. Sebenarnya saya mau membantu tapi tidak tahu membantu apa. Akhirnya saya hanya melihat Ms. Queene masak. Inilah sarapan kami, simple untuk keadaan terburu-buru.
Menu Sarapan


0 komentar

Instagram

Featured Post

Hampa

Aku berlari dan terus berlari  Rasanya lelah namun aku tak bisa berhenti  Ku berlari tanpa arah yang pasti  Tak tahu pula apa yang tengah ku...

Contact Form

Name

Email *

Message *