Jakarta dan Perkenalan Tak Terduga

September 30, 2018, by Wulan Istri

Rabu, 15 Agustus 2018. Pukul 22.10 WIB. 

Sembari menunggu pesanan Go-*** datang, saya menyalami Arifin, Zikin, Mba Dewi dan Mas Supri satu per satu. Saya sangat berterima kasih kepada mereka dan berpesan untuk tidak melupakan saya walaupun hanya kenal sebentar. Sebenarnya saya masih ingin ngobrol dengan mereka hanya saja saya harus segera ke stasiun. Sangat segera. Saya belum mencetak tiket sedangkan di eTiket tertera tulisan yang menyatakan harus mencetak tiket paling lambat H-1 jam sebelum keberangkatan. Mereka mengantarkan dan menemani saya hingga Go-*** datang walaupun saya sudah bilang “Aku berani, ya, Mbak, Mas, Dik. Beneran, kalian pulang duluan aja.” Mereka tetap ingin menemani saya. 

Yasudah.
Akhirnya Pak Driver datang dengan helm kuninya. Ketika sudah naik Go-*** pun saya masih menyempatkan untuk berdadah ria ke mereka.
“Mbak, mohon maaf. Ini kalau buat ngebut nggak bisa, hehe.” Bapak Drivernya bilang berkata hati-hati.
“Oh, yaudah, Pak. Nggak papa hehe. Memangnya sekitar berapa menit lagi, Pak, nyampenya?” walaupun saya bilang “yaudah” namun tetap saja sebenarnya deg-degan takut kalau tidak bisa check in.
“Kira-kira 10-15 menit lagi, Mba.”
Baiklah, saya hanya bisa berdo’a semoga masih bisa print tiket. Baiknya lagi sepanjang perjalanan saya diajak ngobrol sama Bapak Driver sehingga tidak terlalu tegang.
Sampai di stasiun, saya langsung lari pontang-panting sambil membawa koper, menyelisip dan bilang “permisi-permisi” kepada orang-orang yang saya rasa menghalangi jalan. Ngos-ngosan. Masukkan kode booking tiket ke system dan cetak! Alhamdulillah… masih, bisa. Baru kali ini cetak tiket kurang dari satu jam. Justru karena mepet saya langsung bisa checkin ke dalam peron dan masuk ke gerbong kereta. Akhirnya saya bisa bernafas lega dan merenungkan berbagai hal menarik yang saya lalui hari ini.
Di dalam kereta saya merasa bersyukur. Tak henti-hentinya saya exited terhadap takdir dan nasib saya sendiri hari ini. Terlebih lagi saya merasakan How does He really loves me karena jujur saya sempat down dan sedikit menyalahkan Allah dengan cara menangis dan menyesali diri habis-habisan. Saya merasakan cintaNya. Benar-benar merasakan. Saya kagum bagaimana Ia merancang scenario untuk makhluknya dengan sebegitu indahnya. Bahkan untuk urusan sekecil jalan-jalan santai dan makan saja Allah mengirimkan malaikatnya untuk datang membantu. And I do more believe how He loves me so much and how the greatest planner He is, ohAllah.
***
Flashback
Pukul 01.00 WIB
Setelah delayed sekitar satu jam di Manila, Alhamdulillah, akhirnya tiba di Jakarta dengan selamat. Jadwal kedatangan yang semula pukul 11.40 PM bergeser menjadi pukul 01.00 AM keesokan dini hari. Selesai keluar dari bagian imigrasi, saya duduk-duduk terlebih dahulu di ruang tunggu terminal 2D sembari browsing tempat makan murah di sekitar terminal 2D. Jujur, kala itu saya hanya memegang uang cash IDR. 80.000 dan saya tak ingin makan lebih dari IDR. 30.000. Hampir satu jam saya browsing, selama itu pula saya menolak tawaran taksi.
Karena tidak tahu arah maka hasil browsing pun berasa nihil. Merasa sedikit putus asa, saya menyeret koper saya menuju Indo***** di dekat parkiran terminal 2D. Saya hanya nebeng duduk di kursinya, tidak ada niatan untuk membeli karena pasti lebih mahal. Haha. Ya saya hanya ingin melihat-lihat siapa tahu di dekat minimarket itulah terdapat kantin yang murah. Di sana saya juga hanya duduk sambil menerka-nerka dimana letak kantin yang katanya di dekat pintu masuk parkir. Beberapa saat kemudian saya melihat beberapa petugas makanan menenteng makanan dan minuman yang terlihat seperti di beberapa website yang telah saya kunjungi. Karena penasaran, saya mencoba untuk mendatangi asal petugas tersebut dan TADA! Ketemu! Senangnya bukan main! IDR. 18.000 untuk nasi tempe kering, telur dadar dan sayur oseng beserta segelas air putih. Alhamdulillah… akhirnya bisa makan dan pastinya murah!
Hal yang pertama kali saya lakukan setelah makan adalah: mencari mushola. Mencari mushola untuk sholat dan… akhirnya tergoda untuk ikutan tidur di pelataran mushola yang tak beratap. Bangun-bangun sudah pukul 08.00 pagi dan saya merasa seperti ikan asin yang sedang dijemur. Meringkuk di bawah sinar matahari.
***
Pukul 08.20 WIB
Saya menyeret koper saya menuju terminal 2D lagi kemudian menaiki skytrain menuju terminal 3D. Bukan untuk naik pesawat melainkan untuk mencari ruang yang luas dan nyaman untuk mengikuti tes tahap II XL Future Leader. Kala itu saya sedikit bingung dan kecewa karena saya tak membawa headset padahal terdapat sesi listening di Tes Bahasa Inggris sedangkan kondisi bandara terbilang cukup ramai. Ditambah lagi di tengah-tengah mengerjakan test ada Bapak-Bapak yang mengajak ngobrol. Karena ingin tetap terlihat sopan ya saya harus bisa membagi konsentrasi antara mengerjakan test dan menanggapi cerita beliau. Akhirnya saya mengerjakan tes tersebut dengan Basmallah dan pasrah dengan kondisi seadanya.
Selesai mengerjakan Test Beasiswa XL Future Leader saya beralih untuk mengerjakan tugas kelompok yang harus dikumpulkan hari itu juga dari salah satu Dosen. Alhamdulillah teman satu kelompok saya sangat mengerti jadi saya kebagian tugas untuk men-translate dari bahasa ke Bahasa Inggris. Untung saja saya membawa laptop jadi sangat mempermudah dalam mengerjakan tugas tersebut. Sembari saya mengerjakan tugas, turis dari India menebeng mencharger di laptop saya. Kasihan, visanya bermasalah. Ingin membantu tapi tidak bisa karena visanya ternyata tidak valid. Selesai mengerjakan, saya memutuskan untuk duduk-duduk di terminal 3D karena jadwal kereta ke Semarang masih pukul 11.00 malam.
Bosan hanya duduk-duduk, saya memutuskan untuk mengunjungi salah satu tempat wisata yang dekat dengan Stasiun Pasar Senen, stasiun keberangkatan saya menuju ke Semarang. Pilihannya ada dua: Kota Tua dan Monas. Niat hati ingin mengunjungi keduany, namun sepertinya tak cukup karena pukul 03.00 saya baru akan tiba di daerah Jakarta Pusat. Sebenarnya saya ingin memenuhi impian saya untuk ke Kota Tua namun saya memutuskan untuk memilih Monas, sesuai dengan saran Mbak 
Zikrina.
***
Pukul 20.00 WIB

Antrian untuk naik ke puncak Monas masih panjang. Tak ingin terlalu capai akhirnya saya duduk ngglesot. Di belakang antrian saya terdapat dua anak laki-laki (yang saya taksir usianya lebih muda daripada saya) sedang ngobrol dengan bahasa Jawa. “Wah, anak Jawa Tengah, nih. Orang Ngapak.” Dasar saya memang hobi kenalan, saya iseng tanya, “Aslinya dari mana, Mas?”
“Jawa, Mbak. Memangnya ada apa?”
“Oh, nggak papa, sih. Saya juga orang Jawa.” 

Sebuah awal perkenalan yang cukup singkat namun akhirnya kita bisa klik. Mungkin karena sama-sama dari Jawa Tengah sehingga bisa akrab dengan mudah. Dan benar saja, mereka jauh lebih muda dibandingkan dengan saya. Usianya baru tujuh belas tahun. Kami mengitari puncak dan cawan Monas bersama. Seperti orang katrok kami sangat exited ketika di berada di Cawan karena ini merupakan kali pertama kami berkunjung ke Monas. Cawan merupakan tempat favorit bagi saya ketimbang puncak. Di cawan lebih luas sehingga bisa lebih leluasa untuk melihat kota Jakarta 360°. 
(Dari Kiri) Saya, Arifin dan Zikin

Sesudah puas mengitari cawan, kami turun. Di pintu keluar saya bingung untuk memilih langsung ke stasiun atau ikut mereka terlebih dahulu ke Kota Tua karena jam sudah menunjukkan pukul 09.00 malam. Sebenarnya ingin sekali ikut mereka untuk makan dan sekilas mampir di Kota Tua karena ketika saya tanya “Di Kota Tua ada makanan murah, nggak?” mereka dengan PD menjawab “Ada, Mbak.” Sayangnya karena waktu mepet, saya memilih untuk langsung ke stasiun. Sedikit kecewa memang tapi ya sudah, saya melambaikan tangan ke mereka. Lambing perpisahan. 

Baru beberapa meter mereka berjalan meninggalkan saya, saya berlari menyusul mereka sambil menjinjing koper dan berteriak, “Aku Ikut! Tapi Kota Tua beneran dekat, kan, dari sini?” Mereka hanya menoleh dan tertawa, akhirnya saya ikut beneran dan tanpa ba bi bu mereka membantu membawakan koper saya. Terimakasih, Dek! 

***
Pukul 21.15 WIB
Sampai di Kota Tua, kami berjalan menuju depan Museum Fatahillah. Di sana saya dikenalkan dengan temannya, Anak Pemalang juga, namanya Mba Dewi dan Mas Supri.
“Mba, belum makan, kan? Ayo, makan.”

Alangkah senangnya mendengar kata ‘makan’. Saya pamit mengambil uang dulu di ATM terdekat kemudian langsung bergabung kembali dengan mereka. Pilihan kami jatuh ke KFC. Yah nggak papa, lah. Ini udah lumayan murah. Saya, Arifin dan Zikin bertugas untuk memilih tempat duduk agar tidak dipakai orang lain sedangkan Mas Supri dan Mba Dewi memesan makanan terlebih dahulu. Setelah Mba Dewi dan Mas Supri selesai memesan, saya segera beranjak dari kursi berniat untuk memesan. 

“Eh, ini udah dipesenin, buat berlima.” Kata Mba dewi.
Saya tidak jadi beranjak. Terlihat paket fried chicken untuk porsi rame-rame. “Oh, yaudah, Mba. Saya gantinya ke siapa?”
“Nggak usah diganti, Mba, makan aja.” 

Saya sedikit speechless. Alhamdulillah, YaaAllah. Padahal tadi niatnya saya mau pesan Mocca Float saja. Baru saja kenal belum ada 15 menit mereka sudah nraktir saya. Bahkan mereka belum ngobrol dengan saya lebih jauh. Baru di sela-sela makan Mbaknya nanya bagaimana kok bisa kenal dengan Arifin hehe. 
Tambah personil: Mba Dewi dan Mas Supri

Pertemuan yang singkat. Sangat singkat. Jam 10.00 PM kami harus berpisah, saya harus ke stasiun dan mereka harus pulang karena esoknya mereka harus kembali bekerja. Mereka mengantarkan saya ke jalan hingga Go-Jek datang menjemput saya. Saya sudah meminta mereka untuk pulang saja duluan tapi mereka tetap ngotot untuk menemani saya. Sweet banget kalian anak Pemalang!

0 komentar

Instagram

Featured Post

Hampa

Aku berlari dan terus berlari  Rasanya lelah namun aku tak bisa berhenti  Ku berlari tanpa arah yang pasti  Tak tahu pula apa yang tengah ku...

Contact Form

Name

Email *

Message *