Rehabilitasi Overthinking: Because this is My First Life

November 16, 2020, by Wulan Istri


Pandemi Covid-19 yang berkepanjangan dan tak kunjung tuntas ini membuat ritme kehidupan benar-benar berubah hampir 180 derajat. Bagaimana tidak? Tahun lalu, saya selalu bolak-balik Semarang - Jogja hampir tiap dua bulan sekali, bolak-balik Semarang - Solo - Sukoharjo hampir setiap 1-2 bulan sekali, kemudian melakukan perjalanan masing-masing sekali ke Jepara, Surabaya, Jakarta, Bogor, Kuala Lumpur, dan Singapura. Sebetulnya perjalanan tersebut tidak cukup intense bagi beberapa orang, namun bagi saya pribadi, akibat dari pembatasan mobilitas masyarakat di saat pandemi ini begitu terasa. Rasa-rasanya saya kehilangan beberapa ‘agenda’ dan terkadang merasa stress karena merasa tidak produktif (jujur, saya menjadi lebih malas karena apa-apa harus virtual hehe). Workshop, kegiatan akademik kampus, rapat, bahkan jalan-jalan harus dilakukan secara virtual bermodalkan gawai dan internet.  

Merasa kehilangan ‘beberapa agenda’, saya pun merasa gabut. Ke-gabut-tan tersebut menyebabkan saya sering berpikir dan merenungi banyak hal, mulai dari hal-hal yang penting, tidak penting, hingga sangat tidak penting. Akhir-akhir ini saya sering merasa galau memikirkan rencana masa depan jangka pendek. Kalau boleh request, saya lebih memilih melanjutkan studi lagi (dengan beasiswa tentunya). Namun, apakah saya langsung bisa mendapatkan kampus sekaligus beasiswa setelah lulus? Bagaimana jika saya harus menunggu beberapa bulan hingga bertahun-tahun untuk mendapatkannya? Apa yang harus saya lakukan? Tentu harus bekerja. Kalau harus bekerja, mau kerja apa? Pokoknya, pertanyaan-pertanyaan itu sering kali mampir dan bikin galau. Belum lagi pusing mikirin biaya tes IELTS yang harganya ga main-main, tiga juta sekali tes, bung! Itu pun kalau tes sekali langsung berhasil. Kalau tidak? Ya harus keluar uang 3 juta lagi untuk tes. Mantap, ‘kan?

A Life

Kalau boleh dikata, saya termasuk orang yang sering overthinking dan insecure dalam menjalani ‘kehidupan normal’ apalagi menjalani kehidupan di masa pandemi ini, ya, kan? Intensitas overthinking pun meningkat. Saya sempat stress dan tidak semangat (re: tidak bahagia) dalam menjalani aktivitas sehari-hari. Akhirnya, saya memutuskan bahwa saya harus merehabilitasi diri saya sendiri untuk bangkit dari keterpurukan 'overthinking' yang melanda. Saya mencoba untuk mencari kesibukan dengan mengajukan diri menjadi Tim Relawan Covid-19, mengikuti beberapa seminar online, melakukan penelitian, serta menonton konten di YouTube (dari yang bermanfaat hingga tidak bermanfaat sama sekali). Terkadang, saya menyempatkan diri untuk bertemu dengan beberapa kawan untuk sekadar haha-hihi dan bercerita ngalor – ngidul dengan tujuan meringankan ‘beban hidup’ (ealah lebay amat). Kadang kala, saya juga berusaha mencari lebih jauh terkait self-improvement dan self-help (sebagai salah satu usaha coping) melalui buku, podcast, dan YouTube. 

Pada akhirnya, saya tiba di titik jenuh. Saya merasa bahwa masalah saya tak kunjung hilang. Rasanya saya masih sering khawatir dengan masa depan hingga suatu saat saya menemukan sebuah tulisan “Jikalau naik kereta saja kita bisa percaya terhadap masinis yang membawa kita ke stasiun tujuan, kenapa ragu dengan tujuan dan jalan yang sudah diatur oleh Yang Maha Kuasa?” And I was impressed. Kalau dipikir-pikir, “Iya juga, ya?” Selama ini, saya selalu mencoba mencari ‘obat overthinking’ dari lingkup eksternal dengan cara menghibur diri dengan menonton konten di YouTube, pergi ke pantai, sambat ke teman, dan lainnya. I was too busy to find the medicine while actually the medicine is on me, myself! Benar, hanya diri kita sendiri yang bisa melakukan healing dan rehabilitasi diri. Memang, faktor ekternal seperti pergi ke psikolog, bertemu teman, melarikan diri ke pantai, juga membantu, namun faktor internal adalah koentji. Without self-conscious, we can’t really heal from the wounds. 

Self Concious 

Saya pun mencoba untuk mencari cara supaya saya bisa keluar dari khawatir yang berlebih. Kalau memang tidak bisa ‘keluar’ setidaknya intensitasnya bisa berkurang. Selain journaling seperti kegiatan nge-blog ini, saya mencoba untuk mengingat hal-hal yang pernah saya lalui untuk membangun self-trust. Setelah diingat-ingat, saya telah melalui banyak hal buruk (re: kegagalan) yang pada awalnya saya juga anxious berat namun akhirnya justru saya mendapat banyak hal-hal baik di akhir bahkan di saat saya benar-benar tidak memiliki daya upaya. Allah never fails to help us, trust Him!

Misal saja, sewaktu saya (cukup) stress berat karena harus membagi fokus menjadi koordinator sekretaris ospek fakultas dan memikirikan proposal ke Filipina tak kunjung ACC. Ternyata proposal ACC di last minute dengan catatan reimburce system. Saya yang memiliki uang tak sampai satu juta akhirnya bisa juga terbang ke Filipina dan pulang dengan selamat sentosa dengan rezeki berupa jutaan pinjaman dari beberapa teman, Ate Queeny yang memberikan tumpangan, and dinner treat from Central Java strangers. When I have nothing even 15 dollars to pay the hostel in Iloilo, someone came to me and help me.  

Saya yang tak jadi bisa melanjutkan sekolah ke SMAN 3 Solo, akhirnya merasa bersyukur bahwa dengan belajar di SMAN 1 Sukoharjo, saya bertemu banyak orang baik dan akhirnya bisa bergabung menjadi keluarga besar Sukoharjo Mengajar. Saya yang dulu sempat menyesal seperempat mati karena tidak diterima di FKUI, justru sekarang jatuh cinta dengan epidemiologi! Bagaimana tidak? Ternyata ketika SD dulu, saya telah menamatkan sebuah buku pegangan kader kesehatan masyarakat keluaran UNICEF tahun 1990an! Buku tersebut menjadi buku terfavorit saya sepanjang SD hingga SMP. Bahkan saya sempat marah karena keponakan mencoret-coret buku tersebut. Saya jadi sadar sekaligus kaget dengan alur hidup ini.  

Buku Pegangan Kader

Kisah terakhir yang ingin saya sampaikan adalah kisah yang baru-baru saja saya alami. Semester lima lalu, saya memiliki matkul favorit yang sebelumnya saya tak pernah menyukai makul apapun, nama matkulnya Outbreak Investigation (Investigasi Kejadian Luar Biasa – KLB). Mata kuliahnya seru! Selama satu semester tersebut, saya berharap dan berdo’a supaya ada KLB di wilayah Kota Semarang dan diberikan kesempatan secara langsung untuk merasakan vibe adanya KLB. Kemungkinan, kalau ada KLB, akan ada tugas untuk investigasi secara real. Satu semester berlalu namun tidak ada berita yang ‘menggembirakan’ saya. Tugas akhir diganti dengan soal KLB dari dosen. Saya sedih, kenapa saya gabisa ngerasaain gimana rasanya bertugas sewaktu ada KLB?

Semester lima berlalu. Memasuki semester VI, saya mencoba lebih optimis dengan merancang plan jangka dekat untuk mengikuti program joint degree ke Thailand and it means I don’t need to attend KKN and PKL. Yes, I wished. I tried to save some money and make a plan what should I prepare for this include postpone my XLFL graduation. Singkat cerita, Covid-19 melanda dan menghancurkan rencana joint degree yang telah saya rancang.  Tentu saya sedih dan sempat tantrum di rumah karena stress hahaha. Namun, dibalik itu semua, siapa sangka Allah mengabulkan keinginan saya yang dulu untuk dapat merasakan vibes adanya KLB serta turut serta ambil bagian didalamnya? Bahkan, Allah ngasihnya nggak tanggung-tanggung! Bukan hanya KLB yang sifatnya endemic, tapi ini sudah pandemic! Walaupun harus diakui, jujur saya sempat merasa bersalah dan merasa sedih juga karena pandemi ini tak kunjung usia, namun saya jug amensyukuri bahwa ini bisa menjadi saat yang tepat saya belajar banyak. Saya yang awalnya sedih tidak jadi joint degree ke Thailand sekarang malah bahagia, Allah ngasih kesepatan kepada saya untuk belajar lebih tentang dunia KLB. Saya bisa bantu dikit-dikit di pemetaan DKK Sukoharjo, saya bisa pula magang 1,5 bulan di Puskesmas Weru. Yes! I am so grateful enough and I can’t really say anything! It was unbelievable. It was crazy! Insane! How my journey was wrapped perfectly and so neat?! Ternyata, apa yang saya miliki sekarang adalah yang dulu pernah saya doakan. 

Overall, saya ingin mengingatkan kepada diri saya sendiri bahwa tak mengapa gagal dalam beberapa waktu asalkan kita tak pernah berhenti bermimpi, berharap, berdo’a, dan berusaha. Kalau di drama Because it’s My First Life sih, we don’t have to act like we know everything. In fact, we know anything because actually we don’t know what will happened tomorrow. It’s okay for getting some failures because we all same: this is our first life and it’s okay to be imperfect to live this life in our first trial of life. Thanks to this Korean Drama! Hahaha. Juga, ada quote dari Mba Lira yang cukup impressive.

Dari Mba Lira: Saya masih ingat hari ketika saya berdoa untuk apa yang saya miliki sekarang. 

That’s all my stories. Ada pengalaman menarik yang bisa dibagi? Komen, yuk, supaya kita bisa learn from each other!


0 komentar

Instagram

Featured Post

Hampa

Aku berlari dan terus berlari  Rasanya lelah namun aku tak bisa berhenti  Ku berlari tanpa arah yang pasti  Tak tahu pula apa yang tengah ku...

Contact Form

Name

Email *

Message *