Sebuah Kisah dari Poli KIA

April 24, 2021, by Wulan Istri

Saya ingat akan peristiwa yang saya alami 5 tahun yang lalu ketika saya masih kelas XII SMA. Saat itu saya mengalami keluhan menstruasi yang tidak teratur. Karena kejadian tersebut telah berlangsung selama empat bulan, lantas saya memutuskan untuk periksa ke dokter. Ibu saya juga menyarankan hal yang sama karena khawatir akan terjadi sesuatu hal yang tidak diinginkan. Better check your health up in the (really) beginning of the symptoms, right? Keesokan harinya saya sengaja untuk terlambat masuk sekolah dan pergi ke Puskesmas sendiri (waktu itu saya ngekos jadi tidak ada yang mengantar). Setelah mendaftar, saya diarahkan ke Poli KIA (Kesehatan Ibu dan Anak). Reaksi saya? Cukup kaget. Baru kali ini saya diarahkan ke Poli KIA. 

Sesampainya di Poli KIA, saya melihat mayoritas pasien adalah ibu-ibu hamil. Mereka diantar oleh suami atau ibu (entah ibu kandung atau mertua) mereka. Saya duduk dan menunggu antrian untuk dipanggil. Jujur saya agak canggung duduk di sana karena beberapa orang menatap saya tatapan tersebut saya artikan sebagai tatapan curiga atau penasaran. Tak lama kemudian, seorang ibu bertanya “Mbaknya mau memeriksakan kandungan? Sudah berapa bulan?” Saya hanya bisa senyum dan menjawab bahwa saya tidak hamil. Belum lagi dipanggil, seorang ibu-ibu yang baru datang bertanya “Mbanya nggak dianter suami?” Lah, saya jadi tambah kikuk dan sedikit jengkel. Lhawong saat itu saya pakai seragam OSIS loh! Mungkin dikiranya saya mengalami kejadian pregnancy by accident kali, ya?

Kejadian tersebut tak sampai di situ saudara-saudariku sekalian! Ketika sampai di dalam, saya ditanya oleh petugas “Sudah punya suami belum?” Weleh weleh... Baik, ini sebetulnya merupakan pertanyaan standar tapi saya rasa akan lebih baik apabila petugas bertanya “Sudah pernah berhubungan seksual? Jika sudah, kapan terakhir melakukannya?” Hal tersebut saya rasa lebih asertif dan lebih netral untuk seorang anak yang berseragam SMA. Bukankah begitu? Balik ke proses pemeriksaan, bersyukur saya didiagnosis ‘hanya stress’ sehingga mempengaruhi hormon. 

Setiap hidup berharga.

Jujur, setelah saya mendapatkan beberapa pertanyaan tersebut, saya jadi sedikit malu. Padahal saya tidak merasa melakukan kesalahan. Saya merasa cara pandang masyarakat dalam melihat seorang anak perempuan yang belum menikah ke poli KIA atau bahkan obgyn (obstetric and gynecology) masih perlu diperbaiki. Menjaga kesehatan organ reproduksi itu sama pentingnya seperti menjaga kesehatan jantung, paru, jiwa, dan lainnya. Tak ada yang perlu dicurigai. Saya jadi takut pandangan masyarakat yang penuh judgement akan membuat para remaja khususnya para anak perempuan yang memiliki masalah reproduksi malu untuk berkonsultasi dan memeriksakannya ke dokter. Di sisi lain, edukasi seks dan kesadaran bagi remaja juga perlu digaungkan supaya mereka tidak enggan untuk memeriksakan kesehatan reproduksinya. Jadi, mari kita menormalisasi apabila ada anak perempuan yang belum menikah periksa ke dokter spesialis obgyn atau poli KIA. Tidak perlu menghakimi dan menerka apa gerangan yang terjadi di belakangnya. Hal-hal yang terjadi di belakang ‘layar’ adalah urusan pribadi mereka. That’s their privacy. Sekali lagi, mereka datang untuk tujuan baik: untuk memeriksakan kesehatannya. So, just lest be quiet and let them do their checkup. 

Saya berharap, dengan less judgement dan cara pandang masyarakat yang lebih positif dapat memberikan ruang yang lebih bebas bagi para remaja untuk tidak enggan memeriksakan kesehatan reproduksinya selayaknya memeriksakan dirinya ketika demam atau pusing. Bukankah periksa ke poli KIA atau obgyn tidak melulu tentang hamil? Bukankah keluhan siklus menstruasi yang tidak lancar, nyeri saat menstruasi, serta PCOS juga perlu diperiksakan? 

Hal ini juga berlaku untuk pemeriksaan kesehatan yang lain, termasuk kesehatan mental. Jika perlu, pergilah ke psikolog, psikiater, atau dokter spesialis jiwa. Tak usah malu dicap ‘gila’. Konsultasi keshatan tak melulu tentang skizofrenia, bukan? Bisa jadi depresi ringan, bisa jadi insombia, atau bisa jadi keluhan yang lain. Mari menormalisasi hal yang dulu dianggap ‘tabu’ atau aneh menjadi sesuatu yang lebih normal. For the good, of course. 


0 komentar

Instagram

Featured Post

Hampa

Aku berlari dan terus berlari  Rasanya lelah namun aku tak bisa berhenti  Ku berlari tanpa arah yang pasti  Tak tahu pula apa yang tengah ku...

Contact Form

Name

Email *

Message *