Tanya Dulu
August 26, 2022, by Wulan IstriUdara pagi terasa bersih dan segar walaupun masih sedikit terasa dingin. Kami, saya dan Satriyo, melewati jalanan yang membelah lahan penuh pepohonan. Ada kalanya, jalan tersebut melewati kawasan perkampungan yang tidak terlalu padat. Tujuan akhir dari perjalanan ini adalah Pantai Siung. Beruntung sekali cuaca hari ini cerah dan langit tampak biru. Hari-hari sebelumnya, kami telah memeriksa ramalan cuaca pada minggu ini. Kami memilih hari ini karena memang hanya dua hari dalam seminggu ini yang memiliki kemungkinan tidak turun hujan.
Saya cukup menikmati perjalanan ini karena jalanan tidak macet, tidak banyak lampu merah, dan pemandangan di sepanjang jalan yang bikin hati terasa damai (tidak indah tapi biki hati adem dan tenteram). Di perjalanan, kami mengobrol ngalor-ngidul sesuai apa yang mencuat di isi kepala mulai dari rencana, berbagai gambaran situasi di dunia kerja, tentang ulat, capung, hingga filosofi.
Ada satu pembicaraan yang membuat
saya shock sejadi-jadinya. Awalnya
kami haha-hihi setelah Satriyo melemparkan komentar “Aku pikir-pikir sepertinya
ulat memang maklhluk yang paling menderita, ya.” tiba-tiba dia bertanya “Kalau
misal ayam tertabrak oleh pengendara motor, menurutmu yang salah siapa?” Otak
saya tentu saja masih berada pada fase mood
bercanda dan saya pikir pun pertanyaannya juga hanya bercanda belaka. Tanpa
pikir panjang, saya menjawab sambil tertawa“Ya ayamnya, lah. Kenapa juga dia
nyebrang sembarangan (ga pakai nengok kanan-kiri dulu).” Tak disangka saya
justru mendapat jawaban seperti ini “Begini, tapi kan yang membuat jalan ini
manusia. Yang bikin aturan jalan dibangun untuk manusia kan manusia sendiri. Sebelum
jalan ini dibangun, tidak ada aturan alam sebelumnya terkait hal tersebut.”
Deg. Mampus. Kupikir hanya
gurauan, ternyata pernyataan filosofis. Saya pun hanya bisa mak klakep dan diam. Malu sejadi-jadinya!
Saya, seorang humoris, tak pernah menyangka bahwa suasananya akan berubah
menjadi sangat serius hanya dengan jeda waktu jang sesingkat-singkatnja. Saya hanya brasumsi, “Pasti dalam
hatinya aku dinilai sebagai orang kejam yang sama sekali tak memiliki nurani.” Tapi
ya sudahlah ya… mau bagaimana lagi? Mau menjelaskan kalau tadi hanya candaan? Tak
ada gunanya juga sepertinya. Jadi, saya hanya berpura-pura mengiyakan sambil
mendengar dengan seksama. Dalam hati saya hanya berkata pada diri sendiri lain kali sebaiknya bertanya “Ini pertanyaan
serius apa bercanda?” supaya nanti tidak mati gaya.
0 komentar