Singapura vs Malaysia: Mengambil Pelajaran terkait Penanganan Covid-19 saat Travelling

July 26, 2020, by Wulan Istri

Setelah lebih dari tiga bulan #DiRumahSaja karena pandemi Covid-19, rasanya saya sudah gatal ingin bepergian ke sana-kemari. Rasa-rasanya sudah tidak sabar menantikan promo tiket penerbangan dari berbagai maskapai pesawat. Sungguh rasanya kaki ini sudah ingin sekali untuk melangkah dan menjelajah tempat-tempat baru! Beberapa maskapai penerbangan sebenarnya sudah membuka rute penerbangan tertentu dengan persyaratan tertentu seperti membawa surat keterangan sehat dan hasil rapid test. Namun, demi menyelamatkan diri sendiri dan orang-orang di sekitar juga dompet, saya urung untuk bepergian ke sana kemari.

Jika membicarakan liburan di tengah pandemi, saya selalu ingat dengan perjalanan terakhir liburan saya. Tepat Februari yang lalu, saya sempat melancong ke negara tetangga, Singapura dan Malaysia. Benar, saat itu, sudah ada beberapa penemuan kasus Covid-19 di kedua negara tersebut. Sedangkan di Indonesia, kita masih santai dengan pernyataan 0 kasusnya yang begitu melegenda. Saat itu, saya dan teman sempat bimbang untuk memilih tetap berangkat atau membatalkan perjalanan. Berbekal dengan keyakinan dan pengetahuan dasar epidemiologi (waduh), saya memutuskan untuk tetap berangkat. Akhirnya, saya dan teman terbang dengan membawa hand sanitizer dan masker. Baik, #CoronaStyleTravel.

Marina Bay Sand dari Garden by The Bay (mendung)

Perpustakaan Kuala Lumpur


Pakai masker dan bawa handsanitizer ketika di Singapura (walaupun kadang dilepas buat foto)

(mayoritas) Turis saja yang memakai masker. 


Sebagai anak kesehatan masyarakat yang mengambil peminatan epidemiologi (ih apaan sih) terus terang saya gemar mengamati hal-hal yang berkaitan dengan public health tak terkecuali pada saat liburan kali ini. Liburan kali ini sangatlah insightful bagi saya dan tentu saya belajar sedikit banyak lewat kacamata saya pribadi. Apa yang saya lihat di Kuala Lumpur dan Singapura memberikan banyak pembelajaran kepada saya. Jika saya boleh berpendapat, kedua ibu kota tersebut memiliki strategi yang berbeda dalam upaya pencegahan dan pengendalian Covid-19. Mari kita kulik di mana letak perbedannya!

Disclaimer: pendapat ini akan bersifat sangat subyektif karena pengamat hanya menilai apa yang dapat dilihat dan dialami oleh penulis. Juga, sebagian orang mungkin akan berpendapat bahwa tak sebanding jika membandingkan Singapura, sebuah negara kecil, dengan Malaysia yang notabene penduduknya lebih banyak. Namun, saya ingin mengesampingkan hal tersebut terlebih dahulu. Mari kita kulik!

 

Penanganan di Pintu Keluar dan Masuk Negara

Saya mengawali perjalanan saya dengan memasuki Singapura lewat Changi International Airport. Pengalaman saya terbang menggunakan maskapai LCC tahun lalu, penumpang tetap difasilitasi dengan garbarata. Namun, penerbangan kali ini tidak. Tersedia bus yang bertugas untuk menjemput penumpang dari pesawat dan mengantarkan menuju gedung imigrasi. Di dekat pintu masuk, sudah terpasang thermal scanner dan beberapa petugas yang siaga untuk mengecek ulang suhu orang yang ‘suspek’ dengan thermo gun. Terlihat juga sebuah bilik darurat pos petugas medis tak jauh dari thermal scanner. Awalnya saya mengira bahwa jadwal penerbangan pada jam tersebut sangat padat sehingga garbarata diprioritaskan untuk maskapai berbintang. Namun beberapa saat kemudian, saya melihat penumpang Qantas Airlines juga masuk lewat pintu tersebut. Usut punya usut, hipotesis saya, hal tersebut merupakan strategi untuk memonitor suhu tubuh seluruh penumpang maskapai sebagai salah satu upaya awal pencegahan virus corona. Seluruh penumpang yang akan memasuki Singapura diharapkan melewati pintu tertentu yang menyediakan thermal scanner.

Sesampainya di imigrasi, penumpang diharuskan untuk mengisi arrival card juga pernyataan bebas covid (berbentuk form kuisioner saja) untuk diserahkan kepada petugas imigrasi. ketika tiba giliran saya, saya di-double check oleh petugas dengan menanyakan berbagai pertanyaan terkait “Apakah saya merasakan gejala Covid, memiliki riwayat perjalanan ke China maupun LN lainnya.” Setelah puas dengan jawaban saya, barulah saya mendapatkan bubuh cap untuk memasuki Singapura! Yeiy!

Beralih ke Malaysia. Saya memasuki Malaysia melalui jalur darat dengan menggunakan bus dari Singapura. Tidak ada hal khusus yang menarik perhatian saya kecuali pengecekan suhu tubuh dengan thermo gun oleh petugas di bagian imigrasi Malaysia. Pun ketika saya pulang ke Indonesia melalui Penang International Airport, Malaysia, sama sekali tidak ada pemeriksaan suhu tubuh dan lain sebagainya.

 

Penanganan di Tempat Umum  

Beralih ke tempat umum dimulai dari penginapan. Saya menginap di salah satu hostel yang terletak di China Town. Bukan hostel yang mewah namun cukup bersih, rapi, dan nyaman. Sesampai di hostel pun saya ditanya terkait riwayat perjalanan serta gejala-gejala Covid-19 yang mungkin saya alami. Tidak ada thermo gun di sana tapi saya cukup senang (dalam artian salut) terhadap para pelaku usaha penginapan yang sangat sadar terhadap isu Covid-19. Usut punya usut, ternyata pemerintah menghimbau kepada para pelaku usaha akomodasi untuk memonitor setiap penginap dengan memastikan riwayat perjalanan dan kesehatan. It was not a lux accommodation but how they support the government and being cooperative is so impressive!

Jujur, saya tidak pergi ke banyak tempat wisata di Singapura. Waktu itu saya hanya pergi ke Marina Bay Sand, Garden by The Bay, Bugis Street Market, salah satu mall yang saya lupa namanya, dan Little India. Di lorong pintu masuk menuju Bugis Market, terpasang thermal scanner yang dijaga oleh security. Padahal kalau boleh saya berpendapat, pasar ini tidak terlalu “wow” walaupun memang kepadatannya cukup luar biasa. Tapi sebagai WNI, saya cukup merasa kaget dan kagum dengan penyediaan thermal scanner di Bugis Market ini. Di tempat wisata seperti Garden by The Bay, beberapa jalur dan spot favorit untuk mengambil foto ditutup untuk mencegah keramaian di satu titik. Lagi, saya kaget.

Beralih ke tempat pendidikan, salah satu tempat favorit saya di Singapura, NUS (National University of Singapore). DI NUS, saya pergi ke Center Library of NUS, AlumNUS Building, NUS Shopping Center (saya tidak tahu namanya yang pasti sebuah tempat yang menjual aneka merchandise ofisial NUS), dan tentu University Town. Sesampai di NUS, saya langsung menuju UTown untuk makan siang di sana. Untuk masuk ke food court di UTown, telah disediakan thermal scanner di luar gedung yang dijaga oleh beberapa petugas lengkap dengan thermo gun untuk double check. Setelah makan siang, kami berpindah ke Center Library. Kami di-thermo gun kemudian diberikan sticker berwarna oranye khas NUS untuk ditempel di dada sebagai tanda bahwa suhu tubuh kami normal. Cek suhu tubuh: normal. Ketika sampai di pintu masuk, kami ditolak untuk masuk, sodara-sodara! Katanya, karena kami merupakan orang luar yang belum genap 14 hari di Singapura. Baiklah.

Karena tidak bisa masuk ke perpustakaan, kami menuju ke merchandise store di sebuah gedung yang terletak pas di samping perpustakaan. Petugas menanyakan ‘stiker oranye NUS’ sebagai syarat untuk masuk ke dalam gedung. Nahas, stiker dua teman saya sudah hilang entah kemana dan berakhir ditolak masuk walaupun sudah bilang kalau kita sudah mengecek namun stikernya terlepas karena mungkin kurang ‘sticky’. padahal, gedung tersebut masih terkoneksi secara langsung dengan perpustakaan. Pada akhirnya, mereka harus memulai prosedur pemeriksaan dan pendataan untuk mendapatkan stiker oranye tersebut dan bisa masuk ke dalam store. Sehabis itu, kami segera beranjak ke AlumNUS building dan lagi! Kami diharuskan untuk melakukan pemeriksaan suhu tubuh dan mengisi health card (lagi!). Saya merasa benar-benar tersentuh akan effort yang dilakukan oleh universitas tersebut dan hanya bisa membatin “Gila! Niat bener, euy!”

Di Malaysia, saya hanya ditanya travel history oleh petugas hotel. Saya tidak menemukan pengecekan suhu tubuh dan hal-hal lain ketika pergi ke Petaling Street, Central Market, Bukit Bintang Pavilion, Alor Street, dan Majid Jamek. Saya hanya dicek suhu tubuh sekali saja ketika di perpustakaan. Yang lain? Tidak ada tindakan khusus.

Antrian orang untuk menaiki Go-KL di depan Pavilion, mayoritas tidak pakai masker  

Di dalam Perpustakaan Kuala Lumpur


Perilaku Masyarakat

Beberapa hari sebelum saya ke Singapura, ramai tersiar kabar panic buying di sana. Memang tak seratus persen salah. Masker memang sedikit susah didapat, namun untuk kebutuhan sehari-hari, saya rasa tidak ada masalah. Toko-toko terlihat masih normal (saya tidak tahu untuk super market, namun untuk sejenis 7eleven, masih aman). Ketika saya di MRT, NUS, mall, tempat wisata, juga di beberapa tempat umum seperti masjid, rata-rata warga Singapura sudah memakai masker ke manapun mereka pergi. Padahal kalau kita flash back, kembali lagi ke belakang, saat itu WHO dan CDC secara resmi mengeluarkan statement bahwa hanya orang sakit saja yang perlu memakai masker sedangkan untuk orang sehat tidak perlu. Sebagai negara maju, yang pasti juga tingkat pendidikan dan pengetahuan masyarakatnya lebih tinggi, tentunya hal ini menjadi pertanyaan saya semasa itu. Waktu itu saya menduga ‘Mungkin saja mereka melakukan tindakan preliminary prevention, tetap berjaga-jaga dan waspada terhadap kemungkinan terburuk yang ada.’ Itu hanya dari segi masker. Untuk jaga jarak, saat itu masih belum terlalu gaung. Namun, tindakan mereka saat itu cukup membuat saya terkejut sekaligus kagum setelah WHO mengeluarkan pernyataan bahwa baik orang sehat maupun sakit harus menggunakan masker. Good job, Singaporeans!

Beralih ke negara tetangga satunya, Malaysia. Saya tidak menemukan hal yang menarik ketika di kuala Lumpur maupun Penang. Di Kuala Lumpur, masih jarang ditemukan orang-orang yang memakai masker. Justru yang sering saya temui di jalanan atau tempat umum, para turis lah yang sering kedapatan memakai masker, bahkan maskernya merupakan masker N95 dan masker chemical yang biasa digunakan di lab. Mantap! Overall, kesadaran masyarakatnya tidak setinggi seperti orang-orang di Singapura sehingga berimbas ke perilaku mereka.

Suasana di Pavilion. Ramai namun pengujung tidak pakai masker.

Kalau di Singapura, justru WNA yang sering terlihat tidak memakai masker

Itu sedikit cerita dari saya. Saya sempat takut dan berpikir macam-macam “Bagaimana kalau saya nanti tertular? Bagaimana jika nanti saya dideportasi? Bagaimana jika nanti saya tidak bisa pulang dan harus diisolasi di sana?” Namun syukur, saya pulang dalam keadaan sehat dan justru saya belajar banyak hal dari mereka, terutama Singapura. Sayang sekali saya tidak bisa mendokumentasikan hal-hal unik tersebut karena saya belum terpikirkan untuk bisa membagikan cerita ini. Saya sama sekali tidak menyesal bisa terbang ke Singapura pada saat pandemi sebelum pemerintah setempat menerapkan travel banned. Sekali lagi, saya belajar banyak dari mereka dan saya harap, teman-teman yang membaca tulisan saya juga dapat belajar lewat tulisan ini. Silakan diambil yang positif-positif saja untuk dijadikan pembelajaran di kemudian hari. Stay safe everyone!

 

Bonus overthinking: Saya kadang kepikiran “Singapura yang negara kecil dan penanganannya serius aja kasusnya bisa kek gitu. Padahal, hal-hal kecil aja ditangani secara detail. Apa kabar dengan Indonesia?”

0 komentar

Instagram

Featured Post

Hampa

Aku berlari dan terus berlari  Rasanya lelah namun aku tak bisa berhenti  Ku berlari tanpa arah yang pasti  Tak tahu pula apa yang tengah ku...

Contact Form

Name

Email *

Message *