- November 30, 2018
- 0 Comments
Rabu, 15 Agustus 2018. Pukul 22.10 WIB.
Sembari menunggu pesanan Go-*** datang, saya menyalami Arifin, Zikin, Mba Dewi dan Mas Supri satu per satu. Saya sangat berterima kasih kepada mereka dan berpesan untuk tidak melupakan saya walaupun hanya kenal sebentar. Sebenarnya saya masih ingin ngobrol dengan mereka hanya saja saya harus segera ke stasiun. Sangat segera. Saya belum mencetak tiket sedangkan di eTiket tertera tulisan yang menyatakan harus mencetak tiket paling lambat H-1 jam sebelum keberangkatan. Mereka mengantarkan dan menemani saya hingga Go-*** datang walaupun saya sudah bilang “Aku berani, ya, Mbak, Mas, Dik. Beneran, kalian pulang duluan aja.” Mereka tetap ingin menemani saya.
Yasudah.
Akhirnya Pak Driver datang dengan helm kuninya. Ketika sudah naik Go-*** pun saya masih menyempatkan untuk berdadah ria ke mereka.
“Mbak, mohon maaf. Ini kalau buat ngebut nggak bisa, hehe.” Bapak Drivernya bilang berkata hati-hati.
“Oh, yaudah, Pak. Nggak papa hehe. Memangnya sekitar berapa menit lagi, Pak, nyampenya?” walaupun saya bilang “yaudah” namun tetap saja sebenarnya deg-degan takut kalau tidak bisa check in.
“Kira-kira 10-15 menit lagi, Mba.”
“Mbak, mohon maaf. Ini kalau buat ngebut nggak bisa, hehe.” Bapak Drivernya bilang berkata hati-hati.
“Oh, yaudah, Pak. Nggak papa hehe. Memangnya sekitar berapa menit lagi, Pak, nyampenya?” walaupun saya bilang “yaudah” namun tetap saja sebenarnya deg-degan takut kalau tidak bisa check in.
“Kira-kira 10-15 menit lagi, Mba.”
Baiklah, saya hanya bisa berdo’a semoga masih bisa print tiket. Baiknya lagi sepanjang perjalanan saya diajak ngobrol sama Bapak Driver sehingga tidak terlalu tegang.
Sampai di stasiun, saya langsung lari pontang-panting sambil membawa koper, menyelisip dan bilang “permisi-permisi” kepada orang-orang yang saya rasa menghalangi jalan. Ngos-ngosan. Masukkan kode booking tiket ke system dan cetak! Alhamdulillah… masih, bisa. Baru kali ini cetak tiket kurang dari satu jam. Justru karena mepet saya langsung bisa checkin ke dalam peron dan masuk ke gerbong kereta. Akhirnya saya bisa bernafas lega dan merenungkan berbagai hal menarik yang saya lalui hari ini.
Sampai di stasiun, saya langsung lari pontang-panting sambil membawa koper, menyelisip dan bilang “permisi-permisi” kepada orang-orang yang saya rasa menghalangi jalan. Ngos-ngosan. Masukkan kode booking tiket ke system dan cetak! Alhamdulillah… masih, bisa. Baru kali ini cetak tiket kurang dari satu jam. Justru karena mepet saya langsung bisa checkin ke dalam peron dan masuk ke gerbong kereta. Akhirnya saya bisa bernafas lega dan merenungkan berbagai hal menarik yang saya lalui hari ini.
Di dalam kereta saya merasa bersyukur. Tak henti-hentinya saya exited terhadap takdir dan nasib saya sendiri hari ini. Terlebih lagi saya merasakan How does He really loves me karena jujur saya sempat down dan sedikit menyalahkan Allah dengan cara menangis dan menyesali diri habis-habisan. Saya merasakan cintaNya. Benar-benar merasakan. Saya kagum bagaimana Ia merancang scenario untuk makhluknya dengan sebegitu indahnya. Bahkan untuk urusan sekecil jalan-jalan santai dan makan saja Allah mengirimkan malaikatnya untuk datang membantu. And I do more believe how He loves me so much and how the greatest planner He is, ohAllah.
***
Flashback
Pukul 01.00 WIB
Setelah delayed sekitar satu jam di Manila, Alhamdulillah, akhirnya tiba di Jakarta dengan selamat. Jadwal kedatangan yang semula pukul 11.40 PM bergeser menjadi pukul 01.00 AM keesokan dini hari. Selesai keluar dari bagian imigrasi, saya duduk-duduk terlebih dahulu di ruang tunggu terminal 2D sembari browsing tempat makan murah di sekitar terminal 2D. Jujur, kala itu saya hanya memegang uang cash IDR. 80.000 dan saya tak ingin makan lebih dari IDR. 30.000. Hampir satu jam saya browsing, selama itu pula saya menolak tawaran taksi.
Karena tidak tahu arah maka hasil browsing pun berasa nihil. Merasa sedikit putus asa, saya menyeret koper saya menuju Indo***** di dekat parkiran terminal 2D. Saya hanya nebeng duduk di kursinya, tidak ada niatan untuk membeli karena pasti lebih mahal. Haha. Ya saya hanya ingin melihat-lihat siapa tahu di dekat minimarket itulah terdapat kantin yang murah. Di sana saya juga hanya duduk sambil menerka-nerka dimana letak kantin yang katanya di dekat pintu masuk parkir. Beberapa saat kemudian saya melihat beberapa petugas makanan menenteng makanan dan minuman yang terlihat seperti di beberapa website yang telah saya kunjungi. Karena penasaran, saya mencoba untuk mendatangi asal petugas tersebut dan TADA! Ketemu! Senangnya bukan main! IDR. 18.000 untuk nasi tempe kering, telur dadar dan sayur oseng beserta segelas air putih. Alhamdulillah… akhirnya bisa makan dan pastinya murah!
Hal yang pertama kali saya lakukan setelah makan adalah: mencari mushola. Mencari mushola untuk sholat dan… akhirnya tergoda untuk ikutan tidur di pelataran mushola yang tak beratap. Bangun-bangun sudah pukul 08.00 pagi dan saya merasa seperti ikan asin yang sedang dijemur. Meringkuk di bawah sinar matahari.
***
Pukul 08.20 WIB
Saya menyeret koper saya menuju terminal 2D lagi kemudian menaiki skytrain menuju terminal 3D. Bukan untuk naik pesawat melainkan untuk mencari ruang yang luas dan nyaman untuk mengikuti tes tahap II XL Future Leader. Kala itu saya sedikit bingung dan kecewa karena saya tak membawa headset padahal terdapat sesi listening di Tes Bahasa Inggris sedangkan kondisi bandara terbilang cukup ramai. Ditambah lagi di tengah-tengah mengerjakan test ada Bapak-Bapak yang mengajak ngobrol. Karena ingin tetap terlihat sopan ya saya harus bisa membagi konsentrasi antara mengerjakan test dan menanggapi cerita beliau. Akhirnya saya mengerjakan tes tersebut dengan Basmallah dan pasrah dengan kondisi seadanya.
Selesai mengerjakan Test Beasiswa XL Future Leader saya beralih untuk mengerjakan tugas kelompok yang harus dikumpulkan hari itu juga dari salah satu Dosen. Alhamdulillah teman satu kelompok saya sangat mengerti jadi saya kebagian tugas untuk men-translate dari bahasa ke Bahasa Inggris. Untung saja saya membawa laptop jadi sangat mempermudah dalam mengerjakan tugas tersebut. Sembari saya mengerjakan tugas, turis dari India menebeng mencharger di laptop saya. Kasihan, visanya bermasalah. Ingin membantu tapi tidak bisa karena visanya ternyata tidak valid. Selesai mengerjakan, saya memutuskan untuk duduk-duduk di terminal 3D karena jadwal kereta ke Semarang masih pukul 11.00 malam.
Bosan hanya duduk-duduk, saya memutuskan untuk mengunjungi salah satu tempat wisata yang dekat dengan Stasiun Pasar Senen, stasiun keberangkatan saya menuju ke Semarang. Pilihannya ada dua: Kota Tua dan Monas. Niat hati ingin mengunjungi keduany, namun sepertinya tak cukup karena pukul 03.00 saya baru akan tiba di daerah Jakarta Pusat. Sebenarnya saya ingin memenuhi impian saya untuk ke Kota Tua namun saya memutuskan untuk memilih Monas, sesuai dengan saran Mbak
Zikrina.
***
Pukul 20.00 WIB
Antrian untuk naik ke puncak Monas masih panjang. Tak ingin terlalu capai akhirnya saya duduk ngglesot. Di belakang antrian saya terdapat dua anak laki-laki (yang saya taksir usianya lebih muda daripada saya) sedang ngobrol dengan bahasa Jawa. “Wah, anak Jawa Tengah, nih. Orang Ngapak.” Dasar saya memang hobi kenalan, saya iseng tanya, “Aslinya dari mana, Mas?”
“Jawa, Mbak. Memangnya ada apa?”
“Oh, nggak papa, sih. Saya juga orang Jawa.”
Sebuah awal perkenalan yang cukup singkat namun akhirnya kita bisa klik. Mungkin karena sama-sama dari Jawa Tengah sehingga bisa akrab dengan mudah. Dan benar saja, mereka jauh lebih muda dibandingkan dengan saya. Usianya baru tujuh belas tahun. Kami mengitari puncak dan cawan Monas bersama. Seperti orang katrok kami sangat exited ketika di berada di Cawan karena ini merupakan kali pertama kami berkunjung ke Monas. Cawan merupakan tempat favorit bagi saya ketimbang puncak. Di cawan lebih luas sehingga bisa lebih leluasa untuk melihat kota Jakarta 360°.
![]() |
(Dari Kiri) Saya, Arifin dan Zikin |
Sesudah puas mengitari cawan, kami turun. Di pintu keluar saya bingung untuk memilih langsung ke stasiun atau ikut mereka terlebih dahulu ke Kota Tua karena jam sudah menunjukkan pukul 09.00 malam. Sebenarnya ingin sekali ikut mereka untuk makan dan sekilas mampir di Kota Tua karena ketika saya tanya “Di Kota Tua ada makanan murah, nggak?” mereka dengan PD menjawab “Ada, Mbak.” Sayangnya karena waktu mepet, saya memilih untuk langsung ke stasiun. Sedikit kecewa memang tapi ya sudah, saya melambaikan tangan ke mereka. Lambing perpisahan.
Baru beberapa meter mereka berjalan meninggalkan saya, saya berlari menyusul mereka sambil menjinjing koper dan berteriak, “Aku Ikut! Tapi Kota Tua beneran dekat, kan, dari sini?” Mereka hanya menoleh dan tertawa, akhirnya saya ikut beneran dan tanpa ba bi bu mereka membantu membawakan koper saya. Terimakasih, Dek!
***
Pukul 21.15 WIB
Sampai di Kota Tua, kami berjalan menuju depan Museum Fatahillah. Di sana saya dikenalkan dengan temannya, Anak Pemalang juga, namanya Mba Dewi dan Mas Supri.
“Mba, belum makan, kan? Ayo, makan.”
“Mba, belum makan, kan? Ayo, makan.”
Alangkah senangnya mendengar kata ‘makan’. Saya pamit mengambil uang dulu di ATM terdekat kemudian langsung bergabung kembali dengan mereka. Pilihan kami jatuh ke KFC. Yah nggak papa, lah. Ini udah lumayan murah. Saya, Arifin dan Zikin bertugas untuk memilih tempat duduk agar tidak dipakai orang lain sedangkan Mas Supri dan Mba Dewi memesan makanan terlebih dahulu. Setelah Mba Dewi dan Mas Supri selesai memesan, saya segera beranjak dari kursi berniat untuk memesan.
“Eh, ini udah dipesenin, buat berlima.” Kata Mba dewi.
Saya tidak jadi beranjak. Terlihat paket fried chicken untuk porsi rame-rame. “Oh, yaudah, Mba. Saya gantinya ke siapa?”
“Nggak usah diganti, Mba, makan aja.”
Saya sedikit speechless. Alhamdulillah, YaaAllah. Padahal tadi niatnya saya mau pesan Mocca Float saja. Baru saja kenal belum ada 15 menit mereka sudah nraktir saya. Bahkan mereka belum ngobrol dengan saya lebih jauh. Baru di sela-sela makan Mbaknya nanya bagaimana kok bisa kenal dengan Arifin hehe.
![]() |
Tambah personil: Mba Dewi dan Mas Supri |
Pertemuan yang singkat. Sangat singkat. Jam 10.00 PM kami harus berpisah, saya harus ke stasiun dan mereka harus pulang karena esoknya mereka harus kembali bekerja. Mereka mengantarkan saya ke jalan hingga Go-Jek datang menjemput saya. Saya sudah meminta mereka untuk pulang saja duluan tapi mereka tetap ngotot untuk menemani saya. Sweet banget kalian anak Pemalang!
Pulau Iloilo sepertinya sudah terlihat. Sangat hijau! Hati saya gembira. Bayangan mengenai kota yang masih asri terbayang. Bosan saya dengan kota tanpa pohon, Semarang misalnya. Saya mengimpikan kota yang asri dan tidak panas. Dari atas perumahan penduduk terlihat tidak sebegitu padat seperti di Manila. Pesawat mendarat di atas landasan yang dikelilingi dengan lahan yang hijau. Saya girang bukan main tak sabar segera melihat-lihat kotanya, jika ada waktu. Kata teman saya, Iloilo City merupakan City of Love.
![]() |
Mendarat di Ililo |
Saya antri untuk mengambil koper kemudian bergegas ke kamar mandi untuk berganti pakaian. Kenapa ganti pakaian? Karena saya harus segera ke tempat acara langsung yang akan dimulai pukul 08.00 waktu setempat. Setelah dandan dikit biar gak kucel saya segera menyalakan ponsel dan wifi untuk mencari tahu informasi mengenai transportasi di Bandara Iloilo. Dasar perjalanan kali ini saya memang tidak prepare apa pun. Saya lihat ada ruang informasi untuk turis dan pasti ada informasi mengenai kendaraan. Sayang, belum buka karena masih terlalu pagi. Bertanya ke petugas bandara saya diarahkan untuk menyeberang dan menggunakan shuttle bus. Akhirnya saya nurut.
Sampai di tengah zebra cross saya sudah dicegat sama mbak-mba, dengan bahasa Tagalog, mungkin. Saya bilang, “I am an Indonesian.” Tahu saya tidak bisa berbahasa Filipino, ia langsung mengubah bahasanya menjadi English.
“Okay, Mam, where will you go?”
“Iloilo Convention Center.”
“Taxi, Mam? 500 Peso.”
Gilak! Mahal amat! Saya merasa miris karena saya hanya punya 1000 peso.
“No, I think I am gonna take shuttle bus. Is there any.”
“Yes, Mam. But it will take longer time. You have to wait till the passengers are full.”
“What time?”
“Usually in 09.00.”
Lah, ini lebih gila padahal saya harus sampai di sana sebelum jam 08.00. Karena tak ingin ambil risiko, akhirnya saya memutuskan untuk naik taksi. Tentu saya nawar terlebih daulu, bukan Wulan kalau tidak nawar.
“How if 300?”
“No, Mam. 500 peso.”
“300.”
“450, Mam.”
“300.”
“400, Mam.”
“300 peso.”
Dia sedikit berteriak ke salah satu supir taksi dan akhirnya Bapaknya mengangguk.
“Okay, 300 peso.”
Asshiiap! Saya akhirnya bisa hemat! Usut punya usut sepertinya saya dibodohi karena kata kenalan saya, hampir setiap jam shuttle bus beroperasi. Tapi saya juga patut berbangga karena kata kenalan saya pula ongkos taksi saya termasuk murah dan saya pandai menawar. Haha. Sedikit besar kepala saya. Bapak drivernya tidak cukup banyak bicara namun cukup bisa menggunakan Bahasa Inggris jadi kami berbicara dalam bahasa inggris. Keluar dari area bandara saya melihat sebuah lahan besar yang ada sapinya. I feel like in New Zealand!
Ternyata jarak dari Bandara ke Iloilo Convention Center hanya membutuhkan waktu sekitar 30 menit saja. Jadi saya datang di sana cukup awal. Beberapa panitia masih terlihat mendekor tulisan #IPYFPH2018 dan beberapa orang foto-foto di depan welcome delegates. Di antara peserta, saya saja yang menggunakan hijab. Belum bisa masuk, saya duduk di depan bangunan dengan koper saya. Saya hanya memandangi orang yang lewat dan tersenyum ke arah mereka.
Seorang Ilongo (re: orang-orang Iloilo) menyapa saya dala bahasa yang saya tak mengerti artinya. “I’m sorry. I don’t speak Tagalog.”
“Oh, where are you from?”
“Indonesia.”
Mbaknya sedikit kaget namun akhirnya tetap mengajak ngobrol. Pertanyaannya klasik seputar saya pergi ke sini dengan siapa, kapan sampai di sini dan dimana saya akan menginap. Sama seperti Ms. Lily, dia pun juga kaget.
“Do you want to stay in my house? It’s not far from here and I work in Provincial Population Office.”
“No, I am sorry but someone has booked a room for me.”
Tiba-tiba seorang gadis cantik yang saya kenali lewat chat whatsapp, Jeanni, datang.
“She is from Indonesia.” Kata Ms. Queene, mbak yang kerja di provincial tadi.
“Oh, Hi Wulan. Welcome in Philippines.”
Ms. Queene berbincang dengan Ms. Jeanne dengan bahasa yang tidak saya mengerti. Cukup lama. Saya hanya bisa melihat mereka mengobrol. Akhirnya Ms. Jeanne berkata kepada saya, “Wulan, I think you should stay in Ms. Queene’s house. You’ll safe with here. She works in provincial office and her house is not too far from here. So, I think you should stay with her and you can put your luggage in the second floor in committee room.”
Saya melayangkan pandang ke Ms. Queened an dia tersenyum.
I’ll stay with her.
***
Saya terbangun. Sinar matahari sudah masuk melalui jendela. Waduh, saya kesiangan. Saya segera beribadah dan turun ke lantai bawah. Ms. Queened an Evic, seorang Filipino yang juga menginap, sudah bangun. Ms. Queene menyapa, “Good Morning.” And I just answered “Morning. I am sorry I wake up late.” Katanya, “No, it’s okay. I think you have well sleep last night.” Saya hanya bisa nyengir karena akhirnya saya bisa tidur dengan nyenyak di atas kasur, hangat pula.
Saya terbangun. Sinar matahari sudah masuk melalui jendela. Waduh, saya kesiangan. Saya segera beribadah dan turun ke lantai bawah. Ms. Queened an Evic, seorang Filipino yang juga menginap, sudah bangun. Ms. Queene menyapa, “Good Morning.” And I just answered “Morning. I am sorry I wake up late.” Katanya, “No, it’s okay. I think you have well sleep last night.” Saya hanya bisa nyengir karena akhirnya saya bisa tidur dengan nyenyak di atas kasur, hangat pula.
![]() |
Pemandangan pagi dari balik jendela kamar. |
Saya masuk menuju terminal keberangkatan domestik. Masih sepuluh jam lagi, saya mencari kursi yang senggang. Seorang perempuan dengan rambut dikuncir bon sedang duduk menonton film. Saya taksir usianya tidak jauh berbeda dengan saya. Kursi di sebelahnya senggang, duduklah saya di sampingnya. Saya tersenyum padanya dan dibalas. Tergoda dengan wifi, saya pun ikutan membuka netbook. Nahas. Koneksinya tidak berjalan begitu baik di laptop saya. Saya duduk dan membiarkan laptop saya terbuka. Saya ingat kalau saya belum sholat sejak ashar.
Saya mengambil mukena dan berinisiatif mencari mushola. Karena sedikit ribet jika harus membawa tas maka saya menitipkan tas dan netbook saya yang masih terbuka.
“I am sorry, Ms. Will you still stay here? I would like to pray first so I think I will entrust my belonging to you.”
Mbaknya sedikit kaget namun akhirnya bilang “Oh. Yes, I’ll still stay here. There is prayer room outside. You will find ‘prayer room’ and just go inside.”
Saya keluar dan mencari dimana sekiranya letak prayer room. Saya berjalan dengan instinc saja dan ketemulah prayer room. Saya sedikit curiga karena dari luar terlihat bangku panjang tertata rapi. Saya mendorong pintu, pintu terbuka. Saya melihat patung Yesus dan Bunda Maria di depan ruangan. Di depannya rentetan bangku panjang tertata rapi. Di dinding tergantung lukisan-lukisan yang menggambarkan sejarah perjalanan Yesus.
Saya ragu. Tidak ada tempat wudhu sama sekali. Beberapa orang keluar masuk untuk beribadah. Kalau saya lihat, orang di sini lebih taat beragama dibandingkan dengan indonesia. Di sela kesibukannya mereka menyempatkan untuk beribadah. Karena tak ada air wudhu maka saya tayamum dan menggelar jaket saya untuk sajadah. Karena tidak enak, saya memohon izin kepada salah satu jemaat yang beribadah di kursi saya “Sir, I am sorry. May I pray here?” dan beliau mengangguk sambil tersenyum. Sepertinya taka da rasa keberatan. Ditambah lagi saat itu saya harus menghadap kiblat yang mana artinya saya harus membelakangi patung Yesusnya. Saya hanya merasa kurang enak. Dan sampai akhir ibadah, Alhamdulillah lancar-lancar saja tanpa ada orang yang memandang aneh ataupun menggusur.
![]() |
Seorang Filipino yang sedah beribadah di dalam prayer room. |
Saya kembali ke ruang transit dan menemukan laptop serta tas saya masih utuh. Pun wanita itu masih di sana. Saya tersenyum padanya, mengucap “Thank you,” dan duduk di sampingnya.
Singkat cerita kami saling tukar cerita dari mana asal kami. Ternyata dia berasal dari sebuah kota bernama Dabao City. Englishnya bagus, ya, bisa dibilang lebih bagus dari saya. Karena penasaran, saya mencoba menanyakan apakah dia masih mahasiswa atau SMA. Jawabannya tak terduga: sudah bekerja dan usianya sudah 31 tahun! Shock? Pasti. Usut punya usut, dia bekerja di salah satu e-commerce jadi kerjanya lebih banyak di rumah. Namun, ada saatnya dia harus ke Luar Negeri atau ke daerah Philippines yang lain.
Akhirnya kami saling cerita mengenai kehidupan kita. Dia kaget ketika mengetahui saya datang ke Philippines dengan modal nekat saja apalagi dengan cerita bagaimana saya bisa sampai di sini. Ketika ia bertanya “Where will you stay?” saya hanya menjawab sekenanya sambil tertawa, “I don’t know. Maybe mosque or a store which opens 24 hours.” Setelah itu, dia mencoba mencari tahukondisi Iloilo. Mencari tahu penginapan murah mana yang bisa menjadi alternatif dan info lainnya. “Oh, there are 7eleven Store in Philippines and most of them are 24 hours. Oh yes, righ here, there is 24 hours of McD,” sambil menunjukkan map lewat HP Oppo-nya.
Singkat cerita setelah perbincangan tersebut dia mendapatkan telepon dan berbicara dalam bahasa yang tidak saya kenali. Entah tagalog atau Vissayas. Dia duduk kembali setelah menerima telepon dan duduk kembali.
![]() |
Me and Ms. Lily |
“Ehm, because you are not a Filipino and you don’t really know about the situation in Iloilo so I am not sure with the safety. I know if Philippines is safe but I just worries. So, because you are tourist and I wanna make sure that you will stay safe there and let me book a room for you.”
“No, It’s okay. Ms. I am usually to be like this. I often go anywhere alone in mess situation.”
“Come on. I just want to help you. Moreover, my boss will pay for this.”
“No, it’s okay. I am really okay.”
“Just come on. What is your name and your ID number. However it’s not a big amount for me when we have a job”
“I will give it but with one requirement. What can I do for you?”
“You just have to do nothing. Just give me your id card.”
“No.”
“Alright, you can change it when you will get to work or when I and my husband will visit you in Indonesia you just have to meet me.”
“Deal!” dan saya memberikan KTP saya. “This is my ID card from Indonesia. You can take a photo of it and save it.” Saya menangis.
“Why are you crying? Don’t cry.” Tetap saja saya tak bisa tak menangis karena saya melankolis.
“Why do you trust me? Because you don’t really know me and we’ve just meet for hours.”
“So, why did you trust me by entrust your belonging to me? That laptop and your bag? It means that you trust me and so do I. Next time, don’t be easy to entrust your belonging in Filipino, there might some people who is not good. I don’t mean that Filipino are not good but just there is still possibility that they can do crime.”
Beberapa menit kemudian, sebuah kamar sudah terbooking atas nama saya. Dan saya sama sekali tidak mengeluarkan uang. Ms. Lily Bin, thank you so much!
Saya duduk di ruang tunggu
Bandara Soekarno-Hatta sambil menunggu check in yang masih sekitar dua jam
lagi. Sembari menunggu, saya sibuk mencari dimana mushola dan ATM center
berada. Karena tak bisa menemukan ATM yang lengkap (re: agar tidak terkena
biaya administrasi) akhirnya saya duduk-duduk sambil wifian. Uhm… tak hanya
wifian saja sebenarnya tapi saya juga sempat berfoto dengan gambar Pak Jokowi. Mendekati
waktu check in saya seliweran mencari info penerbangan. Kok gak ada ya penerbangannya? Semuanya kok ke Malaysia dan negara
lain. Oh mungkin belum buka. Saya mencoba positive thinking dan duduk
santai kembali. 15 menit lagi menjelang pukul 11.00 saya gusar karena di papan
informasi masih belum tercantum penerbangan saya. Saya bertanya ke petugas
bandara dan ternyata saya berada di terminal 3D bukan 2D! Saya sedikit panik
tapi berusaha menguasai diri.
Saya bingung, jarak bandara 2D
dan 3D cukup jauh, apalagi jika hanya berjalan kaki sambil menenteng koper.
Akhirnya pilihan jatuh kepada skytrain walaupun harus menunggu sekitar tujuh
menit lagi. Di dalam skytrain pun saya terbayang-bayang bagaimana jadinya jika
saya ketinggalan pesawat? Berapa juta lagi yang harus saya keluarkan untuk
membeli tiket? Saya tidak bisa membayangkan apa yang harus saya lakukan jikalau
itu benar-benar terjadi. Saat itu saya teringat akan pengalaman Elle dan Chan
yang ketinggalan check in pesawat hanya beberapa menit saja. Sesampai di
Terminal 2D saya berlari menuruni escalator dan mencari tempat check in. Rasanya
saya sudah hampir menangis, apalagi harus menyela pengunjung bandara yang lain.
Ditambah lagi anak-anak SMA yang sepertinya mau study banding ke luar negeri
cipika-cipiki dengan ibunya di antrian. Kesal. Semakin menambah durasi nih, pikir saya Alhamdulillah, ternyata masih
bisa check in. Kala itu saya sangat
hectic. Benar-benar hectic.
Tak ada yang special dalam
perjalana Jakarta-Manila. Saya hanya sedikit girang karena saya bisa melihat
awan sewaktu sunset dari atas pesawat dan beruntungnya saya mendapatkan tempat
duduk di dekat jendela. Selain itu, Bapak-Bapak di sebelah saya meminjamkan
pulpennya kepada saya ketika harus mengisi formulir bea cukai tanpa diminta.
Nice.
Hal pertama yang saya lakukan
ketika sampai di Nino Aquino International Airport (NAIA) ialah mencari mesin
ATM. Saya memasukkan ATM B*N saya yang berlogo visa namun kartu keluar lagi.
Saya coba sekali lagi, hasilnya sama: kartu ditolak. Saya sedikit shock karena
atm saya ini sudah berlogo Visa. Untungnya lagi saat di Bandara Soekarno-Hatta
saya masih sempat membagi saldo ke dalam dua rekening. Alhamdulilla, kartu BCA
bisa dipergunakan. Sedikit info, biaya penarikan tunai di ATM (saya lupa ATM
Bank apa) untuk kartu BCA dikenakan tarif 250 Peso atau sekitar IDR. 75.000. Cukup
sedih karena saya hanya mengambil 1000 Peso sedangkan potongannya 25% dari uang
yang saya ambil.
Setelah itu saya berniat untuk
menukar voucher free traveler SIM. SIMnya memang gratis namun sayang paket data
tetap harus membayar dan bagi saya yang hanya memegang 1000 peso harga tersebut
termasuk mahal. Akhirnya saya mundur dan hanya mengandalkan wifi bandara. Saran
saya jika ke Philippines memang sebaiknya mempunyai SIM untuk memudahkan
komunikasi dan browsing mengenai informasi yang dibutuhkan. Pergunakanlah free
traveler SIM yang bisa didapatkan di hampir setiap sudut bandara.
Kala itu hujan cukup deras.
Dengar-dengar terjadi banjir di beberapa titik di Filipina. Mencari aman
(re:kehangatan), saya langsung menuju terminal penerbangan domestic untuk
melanjutkan connecting flight. Dan ternyata di dalam malah dingin luar biasa. Sayangnya,
saya harus transit selama 12 jam. Akhirnya saya harus tidur di bandara yang
ACnya sangat dingin karena saya memang agak bermasalah dengan AC yang terlalu
dingin.
“Finally here I am after the
super duper hectic experience!”
Hari terakhir menjadi panitia ospek begitu hambar. Bukan. Bukan karena acaranya yang kurang seru namun hati saya saja yang gelisah. Jikalau saya didanai fakultas, saya seharusnya berangkat ke Jakarta besok. Sayang sekali hingga sekarang kabar gembira belum pula muncul. Hampir berminggu-minggu ini saya bolak balik dekanat dan rektorat. Mondar-mandir dari bagian ini ke bagian itu. Tapi tak apa karena memang prosesnya seperti itu. Sore hari sekitar jam dua saya chat kakak saya, saya bercerita tentang kegelisahan saya mengenai keberangkatan besok. Kakak saya menjawab.
“Kalau udah rejeki inshaallah ada. Tetep dicoba aja, nduk, walaupun hari ini terakhir. Siapa tahu rejekimu emang di akhir.”
Saya tercenung. Kenapa saya menjadi seperti ini? Dulu sewaktu ke Malaysia saja saya yang ngotot untuk tetap berjuang hingga akhir. Akhirnya dengan penuh harap setengah optimis saya ke rektorat tepat 15 menit sebelum rektorat ditutup. Pertama kali tanggapan ibu staff keuangan ketika saya menyebutkan programnya ialah, “Woooo… kamu yang mau ke Filipina itu, to? Jadi kamu dibantu, Mba, sama universitas.
DYARRR!!!
Alhamdulillah YaAllah.
![]() |
Bersiap untuk mencari ilmu dan pengalaman |
Persiapan begitu mendadak. Kakak saya menyarankan untuk izin dari kegiatan ospek malam itu untuk mempersiapkan apa saja yang perlu dibawa tapi saya menolak. Bahkan akhirnya saya tidur di PKM.
Keesokan harinya saya kelabakan mempersiapkan segala sesuatu. Pakaian, dokumen penting, alat mandi, botol minum dan perlengkapan lainnya. Saya pun waktu itu belum membeli tiket kereta, apalagi tiket pesawat. Karena saya sudah kehabisan uang, akhirnya saya dipinjami oleh teman terlebih dahulu untuk membeli tiket kereta tepat pada hari itu jua. Saya berangkat pukul 11 diantar oleh Sanos, teman kuliah saya. Itu saja bikin deg-degan karena saya berangkat terlalu mepet.
Pukul 10.00 malam saya sampai di Stasiun Bekasi. Saya langsung mencari ATM untuk mengecek saldo apakah teman saya sudah transfer atau belum. Saya cek dan….
DANG!
Teman saya hanya mentransfer satu juta saja padahal harga tiket pesawat untuk pulang-pergi sekitar 5 juta. Saya shock. Bingung. Baiklah, saya butuh paling tidak empat juta lagi. Saat itu saya merasa bodoh. Saya sudah berada di Bekasi, besok harus berangkat ke Filipina namun sampai sekarang pun saya belum memegang tiket. Boro-boro pegang, booking pun belum. akhirnya, saya terpaksa ngutang lagi ke salah satu teman sebanyak 1.5 juta lagi dan 3 juta lagi ke teman yang sebelumnya sudah transfer satu juta. Saat itu saya merasa ngutangnya agak ngegas karena saya memang panik. Bagaimana tidak? Saat itu saya dalam perjalanan dari Bekasi ke Bogor dijemput oleh kakak ipar. Saat saya sampai di Bogor, kakak saya sudah membelikan koper baru untuk saya. Sangat special.
Akhirnya, mendekati jam 12.00 malam saya baru memesan tiket dari Jakarta ke Iloilo. Pulangnya? Sebetulnya saya ingin membeli langsung namun karena terpaksa harus makan dulu karena sudah ditunggu kakak jadi ya saya tinggal dulu. Jam 12 lewat saya buka lagi aplikasinya dan saya schock karena harganya sudah naik lagi! Pasrah, akhirnya saya baru membelinya keesokan harinya ketika perjalanan menuju bandara dari Bogor, di dalam Bus Bandara.
Akhirnya, lengkaplah tiket perjalanan pesawat saya. Setidaknya saya sudah bisa bernafas lega karena tiket sudah di tangan. Terima kasih untuk sahabat (yang mungkin akan selamanya menjadi) terbaik. Tidak menyangka bahwa Allah masih memberikan kesempatan di saat yang genting seperti ini.
Tiba-tiba saja tangan ini gatal untuk menulis. Sebenarnya ada banyak hal yang ingin saya tuliskan di sini namun waktunya selalu kurang tepat. Maka, here I am and I’m ready to tell you about.
Beberapa minggu yang lalu merupakan ulang tahun Ko Otto, salah satu kenalan (yang saya anggap sebagai sahabat) dari media sosial yang sampai sekarang belum pernah bertemu sekalipun. Awalnya saya berkenalan dengannya lewat line. Aneh memang pun asal-muasalnya bisa berkenalan juga cukup aneh. Saya hanya tahu sekilas dari timeline ask.fm Ko Kevsas dan (rupanya) kebetulan saat itu Ko Otto sedang hits.
Beberapa minggu yang lalu merupakan ulang tahun Ko Otto, salah satu kenalan (yang saya anggap sebagai sahabat) dari media sosial yang sampai sekarang belum pernah bertemu sekalipun. Awalnya saya berkenalan dengannya lewat line. Aneh memang pun asal-muasalnya bisa berkenalan juga cukup aneh. Saya hanya tahu sekilas dari timeline ask.fm Ko Kevsas dan (rupanya) kebetulan saat itu Ko Otto sedang hits.
Singkat cerita Ko Otto komen di status line Ko Kevsas dan kubukalah profilnya dan klik “add.” Iseng memang. Sebuah notifikasi pesan baru muncul, dari Ko Otto. Pesannya cukup singkat, “Siapa, ya?” saya kelabakan. Saya kira dia tidak akan notice karena memang sebenarnya saya hanya iseng saja. Dari situlah awal perkenalan saya dengan seorang Ko Otto, mahasiswa Pendidikan Dokter UNAIR dan sekarang sudah menjalani Co-Ass. Aneh memang. Berawal dari sebuah keisengan dan kemudian benar-benar menjadi seperti seorang teman.
Sejak saat itu, ketika saya bingung mengenai sebuah permasalahan kesehatan saya akan segera chat Ko Otto karena di awal perkenalan Ko Otto pernah bilang “Kalau mau tanya-tanya, ke aku juga boleh.” Suatu ketika Ibu Saya harus menjalani rawat jalan dengan seorang dokter spesialis syaraf namun dokternya tidak mau menjelaskan detail permasalahannya padahal Ibu saya sudah bertanya. Saya bingung karena sudah berkali-kali diperlakukan sama. Saya Chat Ko Otto, cerita jikalau Ibu saya diberikan obat ini dengan hasil rontgen seperti ini. Akhirnya Ko Otto menelepon saya lewat whatsapp. Berhubung sinyal di desa jelek dan putus-putus jadi Ko Otto mengalah untuk menelepon saya dengan telepon biasa, beda operator pula. Ko Otto menjelaskan pada saya pelan-pelan arti dari rontgen tersebut dengan bahasa kedokteran yang lebih disederhanakan. Pun dia juga menjawab pertanyaan saya dengan sabar. Kejadian ini tak hanya sekali, namun berulang beberapa kali.
Akhirnya karena tidak tahan dengan dokter spesialis pertama, Ibu saya pindah ke dokter spesialis syaraf yang lain dan kali ini dokternya mau menjawab pertanyaan-pertanyaan Ibu yang cukup bawel hehe. Dan yang saya heran adalah, diagnosis Ko Otto beserta anjurannya sama dengan apa yang dikatakan oleh dokter spesialis. Bukan apa-apa tapi saat itu Ko Otto belum lulus S.Ked juga. Saya yang saat itu masih berniat ingin menjadi seorang dokter pun bertekad “Kalau saya jadi mahasiswi kedokteran, saya mau seperti Ko Otto! Baik dan cerdas.” Kadang-kadang saya bisa mendengar dari ujung telepon kalau Ko Otto sedang membolak-balik bukunya ketika saya bertanya terhadap beberapa hal. Menyenangkan dan membuat saya semakin ang ing eng kagum.
***
Suatu saat saya melihat timeline Ko Otto di facebook. Dia beserta timnya berhasil menjadi juara satu di ajang olimpiade kedokteran bidang Neurologi. Cepat-cepat saya meneleponnya dan bilang di akhir telepon, “Ko Otto, selamat ya! Ko Otto menang lomba olimpiade kedokteran, kan?” respon Ko Otto datar, “Oh ya. ya. Kamu tahu dari mana?”. “Dari timeline Ko Otto di facebook, hehe.”
“Oh ya, ya. Makasih juga yak arena waktu itu kamu tanya-tanya ke aku tentang HNP jadi aku belajar banyak tentang HNP. Dan kemarin waktu aku lomba, aku dapat pasien HNP.”
Deg.
Saya speechless.
Inikah jawabannya atas semua pertanyaan yang ada di dalam isi kepala saya. Selama ini saya bertanya-tanya, kenapa saya mengenal Ko Otto dengan cara yang awkward dan aneh tak pernah diduga sebelumnya? Kenapa Ko Otto begitu baik sekali kepada saya padahal saya tak bisa membalasnya? Kenapa saya dan Ko Otto ditakdirkan oleh Tuhan untuk saling kenal? Ternyata inilah jawabannya. Karena mungkin saja Allah mengirimkan bantuannya untuk saya melalui Ko Otto dan begitu pula sebaliknya. Mungkin saja Allah mengirimkan sedikit petunjuk untuk Ko Otto melalui pertanyaan-pertanyan saya mengenai HNP yang sangat berguna baginya.
Saat itu saya merasa terharu. Rencana Tuhan memang sangat sempurna. Dan saya percaya bahwa pertemuan bukanlah sebuah kebetulan belaka melainkan sebuah takdir dimana ada sebuah alasan Tuhan mempertemukan kita.
Terima kasih Ko Otto karena selalu ada untuk saya ketika saya benar-benar membutuhkan. Terima kasih karena selama ini sudah menyempatkan waktu untuk saya di sela-sela kesibukan koass. Oh ya, pernah saya chat kemudian diread saja. Hampir sebulan chat itu nganggur tak dibalas namun akhirnya telepon masuk. Darinya. Isipembicaraan? Menanyakan apa yang ingin saya tanyakan dan permohonan maaf karena baru bisa mengubungi sekarang karena terlalu sibuk! Saya speechless lagi.
Sekali lagi terima kasih banyak atas ilmunya, atas perhatiannya (sampai menanyakan air bersih segala), dan semuanya yang Ko Otto pernah berikan. Saya bukan siapa-siapa Ko Otto tapi Ko Otto berhasil membuat saya lebih percaya diri karena Ko Otto nggak pernah sekalipun menggap remeh pertanyaan saya yang kadang-kadang terdengar “sepele.”
Selamat Ulang Tahun, Ko Otto! Semoga KoAss segera selesai dan tahun depan sudah menjadi Dokter Otto. Amiinnn. Semoga dilancarkan untuk spesialisnya, ya, Ko!
Satu kisah penutup dari Ko Otto sebagai bahan perenung.
Beberapa kali (mungkin dua kali) Ko Otto chat saya hanya untuk menanyakan kabar saya dan memastikan apakah saya baik-baik saja. Pesannya berisi “Bagaimana kabar?” dan saya hanya membalas “Baik, Mas.” atau “Baik, Ko.” Kemudian chat itu kandas.
Suatu ketika saya ingin bertanya padanya perihal suatu hal. Sebelum to the point, saya basi-basi terlebih dahulu.
“Ko Otto, gimana kabarnya?”
Chat balasan masuk berbunyi “Baik. Kamu gimana?”
Saya lagi-lagi speechless. Setega inikah saya? Saya tidak pernah menanyakan kabarnya ketika saya dichat bagaimana keadaan saya.
Lagi-lagi, terima kasih karena Ko Otto adalah salah satu sahabat yang telah mengajarkan banyak pelajaran dan arti kehidupan yang tak bisa saya pelajari di dunia kuliah, tentang perhatian, kebaikan, dan membantu tanpa memandang siapakah orang itu. Terima kasih, Ko. Saya tidak akan pernah menyesal mengenal Ko Otto sekalipun dengan cara aneh. Thanks my doctor!
Oik Allemaal! Kali ini saya ingin berbagi tentang pengalaman saya di Indonesian Youth Space yang sering disingkat IYSpace. Meskipun saya baru beberapa bulan di sini, saya merasa sah-sah saja jika saya bercerita seputar saya dan IYSpace. Saya harap tulisan ini bisa menjawab keraguan atau beberapa pertanyaan pembaca semua seputar IYSpace.
IYSpace merupakan sebuah gerakan yang berfokus di bidang kepemudaan. Visi, misi dan sejarah singkatnya bisa dilihat langsung di websitenya di sini. Saya baru menjadi anggota sekitar enam bulan terhitung sejak Desember pertengahan di tahun 2017. Ya, memang saya tergolong ke dalam anggota baru namun saya cukup yakin berada di sini. Awal perkenalan saya dengan IYSpace karena diajak oleh salah seorang teman fakultas hukum, Kak Angga, untuk bergabung. Teman saya waktu itu jujur bahwa gerakan ini masih baru kemudian mengirimkan deskripsi singkat mengenai apa itu IYSpace dan visi serta misinya. Dan uniknya lagi saya langsung cocok dan berniat untuk bergabung. Kala itu saya diminta untuk mengisi form dan mengirimkan CV saya yang nantinya akan discreening oleh anggota lama.
Singkat cerita Alhamdulillah saya diterima. Ketika dinyatakan diterima, saya langsung dimasukkan ke group bersama salah seorang anak hukum juga, Kak Aldha. Well, it impressed me enough. They welcomed us warmly dengan dibumbui sedikit candaan. Kakak-kakaknya mayoritas sudah melakukan ini-itu, pergi ke sana-sini, memiliki project ini-itu namun mereka tetap rendah hati dan malah sangat senang jika adik-adiknya bertanya dan selalu siap sedia membantu. Di group itu pula kita biasa sharing info-info mengenai kepemudaan dan diskusi mengenai rencana apa saja yang akan dilakukan ke depannya. Setelah itu saya semakin sadar, saya tidak salah bergabung di IYSpace.
Mungkin kalian sedikit bertanya mengenai alasan apa yang membuat saya tertarik untuk bergabung di IYSpace ini. Ya, saya memang sangat tertarik dengan berbagai isu mengenai kepemudaan. Semua orang sudah tahu potensi pemuda seperti apa ditambah lagi dengan jumlah pemuda Indonesia yang memiliki prosentatse tinggi. Dengan jumlah yang banyak apabila kita mampu bergerak untuk melakukan hal-hal yang positif tentu akan memberikan impact positif juga kepada masyarakat sekitar. Selain itu, saya yakin akan jiwa muda. Selagi saya muda, saya ingin meningkatkan kemampuan dan pengetahuan saya melalui gerakan-gerakan seperti ini. Alasan saya sebenarnya sederhana yaitu ingin bisa berkontribusi dan bermanfaat bagi orang lain dengan sebuah gerakan nyata.
Di IYSpace kita belajar bersama. Tidak ada yang namanya senioritas, tidak ada rasa saya lebih hebat. Kita semua sama, sama-sama belajar. Pun saya yang pengalamannya tak sebanyak kakak-kakaknya juga dihargai usulannya. Tak pernah sedikit pun saya merasa direndahkan. Mungkin sebagian dari kalian ada yang merasa minder karena tidak bisa berbahasa Inggris. Tenang saja! Kita memakai bahasa Indonesia, kok. Hanya saja di sini kita sangat mendukung jika kamu ingin meningkatkan kemampuan skill bahasa Inggris atau apa pun kegiatan positif lainnya. Ada jadwal tersendiri untuk Hari Berbahasa Inggris dalam rangka meningkatkan kemampuan bahasa Inggris. Di sini kita akan berjuang bersama untuk membangun Negeri tercinta lewat sebuah kontribusi nyata. Kita belajar bersama dari bawah. Kata kak Aussy, di sini kita belajar bareng agar yang semula nothing menjadi something.
IYSpace – Learning, sharing, inspiring.
Halo, YOU! How are you? Wishing you were fine. How about your life there? Hope you are enjoying your life and study as well as in your home town. I bet your current city is more comfortable.
I just wanna say that I miss you. Nope, not missing actually. I just wanna hear how your life is. Just it.
Hi, YOU. I want you to know that I want you to invite me on your wedding day. Of course if you’re okay with it. I just wanna see you on your special day and may be… one of your happiest moment in your life.
Even though I often disturbing your life but… I just feel that you’re mean to me. I even don’t know what happen to myself. Few years without any face to face meeting, regularly texting and even any word but how can my feeling be the same?
Even sometimes I wanna go to your hometown. I wanna go to your high school and try to sit in your class room, standing in the yard that you might pass it or go to school’s canteen. I have no idea but your high school is the first place came to my mind. Sounds silly, I know.
You might think that I don’t fulfil my vow but you have to know that I’ve tried. I tried as best as I can. I make myself forgetting all about you. I’ve been looking for so many activities. But I just can’t do it. It’s hard. I might take a longer time and I don’t know how long the ‘longer time’ count is.
Please don’t be afraid. I won’t do anything. I promise. I’ll come to your wedding day with my reliance. Your future wife must be one of the luckiest women in this world. I am sure. But right now, I just wanna say that I miss YOU and hope everything is and will be alright as always.
I just wanna say that I miss you. Nope, not missing actually. I just wanna hear how your life is. Just it.
Hi, YOU. I want you to know that I want you to invite me on your wedding day. Of course if you’re okay with it. I just wanna see you on your special day and may be… one of your happiest moment in your life.
Even though I often disturbing your life but… I just feel that you’re mean to me. I even don’t know what happen to myself. Few years without any face to face meeting, regularly texting and even any word but how can my feeling be the same?
Even sometimes I wanna go to your hometown. I wanna go to your high school and try to sit in your class room, standing in the yard that you might pass it or go to school’s canteen. I have no idea but your high school is the first place came to my mind. Sounds silly, I know.
You might think that I don’t fulfil my vow but you have to know that I’ve tried. I tried as best as I can. I make myself forgetting all about you. I’ve been looking for so many activities. But I just can’t do it. It’s hard. I might take a longer time and I don’t know how long the ‘longer time’ count is.
Please don’t be afraid. I won’t do anything. I promise. I’ll come to your wedding day with my reliance. Your future wife must be one of the luckiest women in this world. I am sure. But right now, I just wanna say that I miss YOU and hope everything is and will be alright as always.
Who loves YOU,
Wulan Istri Hastari
Langkah kami sampai di sebuah warung tegal yang hanya ada satu sekelurahan. Warung itu sederhana. Beberapa menu yang dijual juga sederhana seperti nasi goreng, soto, sayur, dan gorengan. Sebuah meja panjang dan beberapa kursi panjang diletakkan di ruangan tersebut. Kursi tersebut dipenuhi oleh beberapa pemuda dan bapak-bapak yang duduk santai sambil mengobrol. Jujur, saya dan Nur merasa sedikit risih dan takut karena kebanyakan mereka bertampang agak sangar dan merokok. Saya terkadang memang agak takut dengan orang yang merokok.
Saya memesan beberapa gorengan yang masih dalam proses penggorengan untuk mengisi perut. Jujur, saya memilih gorengan karena lauk yang dijual serasa tidak pas di lidah. Sembari menunggu gorengan matang, saya duduk di dekat para pemuda dan bapak tersebut dengan posisi membelakangi. Saya hanya tersenyum tanpa mengucapkan sepatah kata. Akhirnya salah satu laki-laki membuka pembicaraan yang saya balas dengan jawaban yang lumayan singkat. Ya, saya kurang suka dengan temannya yang berbicara dengan nada sedikit bercanda setengah menggoda.
Malam pun datang, kekurang tidaksukaan saya semakin menjadi karena para pemuda memainkan music keras-keras hingga larut malam. Apalagi mereka merokok, pasti mereka tidak benar, pikir saya.
***
Kegiatan di malam pertama adalah penyuluhan kesehatan reproduksi remaja yang disampaikan secara langsung oleh dosen pendamping kami selama di Cerme, Pak Eva. Kenapa bukan kami? Karena beliau sudah bisa menduga bahwa kami masih belum bisa percaya diri ketika harus membicarakan hal-hal yang masih dianggap tabu oleh masyarakat. Bahasa gaul beliau sih, kami masih ingah-ingih. Sambil menunggu para peserta datang, kami sibuk menyiapkan snack dan mengatur ulang kursi yang kurang karena peserta yang datang jauh di luar dugaan. Ada sekitar empat puluhan peserta padahal prediksi Ketua Pemuda kemungkinan hanya berkisar 20-30 orang. Tentu itu bukanlah masalah besar dan justru kami sangat bahagia walaupun di belakang layar kita pusing memikirikan bagaimana agar konsumsinya memadai.
Materi disampaikan secara luwes, benar-benar luwes, oleh Pak Eva. Jujur, saya sendiri juga ikut menyimak karena saya pribadi belum pernah memperdalam materi mengenai kesehatan reproduksi. Saya masih menganggap bahwa membicarakan alat-alat reproduksi merupakan hal yang sedikit tabu. Jujur saja saya masih malu kala itu apalagi harus membicarakan alat reproduksi pria dan menjelaskannya, saya belum sanggup melakukannya.
Peserta penyuluhan, baik yang laki-laki maupun perempuan, terlihat antusias. Sekali-kali disisipkan candaan agar tidak mengantuk. Penyuluhan berjalan lancar, santai dan berhasil. Kenapa saya katakan berhasil? Karena ada beberapa orang yang bertanya tanpa malu-malu juga!
Di akhir acara, beberapa mas-mas mengobrol dengan kami berramah-tamah mengucapkan terimakasih. Di akhir pembicaraan, mereka mengajak kami untuk merayakan Tahun Baru di desa mereka. Saya was-was.
***
Banyak yang bilang don’t judge a person by its cover dan saya sangat setuju. Di sini saya membuktikannya sendiri. Di awal saya memang kurang suka kepada mereka karena mereka merokok, bermain music keras-keras di malam hari dan lain-lain. Kejadian saat mereka membantu untuk mempersiapkan meja kursi yang akan digunakan untuk tes kesehatan membuat saya membuka mata. Pun saya teringat bahwa setelah merayakan tahun baru tersebut kami juga dibawakan ayam bakar untuk dimakan di rumah yang berarti mereka masih memiliki kesopanan. Mereka masih memiliki batasan bahwasanya mereka tidak akan membuat orang lain rugi akan kelakuannya. Terimakasih atas sebuah pelajaran yang bisa dikulik and thanks for remind me to not judge a person by its cover!